23 November 2014

Membandingkan Anak, Baik atau Buruk?


Ini adalah salah satu kasus psikologi tentang anak yang ditulis seorang psikolog. Kasusnya cukup menarik, dan memang sering terjadi di sekitar kita. Semoga bermanfaat.



 


Sebagai orang dewasa, kita mungkin tak berpikir bahwa kadang-kadang kita menjadi orang yang egois. Kita berpikir seakan-akan mengenal seseorang dengan baik, apalagi kalau dia hanya seorang anak. Kita mengira bahwa pendapat kitalah yang paling benar. Padahal, hal itu tak selalu benar.


Sebagai orang dewasa, kita juga bisa salah. Terutama dalam memperlakukan anak-anak. Kadang-kadang pula, sebelum bertemu orang atau anak yang diceritakan, kita sudah lebih dulu menghakimi mereka sesuai dengan apa yang diceritakan orang lain pada kita.


Pada kasus anak remaja bermasalah yang baru-baru ini diberitahukan ke saya, saya menemukan banyak hal menarik.


Bahkan sebelum saya bertemu anak tersebut, saya sudah mendapat banyak sekali pengaduan tentang tingkahnya yang katanya selalu negatif. Dengan postur tubuh yang sedikit lebih besar dari teman-teman seusianya, ia pun mendapat pandangan negatif yang terkesan bandel, suka membully dan tidak mau mendengar kalau diberi nasihat.


Tak ada satupun dari teman-temannya, teman ibunya atau bahkan guru-gurunya di sekolah yang memberikan komentar positif tentang anak tersebut. Ketika Ibunya curhat tentang tingkah laku anaknya dan meminta tolong agar saya bicara pada anak tersebut, saya memilih untuk melihat sekeliling anak itu dulu. Lingkungan yang membesarkannya, lingkungan yang membuatnya bertingkah seperti itu.


Anak itu, memasuki masa remaja. Sebelumnya saat masih SD, tingkahnya belum senakal sekarang. Dia cukup pandai dan malah tergolong cerdas dalam beberapa pelajaran tertentu. Itu penyebabnya dia masuk ke kelas unggulan di sekolahnya yang sekarang. Sebelum masalah pun dimulai.


Ia tak pernah satu kalipun mengerjakan PR. Ia juga selalu menjawab setiap kali guru mengomelinya. Ia juga sering melakukan kesalahan-kesalahan yang dianggap guru-gurunya sebagai tindak tanduk anak penentang peraturan sekolah. Dan akhirnya cap ini yang melekat erat dalam setiap pemikiran para guru.


Namun, ketika saya bertemu dengannya. Tepatnya bukan bertemu secara langsung. Tapi mengamatinya dari jauh. Ini adalah proses dimana biasanya hati kecil sebagai seorang ibu bisa menilai dengan baik. Saya justru melihat hal sebaliknya.


Anak ini humoris. Melihat matanya, saya seperti melihat jiwa anak kecil polos yang tersembunyi di dalamnya. Senyumnya selalu malu-malu dengan kesan seperti menyembunyikan dirinya. Tapi di sisi lain, saat saya memancingnya bicara, anak itu menyimpan pemikiran-pemikiran yang sebenarnya cukup cerdas. Dan kesimpulan saya hanya satu : anak remaja ini hanya butuh perhatian.


Setelah beberapa hari melihat saya, dia memang tetap tak banyak bicara. Lebih banyak membahas masalah sekolah. Di sekolahnya, kelas unggulan yang menjadi kelasnya mengalami sedikit masalah dan justru itulah yang banyak dibahasnya dalam sesi berbagi. Katanya seluruh anak-anak di dalam kelasnya tidak boleh melakukan kesalahan seperti berisik, jalan-jalan ke sana kemari kalau guru tidak ada, atau bahkan tidak boleh mengerjakan PR yang terlupakan di sekolah.


Saya setuju dengannya. Anak-anak cerdas itu biasanya memang sulit diatur, mereka cenderung bergerak ke sana ke mari dan bicara pun keras. Sulit untuk diredam meski dengan peraturan. Di sini guru mereka kurang pandai menggunakan situasi tersebut untuk melatih kecerdasan mereka. Banyak cara belajar yang bisa mengakomodir hal ini. Cara belajar dengan diskusi, praktek atau bahkan meminta anak-anak tersebut untuk berbicara di depan teman-temannya bisa menjadi cara efektif.


Dan saat saya bilang setuju dengannya, mata anak di hadapan saya bersinar. Bertanda saya berhasil mencuri kepercayaannya.


Ia menceritakan versinya sendiri mengapa ia sangat bandel.


"Aku benci dibandingkan terus dengan kakakku, Bu!" Kalimat singkat itu menjawab seluruh pertanyaan ibunya.


Kakaknya adalah si Sempurna yang memiliki segalanya. Selain cerdas, kakaknya aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan ekskul di sekolah yang saat ini menjadi sekolah adiknya bahkan sempat menjadi Ketua OSIS. Ditambah lagi dengan postur tubuh atletis dan wajah yang tampan, dengan segera Kakaknya menjadi anak laki-laki favorit di sekolah. Bahkan saat lulus dari SMP, Kakaknya menjadi peraih nilai tertinggi.


Kemudian adiknya masuk di sekolah yang sama, kelas yang sama. Awalnya ia berusaha untuk melakukan yang terbaik seperti kakaknya. Tapi saat orang melihatnya dengan mata yang menurutnya seperti mengejek saat ia dikenalkan sebagai adik dari kakaknya yang tampan, ia mulai tak percaya diri. Tubuhnya yang gemuk bulat dan wajahnya yang menurutnya sendiri terlalu jelek kalau dibandingkan dengan kakaknya membuatnya benar-benar kehilangan kepercayaan diri.


Di kelas pun, ia tak lepas dari pandangan jelek. Tiap kali ia ulangan lalu mendapat nilai tak sempurna, lagi-lagi guru membandingkannya dengan nilai sempurna si Kakak yang terkenal pintar itu. Ini yang menyebabkan si anak berpikir, sekeras apapun usahanya ia takkan pernah dihargai karena ia tak sebanding dengan kakaknya. Kakaknya memang lebih pintar dan ia tahu takkan bisa mengalahkan hal itu. Itulah sebabnya ia memilih untuk tidak pernah mengerjakan PR atau tugas. Toh apa bedanya mengerjakan atau tidak, tetap saja selalu dianggap buruk.


Ketika saya bertanya pada Ibunya, Ibu menangis menyesal. Ternyata di rumah pun, si anak mengalami hal yang sama. Tanpa disadari di rumahpun, si Ibu sering membandingkan anak itu dengan kakaknya. Bahkan kakaknya selalu menjadi contoh sempurna yang selalu digunakan si ibu untuk memotivasi si adik. Ia tak tahu, kalau hal itu makin menambah kekesalan anaknya setiap hari.


Sebenarnya tak ada yang sakit dalam kasus ini. Hanya saja ada proses komunikasi yang terhambat. Ketidakterusterangan si anak dan ketidakmampuan si ibu membaca atau memahami situasi anaknyalah yang menjadi penyebab utama. Bukan karena sering dibandingkan juga. Tapi tiap kali ada orang lain dalam lingkungan yang mengejek baik dengan kata atau pandangan sekalipun, anak tidak mendapatkan motivasi kepercayaan diri yang cukup dari Ibunya. Seperti yang saya duga, akhirnya si ibu mengakui kalau ia bekerja di luar rumah hingga malam hari dan jarang berinteraksi langsung dengan si anak.


Saya katakan pada si ibu yang menjadi orangtua tunggal ini, bahwa proses perbandingan, ejekan atau bullying di sekolah adalah hal yang paling sering terjadi di sekitar anak. Tapi kemampuan anak dalam menanggapi dan memberi respon terhadap proses itulah yang penting untuk diajarkan. Ada anak yang meski dibandingkan dengan siapapun, tidak akan mudah kehilangan kepercayaan diri karena sejak kecil, ia telah mendapatkan motivasi yang cukup dari orangtuanya. Begitupun kalau ada ejekan atau bully, mereka tahu cara menghadapinya. Semua itu karena orangtuanya telah menyiapkan diri anaknya untuk menghadapi semua itu.


Kita takkan mampu menentang atau mencegah hal-hal negatif yang mungkin terjadi cepat atau lambat. Tak mungkin si Ibu memaksa seluruh guru-gurunya untuk tidak membandingkan si anak dengan kakaknya. Tak mungkin juga si ibu mengubah si anak dalam semalam agar menjadi setampan kakaknya. Karena yang paling penting di sini adalah membangun kepercayaan dirinya sendiri, mencari kelebihan yang tak dimiliki si Kakak, dan membangun komunikasi baru yang lebih baik antar keluarga bahkan kalau bisa dengan Kakaknya juga.


Sebelum seluruh sesi berakhir, saya memang meminta si Ibu membawa si Kakak untuk berbicara dengan saya. Kakak yang juga agak sulit diajak bicara dan baru mau mengungkapkan isi hatinya setelah saya bilang semakin baik si adik mengetahui perasaan kakaknya maka akan lebih cepat bagi kami untuk membantunya keluar dari masalah, mengatakan kalau ia terpaksa harus berusaha lebih keras dan lebih baik karena kasihan dengan ibunya. Ia tak ingin membuat ibunya menangis terus karena tingkah laku adiknya.


Walaupun menurut si Kakak, ia selalu iri pada adiknya yang punya banyak teman dan bisa bermain di luar. Sedangkan si Kakak berusaha menjadi yang terbaik, agar bisa memberi contoh yang baik untuk adiknya. Ia ingin membuat almarhum Ayah mereka bangga dan membuat ibunya bahagia. Dan menurutnya, ia tak secerdas bayangan semua orang di sekitarnya. Bahkan kadang-kadang ia merasa lelah dan capek. Tapi karena ia selalu ingat ibunya, maka ia terus berusaha dan tekun belajar. Di akhir kata-katanya, ia meminta si Adik untuk berusaha bukan untuk dirinya sendiri atau untuk membuktikan kata-kata orang, tapi untuk Ayah dan Ibu mereka.


Mendengar hal ini si adik yang tadinya selalu melucu dalam setiap sesi, menangis tersedu-sedu. Saya senang, sekarang si adik bisa melihat kakaknya dari sisi yang berbeda. Demikian pula si Ibu, yang sepanjang sesi selalu menangis.


Rekomendasi saya untuk keluarga dan guru adalah memperlakukan si anak sebagai pribadi individual yang berbeda dengan Kakaknya. Si anak sendiri harus terus dimotivasi dan diajak berkomunikasi baik dengan keluarga maupun orang-orang di sekitarnya.


Pada laporan yang saya terima selanjutnya, memang si anak masih sering lupa mengerjakan tugas-tugas sekolahnya walaupun sekarang mau mengikuti pelajaran di sekolah lebih baik. Ia lupa karena kelelahan bermain futsal dan mengikuti salah satu kegiatan ekskul musik. Tapi dua kegiatan ini membuatnya senang dan terlihat jelas kalau itulah salah satu kemampuan yang sedang ingin dieksplorenya. Bahkan informasi terakhir, ia menjadi salah satu anggota tim futsal sekolah yang akan berlomba Desember ini.


Dari ibunya pula, saya mengetahui kalau sekarang mereka membuat perjanjian khusus untuk setiap malam menonton televisi bersama dan saling berbicara tentang kegiatan harian. Katanya memang lebih banyak diisi dengan candaan si adik atau si Kakak, bahkan si Kakak masih sering mengejek adiknya yang sempat dilihatnya menangis saat sesi berbagi saat itu. Tapi si Ibu merasa anak-anaknya kini jauh lebih akrab satu sama lain. Dan ia baru menyadari perbedaan berbicara via telepon dengan duduk bersama sambil melihat langsung, iapun merasa lebih kuat dalam menghadapi kesendiriannya.


Saya hanya berharap kebahagiaan meliputi keluarga ini. Mereka hanya tinggal bertiga tanpa kehadiran Ayah. Dua anak laki-laki memang terkadang sulit untuk diajak bicara, tapi mereka bisa menjadi pelindung terbaik untuk ibunya yang telah berjuang keras untuk menghidupi putra-putranya.


Sahabat saya sendiri mengalami hal yang sama seperti kasus di atas. Sayangnya, 'dendam' justru terbentuk di diri adiknya hingga dewasa sebelum mendapatkan jalan keluar. Sebenarnya keduanya mengalami proses pembandingan yang sama. Bedanya si Kakak yang dianggap tak setekun dan serajin adiknya, memilih bersikap cuek jika orang membandingkannya. Berbeda dengan si adik yang dianggap tak menyamai setengah saja dari prestasi Kakaknya, serta tidak memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik seperti si Kakak. Akibatnya setelah dewasa, adik selalu menganggap orang-orang yang membela atau membenarkan kata-kata Kakaknya sebagai pihak yang memandangnya rendah. Hubungan antara Kakak dan Adik pun berjalan buruk, karena proses komunikasi sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu yang pahit.


Hal ini tidak saya harapkan terjadi pada kasus anak remaja di atas. Semoga hal ini juga membuka mata orang-orang yang terjun di dunia pendidikan untuk berhenti membanding-bandingkan anak. Setiap anak memiliki potensi unik yang hanya perlu penggalian lebih baik, dan dihargai adalah kunci utama untuk membuka harta itu.


Lingkungan memang terkadang kejam pada seorang anak, tapi jika ia mampu menyiasati kekejaman lingkungan maka seorang anak pasti bisa menjadi orang dewasa dengan pemikiran yang matang dan berpengalaman.


*****

Tidak ada komentar: