07 Januari 2015

Debat, Belajar & Hikmah di Balik AirAsia QZ8501

Tiap kali nonton TV soal jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501, Emak dan Ayah selalu berdebat. Ayah yang mewakili pendapat orang umum selalu mengkritisi proses evakuasi yang menurutnya sedikit lambat dalam pencarian, sementara Emak menjadi lawan debatnya. Membela para relawan dan anggota berbagai unsur di bawah koordinasi BASARNAS.
Mulai dari awal, tiga hari pertama, kami sama-sama mengikuti berita tanpa berdebat. Bahkan ketika akhirnya ditemukan, kami masih sama-sama mengucapkan syukur dan mengapresiasi kinerja BASARNAS.
Tapi setelah itu, perdebatan pun dimulai. Awalnya Ayah menyayangkan proses evakuasi yang dilakukan dengan kamera namun tak menghasilkan apa-apa selain memberi alasan bahwa angin yang kencang membuat proses dari helikopter itu tak mampu menggapai jenazah yang mengapung.
Secara otomatis, Emak yang pernah mengalami sendiri rasanya melewati gelombang tinggi dan didera angin kencang, membayangkan apalagi kalau sambil berpegangan tali sekaligus harus mengangkat jenazah seperti petugas BASARNAS langsung menjadi lawan debat Ayah. Buat Emak, alasan angin yang kencang sudah cukup untuk menghentikan seseorang untuk berusaha melakukan evakuasi. Memang tidak terlihat di layar televisi, tingginya gelombang dan kencangnya angin itu. Kecuali sudah pernah berhadapan langsung dengan gelombang setinggi itu, pastilah memahami kesulitannya.
Tapi tak berhenti di situ, perdebatan mulai merambah kemana-mana. Ide konyol Ayah yang ternyata juga keluar dari teman-teman Emak di kampus, seperti menurunkan kapal selam. Emak langsung protes dan memberi ratusan alasan kalau hal itu tidak mungkin dilakukan.
Selama proses debat itu, biasanya ada Abang dan Kakak di sekitar Emak dan Ayah. Meski prosesnya sambil bercanda dan penuh dengan kekeluargaan, perdebatan itu tetap dipenuhi dengan pengetahuan. Seperti juri dalam sebuah sidang, seperti para penonton yang ikut mempelajari berbagai informasi dari dua pendapat, maka itulah yang terjadi.
Anak-anak belajar memahami hal-hal mendasar kembali seperti apa itu selat, apa perbedaannya dengan samudera, mengapa laut dangkal cenderung keruh dan sulit untuk dilihat. Mereka juga mengetahui perbedaan arus atas dan arus bawah laut. Kemudian di hari lain, mereka ikut mempelajari awan-awan, melihatnya di youtube sampai kemudian melihat ke langit secara langsung dan belajar membedakannya. Ketika Ayah menyoal angin yang dijadikan alasan, mereka pun belajar memahami mengapa angin di laut lebih kuat dibandingkan di darat.
Lalu beralih ke teknologi kapal, bagaimana kapal selam bekerja hingga bisa tenggelam dan timbul, mengapa tidak bisa diturunkan dalam semua laut. Mereka juga ikut belajar banyak soal jumlah kapal perang di laut, bahkan makna kata ‘alutsista’ yang masih sulit disebut dengan lancar oleh Ade.
Bahkan akhirnya Abang dan Kakak bertanya pada Emak soal jenazah. Mengapa harus berburu dengan waktu, membuat Emak terpaksa menjelaskan prosesnya dan Ayah membantu dengan memberi penjelasan soal proses itu dari sisi keIslaman yang ia ketahui dari Hadits dan Alqur’an.
Sedangkan terakhir Emak menggulirkan topik yang berbau politik, soal asuransi dan mekanisme izin operasional sebuah penerbangan. Seperti biasa, anak-anakpun bertanya banyak. Mulai dari berapa banyak jumlah dana asuransi yang didapat, soal hak waris mulai dari kacamata hukum sampai informasi dari Ayah yang biasanya melihat dari sudut agama. Sampai mereka pun menyimpulkan sesuatu yang mengejutkan Emak dan Ayah.
“Lah penumpang kan tahunya beli tiket pesawat terus terbang, Ma. Mana dia tahu apa sudah diizinkan atau tidak? Dulu aja waktu Ayah beli tiket kan setahun sebelum berangkat via website, terus kenapa pihak menhub sendiri gak tahu kalo pesawat ada yang terbang tapi gak ada izin. Padahal infonya kan ada di website. Emangnya gak dicek atau diawasi ya? Trus kalo jadinya illegal, terus gimana nasib para penumpangnya? Siapa yang ganti kerugiannya?”
Pertanyaan yang mungkin tak bisa dijawab semua orangtua dengan mudah. Karena memang itulah sebenarnya tujuan setiap orangtua, membangun manusia yang peduli dan kritis dalam menilai sesuatu. Emak dan Ayah memang sengaja memperlihatkan perdebatan itu di depan anak-anak.
Komunikasi adalah proses di mana dua orang memahami satu sama lain, mulai dari hal yang sama sampai hal yang berbeda. Tapi cara berkomunikasi yang sehat harus diajarkan sejak dini pada anak-anak. Itulah yang Emak dan Ayah lakukan. Tentu sesekali ada kesal ketika kalah dalam debat. Tapi bagaimana mengakomodir rasa kesal itu yang lebih penting untuk ditunjukkan. Selain tentu saja, memberi mereka ilmu-ilmu pengetahuan umum yang suatu hari nanti akan harus diterapkan oleh mereka dalam kehidupan saat bekerja nanti.
Satu hal yang paling penting, di balik musibah selalu ada hikmah. Emak dan Ayah ingin anak-anak juga memahami bahwa banyak sekali hikmah yang didapat bangsa ini setelah kejadian pesawat yang jatuh. Debat boleh saja, asalkan bermanfaat dan bisa menambah ilmu. Meski tetap harus saling menjaga keutuhan dan hubungan baik.