25 Januari 2014

Menjadi Manusia Pilihan (Di Balik Musibah)


Membahas banjir dan bencana yang berkali-kali menyinggahi Indonesia akhir-akhir ini takkan ada habisnya. Sinabung yang sudah berbulan-bulan muntah-muntah, memaksa banyak orang mengungsi entah sampai kapan. Kampung-kampung yang masih tergenang air, pedesaan dan sawah-sawah yang tenggelam, semuanya tak ada yang bisa menjawab kapan akan berakhir. Cuaca hari ini cerah, tapi besok siapa yang tahu. Bahkan ribuan garam yang ditaburkan pun tak bisa menghentikan kuasa Allah SWT.


Buat sebagian orang, seperti saya yang terbebas dari terjangan banjir, yang tak merasakan kepulan debu menyesakkan atau tinggal berhimpit-himpitan di tenda yang dingin dan lembab, semua bencana itu tidaklah berarti apa-apa.


Bahkan yang membuat saya menjadi sedikit miris. Semakin banyak orang yang justru senang melihat bencana terjadi. Saya tersenyum pahit mendengar opini (my big daughter said 'this is her opinion') putri tertua saya saat kami berdiskusi mengenai budaya antar negara, bahwa ada satu sifat buruk orang Indonesia kalau mereka senang melihat orang lain susah. Jujur, saya sedikit terkejut mengetahui pola pikirannya. Lalu ia memberikan beberapa contoh tentang budaya itu.



"Dulu Kakak pernah nonton di tivi, Mak. Pas wartawannya nanya apa Mas kebanjiran? Eh dia bilang nggak. Trus ditanya lagi, oh jadi Mas ini relawan? dijawab lagi sama Mas itu, nggak juga. Wartawan itu akhirnya nanya, jadi Mas ke sini mau apa? Mau lihat banjir, katanya sambil ketawa-ketawa."




Itu belum seberapa, Mak. Pernah lihat kan waktu kita melihat orang kecelakaan di Sunter dulu? Apa yang dilakukan orang-orang di situ? Bukannya ditolong dulu eh malah difoto-foto. Kan gak manusiawi ya, Mak."



Beberapa alasan lain hanya membuat saya mesem-mesem sendiri. Tapi mau tak mau harus mengakui kebenarannya. Saat kebakaran terjadi, ramai-ramai orang datang ke lokasi tanpa berniat membantu sama sekali dan malah membuat para petugas pemadam kebakaran kesulitan.


Dalam sebuah pelatihan safety standar untuk pemadaman api yang berpotensi kebakaran saat masih bekerja dulu, saya ingat kata-kata mentor yang memberi pengarahan bahwa kesulitan yang paling sering dihadapi para petugas justru menyingkirkan orang-orang yang hanya 'menonton'


Padahal, kita harusnya malu pada mereka yang mengalami semua musibah itu. Mereka itu orang-orang pilihan. Allah SWT memilih mereka sebagai orang-orang yang tepat untuk mengalami musibah. Orang-orang yang berusaha bersabar menghadapi musibah dengan tidak menyalahkan siapa-siapa. Mereka memang berharap bantuan, tapi ketika bantuan tak kunjung datang, apa mereka menyalahkan orang-orang yang menonton? Tak usah menyuruh mereka bersabar, karena ketika mereka telah tidur di tenda berhari-hari, berselimut udara yang dingin dan makan seadanya, itu artinya mereka sudah bersabar. Keikhlasan mereka sedang ditimbang kadarnya, dan musibah itu memperberat kadar keikhlasan itu. Musibah itu bisa menjadikan derajat mereka jauh lebih tinggi daripada manusia lain yang tidak mengalaminya, dengan kunci utamanya yaitu sabar.


Kita inilah yang harusnya malu. Tidur nyaman di rumah yang hangat, makan makanan lezat dan tak perlu berebutan, menonton televisi dengan hati tenang. Kita tak sadar, kalau kita ini sedang dimanjakan oleh kenyamanan hingga pelan-pelan kita menganggap bahwa semua itu adalah hal yang wajar. Biasanya karena terbiasa, kita justru lupa bersyukur. Bahkan ketika sebagian dari kita menganggap musibah orang lain sebagai bahan hiburan, itu artinya harus bertanya pada diri sendiri. Apakah kita ini manusia atau bukan? Masihkah punya rasa empati yang membedakan seorang manusia dengan makhluk lainnya?


Tapi untuk menjadi manusia pilihan, kita tak harus ikut mengalami musibah. Ada cara lain yang bisa membuat kadar kesabaran kita bisa berjalan seimbang dengan mereka yang mengalami musibah yaitu dengan membantu mereka dengan tulus ikhlas. Membantu walaupun sedikit, bisa mengubah pribadi seseorang, menumbuh suburkan kembali empati yang makin layu dan menguji kesabaran untuk berbagi.


Cuaca cerah makin sering terlihat beberapa hari terakhir. Berita di televisi juga sudah mulai menayangkan cerita tentang surutnya air. Sekarang, belum terlambat untuk berbagi. Masih banyak jalan untuk membantu, karena pasca banjir justru semakin banyak yang harus dilakukan. Mari menjadi manusia-manusia pilihan yang berbagi dan saling membantu dalam kesabaran dan keikhlasan.


Kita harus sama-sama mengubah pemikiran negatif tentang wajah bangsa Indonesia. Tugas besar itu bukan hanya tugas Pak Jokowi, Pak Ahok atau Pak SBY, atau Bapak-bapak pejabat yang tak bisa dipegang janjinya. Tugas besar itu milik kita. Tak perlu saling menyalahkan atau meminta pertanggungjawaban siapa. Kita bagian dari kota Jakarta, kita pula bagian dari penyebab masalah besar kota tercinta ini.


 


 


*****


 


 


 


 

Tidak ada komentar: