Ketika pertama kali mendengar kata Ghost Writer, saya bilang itu pekerjaan terbodoh yang harus dijalani. Kok bisa ya ada orang tak mau namanya dikenal? yang justru memilih pekerjaan di belakang orang-orang. Bukankah itu sama saja artinya membohongi publik?
Saya berpendapat seperti itu ketika saya belum tahu apa artinya. Ketika saya tak tahu apa makna di balik kata-kata itu.
Saya pernah merasakan saat-saat di mana orang mengenal saya sebagai seorang penulis. Keisengan saya membuktikan bahwa menulis dengan gaya “TELL, NOT SHOW” pun bisa diterima dengan baik, tergantung dari cara penyajiannya saja, malah berbuah kepopuleran yang menakutkan. Keinginan memberontak dari alur sastra ternyata mampu membuat saya dikenal banyak orang.
Apa alasan saya menjadi seorang Ghost Writer???
Pertama, faktor diri sendiri…
Saya kurang percaya diri dan takut menerima kritik. Mau apalagi? Itu salah satu penyakit diri yang sedang diobati, dan menjadi populer malah akan menambah parah. Bayangkan ketika kamu merasa sedang memakai pakaian terburuk lalu tiba-tiba semua orang menatapmu, nah seperti itulah rasanya. Saya takut pada penilaian orang karena saya sadar sekali kalau saya bukanlah manusia sempurna.
Saya juga ketakutan setengah mati, ketika mendapat komentar-komentar pahit walaupun hanya sedikit. Stress rasanya mengetahui banyak orang ternyata tak bisa menerima kelebihan orang. Dan jujur, itu sangat menyakitkan.
Kalau sedang menulis, saya bisa hidup di dunia lain. Anak-anak dan suami sangat memahami ini. Saya bisa lupa makan, lupa tidur bahkan lupa waktu. Dan kadang-kadang menjadi terkenal itu justru mengganggu sekali karena harus online terus menerus di handphone. Saya suka banget nulis status, tapi tidak suka kalau ditelpon atau dicurhatin berjam-jam.
Kedua, penjara kreativitas…
saya merasa tak bisa memenuhi harapan semua orang yang menjadi para penggemar itu. Mereka menuntut kesempurnaan, sesuai karakter tokoh-tokoh rekaan saya. Saya menjadi tak bebas berekspresi bahkan cenderung berhati-hati. Akhirnya ini malah menjadikan kreativitas saya seperti terpenjara. Saya harus memilih cerita yang benar-benar sesuai dengan keinginan pembaca, atau saya akan dikritik habis-habisan
Ketiga, waktu…
Saya tak punya waktu banyak untuk mengurusi hal-hal tetek bengek seperti bertemu orang-orang yang berhubungan dengan pekerjaan saya sebagai penulis, menerima tamu-tamu mendadak atau menjawab berbagai pertanyaan di email-email saya. Saya suka banget makan dan nonton film berjam-jam, saya juga suka bergaul dengan teman-teman, dan saya selalu sangat suka bermain dengan putra-putri saya. Kalau sudah seperti itu, sulit rasanya membagi waktu untuk hal-hal lain.
Keempat, saya sudah pensiun…
Menulis adalah kegemaran saya. Hobi lama yang saya jalani setelah bertahun-tahun bekerja mencari uang, baik di belakang meja maupun di bawah sengat matahari. Saya menjalani lebih dari tujuh macam pekerjaan, dari sekedar angkat telepon sampai akhirnya berurusan dengan pejabat-pejabat penting di negara ini. Saya menulis karena saya suka, bukan karena saya butuh uang. Kalaupun ada uang yang dihasilkan, itu semata-mata karena bonus tambahan.
Kelima, faktor pasar…
Ada yang bilang menjadi seorang pekerja seni di Indonesia harus menghasilkan 100 karya bermutu dan menjual kalau ingin kaya raya, hidup enak dan menghasilkan warisan berlimpah. Sedangkan di luar negeri, hanya perlu 1 karya terbaik untuk bisa seperti itu. Kalau yang pernah menulis dan mengoper karyanya ke luar, pasti mengerti maksud saya. Di sini kita berjuang menghadapi plagiator, atau penerbit-penerbit nakal yang bermain dengan royalti kecil. Sementara di luar, penulis ya hanya penulis karena penerbit bersaing keras merebut hati penulis hingga menyediakan beberapa fasilitas yang cukup menunjang.
Di sini, kita juga harus mengikuti keinginan pasar. Sesuatu yang kadang-kadang bertentangan dengan kita. Dan kalau kita dikenal sebagai seorang penulis yang karyanya menginspirasi, kalau memilih genre lain yang berlawanan justru nanti mendatangkan pertanyaan-pertanyaan dan bukan tak mungkin kehilangan penggemar. Apa perasaan anda ketika melihat seorang penulis yang biasa menulis tentang dunia Islami lalu mendadak menulis tentang dunia seorang lesbian? Padahal penulis yang baik adalah mereka yang bisa menulis dalam genre apa saja.
Alasan lain…
Selain dari alasan di atas, pasti banyak alasan lain dan tidak semua orang sama. Ada hal lain yang menjadi alasan utama saya dan itu menyangkut keluarga. Tapi itu menjadi rahasia saya saja. Yang jelas, alasan terakhir inilah yang menjadi alasan terbesar saya sebenarnya.
Sebenarnya, ada juga keinginan saya menuliskan nama sendiri dalam sebuah novel. Tapi ya itu tadi… syarat saya sangat banyak, harus lebih baik dan lebih bagus daripada semua karya-karya saya yang ‘dibeli’ orang. Saya tidak keberatan untuk melihat nama orang di atas karya yang saya ciptakan karena mereka membayar dengan harga yang pantas, daripada orang-orang yang mengklaim karya saya sebagai milik mereka tanpa sama sekali peduli perasaan saya dan tak ada hukum yang bisa menghentikan mereka.
Lagipula, dunia Ghost Writer itu menyenangkan. Saya bertemu banyak orang penting, dan ikut-ikutan menjadi stalker yang dengan puas hati membaca komentar-komentar tanpa kuatir kalau itu ditujukan pada saya. Penakut? Pelacur Sastra? Cheater? Ah… peduli amat, toh buat saya inilah jalan terbaik untuk tetap berkarya dan menghasilkan kepuasan batin untuk diri sendiri.
Daripada saya berhenti menulis, berhenti berkarya dan menghasilkan sesuatu yang menghibur… lebih baik seperti ini. Saya merasa aman, damai dan bebas. Saya bisa makan, bisa nonton, bisa menulis status apapun, bisa bermain kapanpun dan tentu saja bisa menulis tentang apa saja.
Dan saya…. salah satu Ghost Writer… Mau saya hantui?? Hihihihihi….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar