14 April 2014

Bukan Semata Karena Gaji


"Berapa gaji lo kerja di situ? Enak gak kerjanya?"


"Tawarannya lumayan tuh, mbak. Pokoknya aja di atas 3, udah terima aja! Di atas standar."


"Pantas aja lo terima, gajinya lumayan sih di situ."



Pernah mendengar kata-kata itu? Buat karyawan, buruh dan orang-orang yang numpang hidup dengan bekerja pada orang lain, tentu saja percakapan seperti itu tidaklah asing. Setidaknya buat saya, setiap kali ada teman atau ketika saya pindah atau resign karena tawaran pekerjaan lain, percakapan seperti itu selalu saja terjadi.


Padahal memilih pekerjaan bukan hanya semata karena besarnya gaji yang diterima, apalagi semenjak adanya standar baku gaji perkotaan yang telah diatur sedemikian rupa hingga ke bidang atau jenis pekerjaan dan usahanya. Biasanya pengusaha besar yang sudah mapan usahanya berani membayar dengan standar gaji jauh lebih tinggi asal memperoleh karyawan atau karyawati dengan skill tinggi atau jam terbang kerjanya sudah di atas rata-rata. Sementara pengusaha kelas menengah mengutamakan karyawan atau karyawati yang mau menerima gaji pas-pasan walau skill mereka jauh di bawah rata-rata, malah banyak juga yang memilih yang fresh graduate dengan alasan lebih mudah diajari.


Ketika kita sudah memiliki jam terbang kerja yang lumayan atau skill yang bisa diperhitungkan, saat memilih pekerjaan tidaklah semudah yang dikira orang. Gaji besar yang diinginkan siapapun pasti mau. Tapi pertimbangan itu menjadi kepentingan yang dipikirkan belakangan setelah berbagai hal seperti di bawah ini :


Manajemen : mungkin ini terkesan terlalu dalam. Tapi saat kita bekerja, biasanya pertimbangan atasan atau bos yang akan menjadi pimpinanlah yang sering menjadi bahan pertimbangan lain. Bekerja dengan gaji besar bisa menjadi bumerang kalau manajemen pekerjaan yang kita masuki ternyata manajemen konflik.


Manajemen konflik ini sangat berat, dan banyak digunakan para pengusaha kelas menengah agar karyawan dan karyawati mereka tidak saling berjama'ah dalam melakukan korupsi dan kolusi. Antara karyawan satu dan karyawan yang lain akan sering diadu domba oleh jajaran pimpinan sebagai cara untuk membuat para karyawan akhirnya hanya "mengadu" ke pimpinan. Berada dalam lingkungan pekerjaan semacam ini benar-benar seperti di neraka, karena hampir seluruh tingkah laku dan cara kerja kita seperti diintai. Antar karyawan atau pekerja terjadi saling sikut, menjatuhkan dan menjilat pada pimpinan.


Meskipun terkesan semrawut, manajemen konflik ini masih sering ditemui di beberapa perusahaan. Berdasarkan pengamatan saya, biasanya manajemen konflik ini dilakukan oleh para pengusaha kelas menengah yang jarang berada di kantor atau memiliki usaha lebih dari satu.


Tanggung Jawab : Saat seseorang dibayar dengan gaji di atas standar, biasanya pimpinan juga berharap hasil yang akan mereka dapatkan dari si pekerja juga di atas standar. Ini berita bagus untuk pekerja yang memang menguasai bidangnya dengan baik, atau paling tidak menikmati cara kerja "di atas" standar yang ditetapkan. Tapi jika ternyata tanggung jawab yang dipikul justru menjadi beban tersendiri dan membuat si pekerja tak lagi menikmati tantangan maka gaji besarpun menjadi tak ada artinya. Pernah ada seorang teman yang begitu senang diterima dan mendapat pekerjaan impiannya, juga disertai gaji tiga kali lipat dari gajinya di perusahaan sebelumnya. Tapi saat harus bekerja tiga kali lebih keras dari perusahaan sebelumnya, ia akhirnya menyerah. Tubuh tak kuat dan otaknya juga lelah karena diperas habis di luar kebiasaan. Meski heran karena teman-teman sekerjanya semua sanggup bekerja seperti pekerja rodi, dia memilih mengundurkan diri dan kembali bekerja di tempat yang lama. Toh akhirnya uang gaji yang besar itu tak bisa dinikmati sepenuhnya, karena ia terpaksa membayar biaya rumah sakit akibat sakit kelelahan selama masa percobaan.


Keseimbangan antara gaji dan biaya hidup : Ketika seorang calon pekerja mendapat penawaran gaji di atas standar, maka jangan pernah lupa memperhitungkan biaya-biaya yang dikeluarkan sepanjang masa kerja. Saya tahu benar beberapa pengusaha "nakal" membodohi calon pekerja dengan menghitung gaji secara lump sum. Ada yang langsung menuliskan lima juta rupiah, tapi saat ditanya baru tahu kalau gaji tersebut sudah termasuk biaya-biaya transport, makan, kesehatan, pajak, bahkan perumahan. Padahal perusahaan yang memiliki laporan keuangan yang baik, akan memperhitungkan dengan rinci apa saja biaya di luar gaji pokok, bahkan beberapa mencantumkan besaran asuransi, pajak atau potongan pph dari negara. Sebagai wajib pajak, pekerja juga mendapatkan laporan pemotongan pajak gaji setiap tahun dari negara dan sebagai peserta asuransi Jamsostek (untuk swasta). Pihak perusahaan juga akan memberikan salinan gaji dengan rincian tertulis (walaupun gaji ditransfer) pada karyawan.


Jangan terkecoh oleh slip gaji dengan angka besar tapi tidak mencantumkan rincian apapun. Laporan beberapa asuransi juga sudah bisa diakses di internet, asalkan anda memiliki nomor kartu dan mendaftar. Mengenai asuransi akan dibahas di masa mendatang.


Satu hal lagi, penting menyimpan slip gaji anda sebagai bukti pembayaran. Beberapa asuransi, bahkan rekomendasi kartu kredit membutuhkan slip gaji sebagai persyaratan. Slip gaji juga diperlukan sebagai barang bukti jika di kemudian hari terjadi selisih paham secara hukum antara pekerja dan perusahaan. Slip gaji harus memiliki tandatangan pihak pembayar dan cap perusahaan.


Jenjang Peningkatan : Mengetahui apakah setelah bekerja dan menerima gaji besar lalu ada peningkatan jenjang karir atau kesempatan berkembang juga penting bagi calon pekerja. Semua orang pasti ingin mengalami sebuah peningkatan dalam usahanya bekerja atau dalam hidup. Jika tak ada kemungkinan kenaikan gaji secara berkala atau kesempatan memperoleh peningkatan jenjang karir yang lebih baik, maka mendapatkan gaji besar menjadi tak ada artinya setelah dua atau tiga tahun ke depan.


Tak adanya pengembangan karir bisa mengakibatkan kejenuhan bagi si pekerja dan bisa-bisa malah menurunkan standar kemampuannya. Dan yang paling penting, usahakanlah setiap kali pindah kerja seorang pekerja memperoleh hasil yang lebih besar dari gaji yaitu menambah kemampuan atau skillnya.


Buat Plan A, B atau C : Saat memutuskan menerima atau bekerja, seorang pekerja harus memikirkan hal-hal lain selain besaran gaji. Gaji sebesar itu apakah sudah diimbangi dengan kenyamanan dan kesenangan saat bekerja, fasilitas pendukung yang mungkin dulu tersedia di perusahaan lama apakah masih tersedia atau justru sudah termasuk dalam gaji, tantangan yang akan dihadapi apakah sanggup dipikul atau malah jadi beban, apakah masih bisa menjaga semangat kerja sama seperti pekerjaan sebelumnya, menilik sekali lagi apa tujuan pindah kerja, dan jangan lupa pertimbangkanlah kemungkinan tidak betah bekerja di tempat yang baru. Persiapkanlah sebelum memutuskan semuanya.


Jadi besarnya gaji bukanlah semata tujuan seseorang untuk bekerja. Ada banyak faktor yang ikut menentukan betah tidaknya seorang karyawan. Jangan heran ketika melihat seseorang, yang semasa kuliah bekerja sebagai office boy namun tetap bertahan setelah ia lulus. Ternyata orang itu sedang menunggu peluang kesempatan bekerja di perusahaan itu karena ia merasa sudah betah bekerja di situ dan berharap menjadi bagian dari karyawan tetap karena merasa nyaman dengan situasi yang sudah biasa ia hadapi.


Bekerja bukan lagi semata karena gaji, bekerja karena keinginan seseorang membuktikan dirinya sebagai seseorang yang mampu dan memiliki dedikasi. Bekerja bukan lagi semata karena gaji, tapi karena keinginan untuk keseimbangan antara impian dan kenyataan. Sebenarnya masih banyak yang harus jadi pertimbangan khusus, tapi saya memilih beberapa item di atas sebagai hal-hal utama yang menjadi pertimbangan. Semoga di lain kesempatan kita masih bisa membahas mengenai dunia kerja.


 


 


* Ditulis berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi penulis saat masih bekerja (full time worker) di berbagai perusahaan antara tahun 1997 - 2012.

 

Tidak ada komentar: