30 November 2014

Ketika Dokter Bilang Anakku Autis


Kalau ada yang memikirkan dirimu melebihi dirimu dan dirinya, dia adalah ibumu

Kalau ada yang bekerja demi dirimu melebihi kemampuanmu, dia adalah ibumu

Kalau ada yang berusaha lebih baik untukmu melebihi usahamu sendiri, dia adalah ibumu

Kalau ada yang sangat sabar mengurus dirimu, melebihi dirimu mengurusnya, dia adalah ibumu

Karena seorang Ibu tak mengenal kata menyerah!!


Kata-kata itu terngiang di telingaku setiap kali kata 'menyerah' menyinggahi hatiku. Aku seorang ibu, aku akan kuat, aku akan tegar dan aku akan kokoh seperti sebuah karang di lautan, seperti matahari yang tak berhenti bersinar dan seperti gunung yang takkan pernah bergeser di tempatnya.

Tidak ada kata paling menyakitkan di dunia bagi seorang ibu selain mendengar berita buruk tentang anaknya. Dan itulah yang terjadi dalam hidupku. Sangat menyakitkan dan membuatku berteriak marah pada dunia, mengapa itu terjadi pada putriku? Mengapa bukan aku? Apa salahnya hingga di usia sekecil itu dokternya memberi diagnosa pahit seperti itu?

"Anak ibu autis. Dia harus diterapi." Dokter mendeskripsikan sebuah kata yang menghantam seluruh hatiku seperti bom nuklir. Wajahnya tenang tanpa ekspresi murung sama sekali, kejam memberitahuku alasan di balik berbagai masalah yang dialami putriku belakangan ini.

Siapa yang tak bertanya-tanya? Ketika putriku yang lucu dan imut, hanya mampu mengucap dua suku kata di usianya yang sudah masuk angka dua tahun. Itu tak seberapa dengan seringnya ia menolak berkomunikasi denganku. Ia tak mau melihatku, ia sibuk dengan dunianya sendiri walaupun aku berusaha keras mengajaknya bicara atau bermain.

Usiaku masih muda saat itu. Sebagian teman-temanku masih sibuk di dunia pendidikan, yang lain sudah beranjangsana dari satu kantor ke kantor yang lain. Ketika aku sibuk menyuapi putriku dengan susah payah mencari perhatiannya, mereka mungkin sedang tertawa gembira menghabiskan waktu di cafe dan restoran terkemuka.

Tak sekali dua kali air mata ikut menetes, tiap kali sendok penuh makanan berceceran jatuh karena ditepuk oleh putriku. Dia tak mau menyentuh makanannya kalau aku tak memberikan keinginannya. Aku ingin memaksanya, tapi yang terjadi hanyalah kekacauan yang makin parah. Saat itu, aku ingin menyerah.

Tak sekali dua kali teriakanku pecah tak terkendali lagi, saat barang-barang berserakan karena dilemparkan begitu saja dan putriku tak berhenti menangis karena makanan atau minuman yang ia mau tak kuberikan. Aku ingin membuatnya memahami, tolong anakku, dengarkan ibumu. Ibu lelah. Sangat lelah. Mohon kau sekali ini turuti keinginanku. Saat itu, aku ingin menyerah.

Tak sekali dua kali amarahku meledak, saat aku tak lagi sanggup menahan lava di dadaku. Lava yang kutahan demi putriku. Lava yang makin mendidih ketika orang-orang di sekitar kami mendengus dan mencibir. Lava yang terbentuk karena tak seorangpun mau membantuku, tapi malah menyalahkanku. Saat itu, aku ingin menyerah.

Entah berapa banyak airmata yang tumpah di tengah malam, tak terhitung berapa kali aku menggigit ujung kain agar suara isakanku tak membangunkan putriku yang terlelap pulas dalam mimpinya. Satu-satunya saat ia tenang dan diam bagai anak-anak normal lainnya.

Aku tak tahu keajaiban itu selalu mengikutiku. Tidak pernah aku menyadari betapa banyak pertolongan Allah SWT bersamaku saat itu. Aku selalu menemaniku putriku dalam setiap sesi terapinya, menangis diam-diam di luar mendengar jeritannya memanggilku dan berusaha setegar mungkin tidak berlari masuk lalu membawanya pergi sejauh mungkin dari para penerapi itu. Saat itu, aku ingin sekali menyerah.

Aku berusaha tidak menyalahkan apapun dan siapapun. Tidak pada pekerjaanku yang saat hamil putriku itu bergelut dengan oli dan minyak setiap saat. Tidak pada makanan dan obat yang tak kujaga saat empat bulan pertama mengandungnya. Tidak pada kondisi ekonomi rumah tangga yang saat itu benar-benar jatuh terpuruk. Tidak pada keluarga yang saat itu justru tak memahami kesulitanku beradaptasi dengan lingkungan. Tidak, meski berkali-kali aku ingin menyerah.

Kekuatanku kudapatkan dari putriku. Demi Allah, tak ada penyemangat lain selain dari putriku sendiri. Ia mengucapkan 'Mama' dengan lancar, dia memberiku sekuntum bunga dan ia memelukku dengan hangat. Itu sudah cukup untuk membuatku berhenti berpikir untuk menyerah.

Kita takkan pernah menyerah, anakku. Tidak satu detikpun, tidak satu haripun. Kita akan berjuang bersama. Bahkan ketika seluruh dunia menyuruhku berhenti, bahkan ketika dunia tak lagi mendukung putriku. Aku, ibumu akan bersamamu, memberikan seluruh jiwa ragaku untuk mengeluarkanmu dari dunia tak berujungmu yang sepi. Itu janjiku yang terpatri jelas untuknya. Untuk putriku tercinta.

Melalui terapi adalah hal tersulit bagi kami berdua. Karena untuk pertama kalinya kami terpisah. Walaupun hanya beberapa jam, itu juga neraka untukku. Tapi aku tahu, suatu saat semua ini terbayar.

Lima tahun pertama usianya, aku seringkali harus mengurut dada sendiri. Lama-lama terbiasa, dan pada akhirnya aku belajar sabar dari hari ke hari. Tanpa kekuatan sabar, ia takkan pernah tersembuhkan. Walaupun dalam hati, di ujung hati yang paling dalam tersembunyi keinginan memiliki anak cerdas dan berprestasi, aku menyimpan serapat mungkin. Tak ada yang paling kuinginkan saat itu, aku ingin punya anak normal dengan senyum, tawa dan kata-kata untuk berkomunikasi denganku. Itu saja, sederhana.

Tidak mudah menekuk lutut dan memaksanya menatapku tiap kali bicara. Tidak mudah menahan diri menghentikan Ayahnya atau siapapun di sekelilingnya untuk berbicara lebih pelan dengan artikulasi jelas. Tidak mudah mencari kegiatan yang mendukung terapi dan memaksanya berlatih berkonsentrasi. Tidak mudah mencari makanan atau minuman yang sesuai untuk mendukung kesehatannya. Tidak mudah memaksa untuk fokus saat melakukan sesuatu. Tidak mudah mengalihkan perhatiannya dan menuntun ke arah yang lain. Tidak ketika di sisi lain, sebagai seorang istri, aku juga harus membantu suami mencari nafkah.

Waktu mengajariku, kalau semua itu kulakukan dengan mudah maka aku takkan pernah menghargai setiap hal yang kudapatkan. Satu langkah kemajuan, ada airmata, tawa dan rasa syukur bertebaran.

Hanya saja, kadang adapula satu langkah kemunduran terjadi karena lingkungan kadang sangat kejam pada putriku. Aku ingin marah, aku ingin berteriak dan aku ingin bilang pada mereka. Kau adalah putriku, tak ada yang boleh menyakitimu, tidak dengan cemoohan, tidak juga dengan tatapan menuduh seperti yang mereka lakukan padamu di tahun-tahun awalmu di sekolah dasar.

Karena itu aku hanya bisa berusaha dengan keras di rumah bersamanya. Menemani belajar, mengetuk meja agar membuatnya fokus dan memberi makanan yang aman untuk dikonsumsi. Kusiapkan dirinya untuk menghadapi kekejaman dunia. Kupelajari semua hal yang mencegah dirinya kembali ke dunia sendirinya lagi. Aku tak mau. Aku tak mau menyerah karena sekali aku menyerah, seluruh usahanya dan usahaku akan sia-sia.

Demi Allah, tak ada yang tahu bahwa hadiah seorang Ibu yang sabar itu takkan pernah dinilai dengan harta dunia, bahkan tidak bisa disamakan dengan seluruh emas di dunia ini. Karena untuk pertama kalinya, aku menyadari perjuangan selalu berbuah manis dan indah. Bahkan ketika seluruh pialaku selama ini dijejerkan, tak ada artinya dibandingkan satu piagam yang menandakan putriku adalah anak biasa yang juga bisa meraih prestasi. Tak ada yang lebih mahal daripada itu. Jadi jangan salahkan aku ini ketika aku justru menangis saat menemaninya menerima piagam itu. Aku terlalu berterima kasih pada Allah, terlalu bangga dan terlalu terharu untuk menahannya sendirian.

Piagam itu, piala yang kini berjejer rapi di atas meja, dan foto-foto bukti prestasinya yang makin menjulang adalah buah kerja keras itu. Senyumnya tak lagi milik dunianya yang hampa, senyumnya kini untukku dan untuk Ayahnya, untuk kerja kerasnya, untuk sebuah kalimat yang selalu kusimpan dalam hati. Tidak menyerah!

Jangan pernah menyerah! Dan itu tak pernah kulakukan sekalipun. Tidak meski airmata mengering dan seluruh hati dan tubuhku terasa sakit. Seorang Ibu tidak boleh menyerah. Tidak meski dia sangat sedang sakit, tidak meski seluruh dunia bilang ia takkan sembuh. Tidak meski tak seorangpun percaya putrinya bisa sembuh dan membuktikan kalau diagnosa dokterpun bisa salah. Seorang ibu adalah pilar untuk putrinya. Tidak boleh sedikitpun meninggalkan putrinya. Ibu sejati adalah mereka yang selalu menemani putrinya melewati suka dan duka bersama. Itu ibu sejati. Ibu yang takkan pernah meninggalkan putrinya. Ibu yang akan memperjuangkan putrinya bukan untuk kebaikannya semata, tapi untuk kebaikan putrinya. Ibu yang tidak egois dan memikirkan dirinya saja. Kalau saat itu aku memikirkan diriku sendiri, entah apa yang terjadi pada putriku saat ini. .

Tak semua wanita beruntung bisa menjadi Ibu. Tapi tak semua ibu bisa menjalani anugerah terbaik dalam hidupnya sebaik mungkin. Anak adalah anugerah, menjadi ibu adalah anugerah. Menjalani hubungan baik bagi keduanya adalah kodrat terbaik yang harus dijalani dengan kemampuan yang datang dari hati dan usaha sebaik mungkin. Jika tidak semua akan sia-sia.

Maka... cinta dan kasih sayang adalah segalanya untuk membuktikan kitalah ibu sejati. Ibu yang tak mengenal kata 'Menyerah'.

*****




Tidak ada komentar: