10 Februari 2013

Saya Bagian dari Konspirasi Itu

Sekarang tiap hari, ada yang baru di jadwal keseharian saya sebagai Ibu. Tiap hari, tiap pagi kecuali Selasa dan Kamis. Sambil memasak, atau sambil mengecek pekerjaan di lappy, putri saya duduk tak jauh dari saya dan menjawab soal-soal UN atau UAS yang diberikan pihak sekolah atau lesnya. Sesekali ia bertanya tentang isi pertanyaan yang tak ia pahami, dan saya dengan contekan kisi-kisi pelajaran yang menempel di dapur berusaha sesingkat mungkin menjelaskan. Kalaupun tak ada, kami tetap saling berdiskusi mengenai banyak hal tentang pelajaran. Tapi semuanya masih berkaitan dengan UN atau UAS Sekolah Dasar.


Sungguh ini ironi dalam hidup saya yang lebih menginginkan anak-anak saya berkembang menjadi pribadi yang berkarakter. Terpaksa karena aturan di sekolah dasar manapun di Indonesia, memaksa setiap anak harus melewati UAS dan terutama UN yang menurut saya sepertinya... mohon maaf... lebih mengedepankan hafalan dibandingkan mengembangkan pola berpikir anak dalam menghadapi situasi kehidupan yang lebih nyata. Kalaupun ada sekolah yang tak pakai UN, saya yakin para lulusannya pasti bingung mau ke mana...


Putri saya memang berprestasi di sekolahnya. Tapi ternyata itu tak cukup baginya. Tuntutan nilai di SMP yang ia tuju memaksanya untuk berjuang keras. Perjuangan yang memaksanya untuk menghentikan semua kegiatannya di luar sekolah yang semuanya dia sukai. Bahkan untuk sekedar libur satu hari melewatkan waktu bersama kami saja, Kakak sudah ketakutan ketinggalan pelajaran.


Tahun lalu ketika salah satu teman pemerhati pendidikan anak mengeluhkan tentang UN yang akan dilalui putrinya, saya tidak bereaksi apapun karena mengira itu hanya ketakutan yang tak berarti untuk anaknya yang memang saya tahu sangat cerdas. Tapi setelah melihat konsep penilaian yang diajarkan dari pihak sekolah pada kami orangtua, saya kini mengerti mengapa. Kurang satu saja nilai anak, siap-siaplah menghadapi ketidaklulusan. Prestasi enam tahun yang diukir anak seakan tak ada artinya dibandingkan nilai-nilai selama 3 hari itu. Belum lagi standarisasi nilai SMP yang ingin dituju, semua benar-benar ketat. Bahkan akhirnya anak teman itu hanya diterima di SMP yang menjadi second option-nya.


Saya berusaha untuk tidak menjadi orangtua berambisi. Meski tak mengatakan pada Kakak, saya bersiap menghadapi hal terburuk. Bahkan termasuk dana sekolah swasta yang bikin sport jantung. Tak apalah, karena semua demi anak tercinta. Tapi tetap saja, saya takut kekecewaan menyinggahi hati putri saya yang manis itu kalau ia tak masuk di SMP impiannya.


Melihat kerasnya perjuangan anak yang baru berusia 11 tahun itu dengan membawa kemanapun buku 'kumpulan kesimpulan'nya, menghafal berbagai jenis tumbuhan, hewan, ciri-cirinya sampai proses saluran pencernaan, pernafasan manusia dan pengetahuan mengenai negara-negara 'hampir' di seluruh dunia membuat hati ini miris. Jangan-jangan kalau dia ngobrol sama para dokter muda atau para Sejarawan, mungkin dia bisa mengimbanginya dibandingkan saya. Apalagi saya lihat pelajaran yang sekarang diajarkan padanya, semuanya dulu saya peroleh ketika sudah duduk di bangku SMP atau SMA.


Duh, Negara... Ke mana sebenarnya anak-anak tercinta ini diarahkan?


Konspirasi besar sedang terjadi di antara kita, konspirasi membentuk anak-anak yang pintar tapi tidak cerdas. Konspirasi yang lebih mengedepankan nilai dibandingkan potensi. Konspirasi yang lebih mengarahkan rakyat lebih pandai mencari untung dan pengetahuan sebaik komputer dibandingkan mengarahkan pada pengembangan karakter sebagai rakyat yang bermartabat dan berkarakter.


Dan saya menjadi bagian dari konspirasi itu sekarang.... Pray for Indonesia, untuk membuka pikiran para pemerhati pendidikan tentang keluhan seorang ibu, dan ibu-ibu lain yang menitikkan airmata karena bingung memilih buah simalakama, antara iba dan tuntutan, antara cinta dan keterpaksaan.


Love you my baby, but I am sorry...


*****

Tidak ada komentar: