24 Januari 2014

Menikah, Bertahan Tapi Tak Bahagia (1)

Setelah menikah, setiap pasangan pasti memiliki keinginan yang berbeda-beda. Ada yang ingin cepat-cepat merasakan enaknya berbagi dengan pasangan, ada yang ingin cepat memiliki momongan, ada yang ingin melepaskan masa-masa kesendirian tanpa kasih sayang. Tapi semuanya memiliki inti yang sama. Ingin bahagia.


Di Indonesia, masih ada nilai-nilai lain yang ikut mempengaruhi kultur masyarakatnya terutama yang sudah berumah tangga. Nilai kekeluargaan yang dekat satu sama lain bahkan setelah menikah. Saat ini kata perceraian masih sangat ditabukan bahkan masih sering dianggap sebagai tindakan yang salah, meskipun dalam agama sendiri bukanlah sesuatu yang diharamkan.


Suatu ketika, saya pernah membahas tentang perceraian bersama para keluarga sepuh yang berpengalaman. Dari mereka, justru timbul kesimpulan yang menurut saya sedikit jauh dari konteks. Yaitu anggapan bahwa perceraian adalah penyakit jiwa yang bersifat keturunan, artinya jika ada orangtuanya atau kakek neneknya yang bercerai, maka pasti salah satu anak atau cucunya juga akan mengalaminya. Saya menahan diri untuk tidak membahasnya dari sisi logika dan agama karena walaupun bagaimana ada saatnya kita harus pandai mengendalikan diri untuk berdebat tanpa menghilangkan rasa hormat.


Mungkin karena sebagian besar masih ada yang berpikir seperti itu, akhirnya dengan segala daya upaya, pernikahan pun dijalani meski harus jatuh bangun membina kecocokan. Sampai kulit mengeriput dan rambut beruban, selama masih bisa bertahan, keduanya tetap berusaha keras agar pernikahan tetap terjadi. Karena semuanya demi membuktikan pemikiran kolot itu, demi anak cucu agar tak terkena tulah dari nenek moyangnya.


Ada lagi kasus di mana banyak yang bertahan demi anak-anak, meskipun kehidupan pernikahan sudah seperti dua orang yang sedang berbisnis. Tak ada lagi perasaan atau emosi yang terlibat di dalamnya kecuali memaksakan diri untuk bertahan dalam pernikahan yang utuh.


Maka sekarang tanyalah pada diri sendiri bagi anda yang masih menikah. Apakah anda bahagia? Tak perlu mengumbar cerita betapa senangnya memiliki suami yang memiliki segalanya, atau memiliki anak-anak dengan segudang prestasi atau kehidupan ekonomi yang menunjang semua keinginan materi anda.


Bukan itu yang disebut bahagia.


Bahagia yang sesungguhnya itu adalah ....


Tak perlu bicara, tak perlu kata, bahkan mata yang saling memandang pun bisa menyampaikan seluruh isi hati kita. Perasaan kita sama-sama tersampaikan. Merasa diperlukan, merasa dihargai, merasa disayangi. Merasa dihormati dan merasa inilah saat dimana harapan kita dirasa telah dikabulkan. saat tak perlu bercerita, tapi bisa memeluk seseorang dan merasa seluruh beban terbagi. ketika anak sakit, ada pasangan di sisi kita, menahan airmata dan sama-sama saling menguatkan.


Bahagia adalah ketika timbul rasa berterima kasih pada Yang Maha Kuasa untuk semua yang telah kita dapatkan hari ini, entah itu kurang atau bahkan lebihnya.


Kalau jawabannya tidak....


Untuk apa bertahan dalam pernikahan tanpa kebahagiaan itu? Adakah pernah melihat efeknya pada putra-putri tercinta? Ataukah terhadap diri sendiri? Bagus atau tidak hasilnya semua tergantung pada penilaian diri sendiri saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang hanya anda ketahui sendiri jawabannya.


 


Menikah adalah bagian dari perjuangan untuk menjadi bahagia. Bukan untuk mengorbankan kebahagiaan. Sesulit apapun cobaan dan halangan dalam pernikahan, usahakanlah untuk tetap berjuang agar menjadikan kehidupan di dalamnya menjadi tempat yang menyenangkan bagi seluruh anggota keluarga. Tak tahu caranya, belajar. Tak memahami pasangan, bertanyalah padanya. Tak sanggup menjalani, coba ingat-ingat lagi masa-masa indah untuk menyemai semangat baru. (Bersambung)

Tidak ada komentar: