Seperti halnya masyarakat awam lainnya, saya yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua selalu menganggap bahwa untuk mempelajari bahasa tersebut harus dengan pengulangan atau penghafalan kosa kata tiap hari. Saya yang mempelajarinya di negeri sendiri, tidak menyadari sebuah hal penting yang paling krusial dalam mempelajari sebuah bahasa yaitu budaya.
Dan ketika saya melihat dari beberapa guru sekolah bidang studi bahasa Inggris, mereka juga memiliki pandangan yang sama bahwa bahasa Inggris diperkenalkan dengan cara pengulangan dan pemahaman satu kata memiliki satu arti, walaupun diterjemahkan dalam banyak kata.
Mungkin karena sejak pertama kali diperkenalkan terhadap bahasa tersebut, kita telah dibiasakan untuk berpikir seperti itu. Sejak SMP (saat pertama kali saya mengenal bahasa Inggris) saya terbiasa menggunakan bahasa Inggris sesuai dengan yang diajarkan, bahwa satu arti kata hanya diterjemahkan untuk satu makna, meskipun disebutkan dalam banyak kata seperti kata do yang artinya bekerja, melakukan, mengerjakan. Padahal kata do ternyata berarti sangat luas, dan lagi-lagi maknanya sangat tergantung dengan penggunaan kata tersebut dalam kalimat.
Penerapan sistem pendidikan scaffolding atau penekanan pada pengenalan dan penggunaan bahasa yang dituntun oleh guru, ternyata banyak disalahpahami oleh para pendidik di Indonesia sebagai pengenalan secara konstan tanpa mempedulikan faktor tempat atau waktu saat penggunaan kata tersebut dilakukan.
Sebagai contoh adalah bakso dan meatball. Banyak teman-teman berpikir kalau arti kata tersebut sudah sesuai. Tapi mengapa saat Obama datang ke Indonesia, ia menyebut Bakso dan bukan meatball? Karena antara meatball dan bakso itu berbeda dalam banyak hal. Untuk menterjemahkan makanan yang ia maksud dengan tepat, Obama memilih menggunakan Bakso sebagai proper name yang sesuai dan bukan Meatball.
Unsur yang paling penting dalam memahami makna simbol komunikasi yang dituangkan dalam bahasa adalah budaya. Padahal budayalah yang paling menentukan maksud atau isi dari bahasa yang disampaikan oleh si pembicara untuk pendengar atau si penulis pada pembacanya. Kita melupakan unsur terpenting itu karena disibukkan oleh kosa kata.
Sekarang untuk lebih memahami maksud saya, mungkin ada baiknya kita membalik situasi. Bagaimana seandainya seorang ekspatriat asing mempelajari dan mempergunakan bahasa Indonesia tanpa memasukkan unsur budaya asli Indonesia, seperti kebiasaan-kebiasaan atau cara kita menggunakan dalam keseharian?
Apa yang akan terkesan saat mendengar seseorang berbicara sangat formal meskipun dalam suasana tidak formal? Contohnya ketika dalam suasana santai menyambut kedatangan si ekspatriat asing tadi, lalu ia bertanya pada anda dengan pertanyaan formal seperti Maukah kalian memesankan saya secangkir teh manis? atau Bagaimana kalau kita memakan sesuatu yang enak? Padahal dalam budaya Indonesia kebanyakan, kita menggunakan bahasa nonformal seperti Pesanin teh manis dong! atau Gimana kalau kita makan sesuatu yang enak?
Kesan apa yang tertangkap saat anda mendengar bahasa formal di saat yang non formal, tentu saja kesannya menjadi kaku dan kurang akrab. Kesan tidak natural dalam percakapan pun membuat terasa tidak nyaman.
Karena itulah, meski mungkin tidak mudah, mempelajari bahasa harus dibarengi dengan pemahaman terhadap kebudayaan asal bahasa itu sendiri. Bahasa Inggris, yang dijadikan sebagai bahasa nasional di beberapa negara bahkan dunia, berkembang menjadi bahasa Inggris dalam berbagai versi. Bahasa Inggris Amerika saja sudah banyak berbeda dengan bahasa Inggris British ataupun Inggris lama. Sementara di Indonesia sendiri, bahasa Inggris dalam kedua versi tersebut disatukan dan dipergunakan dengan kondisi dimana faktor kebiasaan penggunaan lebih nyaman disesuaikan dengan budaya orang Indonesia sendiri.
Penerapan bahasa Inggris yang baik seharusnya tidak hanya memperhatikan grammar atau tata bahasanya, tapi juga faktor formal dan informal, budaya atau kebiasaan masyarakat yang menjadi native speaker bahasa tersebut saat menggunakan. Hal ini sangat diperlukan untuk bisa mengaplikasikan bahasa tersebut agar sesuai dengan keadaan, waktu dan tempat.
Maka, jangan heran kalau kalangan yang mempelajari bahasa Inggris secara otodidak melalui media-media yang juga dipergunakan dalam keseharian masyarakat native speaker jauh lebih baik dibandingkan oleh mereka yang hanya mempelajari dalam jalur formal atau pendidikan di Indonesia. Media seperti televisi (mendengar berita, menonton film atau drama dan olahraga) atau koran/majalah merupakan salah satu media yang natural dalam proses pembelajaran bahasa. Penggunaan phrase atau idiom dalam bahasa Inggris akan menjadi lebih mudah dipahami penggunaannya.
Sekarang banyak kursus atau lembaga bahasa Inggris yang telah menerapkan keseluruhan unsur yang menyertai proses pembelajaran sehingga para pelajar/peserta terbiasa dengan budaya atau kebiasaan yang sesuai dengan penerapan bahasa.
Secara simpul, untuk mempelajari bahasa Inggris dengan mudah namun sesuai dengan kaidah atau budaya masyarakat native speaker, maka kita juga harus memahami unsur-unsur penyertanya seperti kebiasaan, budaya, suasana bahkan saat-saat yang tepat dalam penggambaran emosi. Pelajarilah bahasa Inggris, tidak hanya melalui satu sistem pendidikan tapi juga dari sumber saluran natural seperti media-media cetak atau online berbahasa Inggris, berbicara atau berkomunikasi dengan orang-orang yang menjadi native speakernya dan satu hal yang seharusnya dihindari penggunaan tumpang tindih dengan bahasa ibu pada anak-anak di usia dini.
Anak-anak di usia dini memang sangat cepat untuk menyerap bahasa apapun yang diajarkan, hanya saja mereka akan sulit membedakan mana bahasa Inggris dan mana bahasa Indonesia jika kedua bahasa tersebut dicampur penggunaannya. Gunakan bahasa Inggris sepenuhnya jika ingin mengajari, atau sebaliknya. Jika anak tidak memahami, maka terjemahkan secara singkat dalam satu kalimat bukan kata per kata sama seperti saat kita menyampaikan dalam bahasa Inggris.
Semoga bermanfaat!
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar