Kapan ya terakhir ke sekolahnya anak-anak?
Hmm.... jujur saya jaraaaang banget ke sekolahnya anak-anak. Oh ya, secara
singkat nyeritain. Abang dan Kakak berbeda sekolah. Abang di SDIT yang full time school dari pagi hingga sore sekitar jam 3an, dari
senin ke jumat. Sementara Kakak memilih sekolah di negeri yang masuk siang
sampe sore, dari senin ke sabtu. Kalau Ade, belum sekolah.
Yang ambil raport, yang ketemu guru, yang ngurus
sekolah biasanya Ayah. Bukan karena saya gak mau, tapi anak-anak tahu kalau
saya datang ke sekolah itu berarti harus bersedia duduk diam selama berjam-jam
mendengarkan para guru atau ibu-ibu teman-teman anak-anak (jadinya lucu ya)
untuk memberi konsul sharing parenting guide gratis.
Tapi yang paling sering dikatakan Abang kalau
saya menawarinya untuk menjemput pulang adalah "I am not a baby boy, Emak!"
Tapi kemarin Special day, ini pertama kali Abang
ikut kelas Taekwondo. Selain itu, guru kelas Abang yang baru belum sempat
kenalan. Secara kebetulan Kakak juga pengen ikut kelas tambahan di Primagama
(eh gila mahal banget sih ternyata!) Akhirnya tetap dengan diantar oleh Ayah,
kami pun berkeliling menyelesaikan satu persatu agenda itu.
Seperti dugaan saya sebelumnya, begitu datang
wis dikerumuni oleh ibu-ibu. Tapi ada satu hal yang membuat saya sedikit
termangu dan hanya bisa diam. Betapa cepatnya Allah SWT mengubah nasib
seseorang. Hanya dalam kedipan mata, seorang sahabat kehilangan segalanya.
Hanya setahun lebih kami tak bertemu karena tiap kali ke sekolah Abang, saya
selalu tak sempat bertemu dengannya. Siapa yang mengira bahwa ia kini telah
berbeda?
Pelajaran hari ini adalah memelihara ukhuwah itu
sangat- sangat penting banget. Oke saya memang kurang suka pakai hape atau BB,
tapi ukhuwah itu kan ada banyak caranya. Setidaknya dengan memelihara ukhuwah,
saya bisa menjadi sahabat yang baik untuk teman yang 'menangis' sendirian. Saya
merasa egois sekali karena sahabat ini sempat mengira saya tak lagi mau
bersahabat dengannya karena alasan kejatuhannya. Aduuh... jauhkanlah ya Allah
saya dari sifat-sifat egois seperti itu.
Kesalahpahaman ini langsung saya perbaiki
segera. Saya meminta maaf, dan menceritakan penyebab saya tak pernah ke sekolah
Abang. Walaupun setelah itu kembali 'ditarik-tarik' oleh teman-teman yang lain
dan guru yang ingin bicara juga, saya berharap sahabat itu mau memaafkan
ketidakhadiran saya selama ini ketika ia sedang susah.
Saat pulang, saya berbisik pada putra saya
tercinta. "Emak ke sekolah Abang bukan hanya untuk Abang. Tapi untuk
banyak orang, sahabat-sahabat Emak."
"Ngegosip ya?"
"Bukan, sayang. Kalau Abang curhat sama Emak
atau Ayah. Kalau Kakak sedih curhat sama Emak. Trus kalo sahabat-sahabat Emak
mau curhat sama siapa? Bukankah berteman itu juga hadir ketika sedang susah?
Gimana Emak mau ngajari Abang jadi sahabat yang baik kalau Emak aja gak bisa
jadi sahabat yang baik?"
Abang diaaam lama banget.
"Tapi janji gak gibah ya, Mak? Dosa loh!
Trus Emak gak boleh larang... dsb dsbnya..." Masih banyak syarat Abang
yang sedikit aneh, tapi kini dia gak masalah saya datang ke sekolah.
Semoga, pelajaran kecil hari ini membuat kita
memahami bahwa ngumpul-ngumpul di sekolah gak selalu masalah, gak selalu
tentang gosip. Filter diri itu bukan dengan mengurung diri di rumah, tapi
filter ada dalam diri sendiri. Malah bertemu banyak orang, kita akan menemukan
kesempatan untuk berbuat kebaikan, berbagi manfaat dan 'sedekah' ilmu.
*****