14 Februari 2013

Rina dan Amira

Berkawan itu memang menyenangkan, memiliki sahabat pun lebih lebih lebih menyenangkan. Kita tak merasa sendiri apalagi ketika sedang bermasalah.


Ini adalah kisah tentang sebuah persahabatan. Antara seorang perempuan dan perempuan lainnya yang berbeda usia cukup jauh. Berkenalan tanpa sengaja karena mereka memiliki kesamaan hobi. Sebut saja perempuan yang satu bernama Rina dan yang lainnya bernama Amira. Rina baru berusia sekitar 33 tahun dan Amira sudah lewat 40 tahun.


Pertemuan itu tanpa sengaja ketika Rina mengenal Amira. Rina yang ceria menegur Amira yang cenderung lebih kalem. Awalnya Amira tak enak tak menanggapi uluran persahabatan itu, namun kemudian ketika hari demi hari berkawan, persahabatan mereka menjadi makin lama makin dekat. Mereka sama-sama menyukai sebuah jenis bunga dan sama-sama mulai memupuk mimpi suatu hari mereka akan membuka usaha toko bunga bersama. Rina bersemangat mengumpulkan modal dan Amira bersemangat mengumpulkan calon pelanggan.


Tapi kemudian sebuah musibah datang tanpa diduga, Amira kehilangan suami dan Rina terpaksa pindah karena pekerjaan suaminya. Mereka berpisah tanpa sempat berpamitan. Persahabatan pun terputus begitu saja. Sampai suatu hari...


Persahabatan itu kembali tersambung, saat Rina bekerja di sebuah stasiun televisi. Amira begitu senang bertemu sahabat lamanya dan mereka saling bertukar cerita. Sayang Rina hanya bekerja sementara karena saat itu ia sedang hamil tua dan lagi-lagi pindah ke kota lain. Tapi kali ini Amira meninggalkan sederet informasi tentang rumah barunya, keluarga barunya dan kehidupannya yang baru. Rina senang sekali karena Amira sekarang sangat bahagia.


Bertahun-tahun, persahabatan itu berlangsung. Sesekali Rina menelepon, memberitahu setiap kegembiraan yang terjadi dalam hidupnya. Kesusahan yang ia alami tak ia ceritakan karena malu. Sedang Amira, menceritakan segalanya, mulai dari hal-hal menyenangkan sampai semua masalah hidup yang ia hadapi. Terutama masalah putra-putrinya yang beranjak dewasa. Dengan bijak Rina membantu dan ikut memberi masukan. Pertemuan jarang terjadi karena kesibukan keduanya yang sangat padat. Tapi sesekali mereka tetap memaksakan waktu bertemu di suatu tempat walaupun hanya sesaat sekedar bertatap muka, bertukar kisah dan bertutur tentang dunia masing-masing.


Setiap rahasia Amira, semua disimpan dan didengar oleh Rina seorang. Ia mendengarkan, tanpa sedikitpun menyebarkan pada orang lain. Buatnya Amira sudah seperti dirinya saat sedang bercermin. Tak ada yang boleh tahu selain mereka berdua. Namun ia menutupi semua tentang dirinya, kecuali berkisah tentang cerita lucu anak-anaknya.


Sampai suatu ketika, mengalirlah sebuah kisah tentang salah satu anak Amira yang diceritakan dengan tangis tertahan oleh Amira pada Rina. Padahal di saat bersamaan Rina pun sedang kesulitan. Salah satu putrinya sakit keras dan membutuhkan dana operasi yang tak sedikit. Rina ingin berkisah, tapi kesedihan Amira terlalu dalam dan Rina tak sanggup menambah beban sahabat karibnya itu. Dibiarkannya Amira bercerita tentang segala hal yang membebani hatinya.


Putra Amira bukanlah orang biasa. Satu kisah yang diceritakan Amira pada Rina, jika diceritakan kembali pada orang lain selain mereka, maka biaya operasi putrinya akan tertutupi. Apalagi menurut Rina, seharusnya Amira berterus terang pada dunia agar bisa membantu putranya. Tapi Amira takut, takut anggota keluarganya tersakiti dan masalah akan semakin runcing. Putranya mencintai orang yang salah, dan itulah awal dari segala kisah buruk ini.


Rina tahu Amira pun menyayangi putranya sebesar cinta Rina pada putrinya. Ia gamang dalam keraguan. Akankah ia bercerita demi putrinya tapi kehilangan sahabatnya?


Saat hati Rina bicara, dua sisi kebaikan dan keburukan bertabrakan, berperang dalam pikiran, hingga semakin menambah kebingungan. Untuk beberapa waktu, Rina menyerah ketika melihat putrinya masuk ruangan ICU tanpa seorangpun yang tahu. Tangisnya meledak dan pikirannya pun jadi gelap. Ia melangkah cepat keluar dari rumah sakit menuju sebuah kantor redaksi majalah yang ia kenal, bersiap berbagi kisah Amira agar putrinya bisa diselamatkan. Ia tahu, jika ia memberitahu, redaksi itu pasti akan membayarnya mahal.


Tapi, suaminya yang bersiap mengantar mengingatkan. "Mencari uang lebih mudah dibandingkan mencari sahabat apalagi kepercayaan." dan Rina menangis... merasa bersalah sekaligus bodoh. Demikian gelap hatinya, hingga menghalalkan segala cara untuk mencari uang dengan cara yang tidak benar. Ia pun mengurungkan niatnya. Batal.


Bertebal muka dan menahan malu, Rina menelepon ke sana kemari untuk mencari pinjaman. Tak ada seorangpun yang mengiyakan, sampai nomor handphone Amira terpampang di antara nomor yang belum dihubungi Rina. Rina terdiam beberapa saat. Dan secara tak diduga, Amira menghubunginya. Kali ini Rina tak sanggup menyimpan deritanya sendiri dan ia ceritakan sambil mengisak tertahan. Amira langsung menyanggupi untuk membantu dan malam itu langsung datang menemui Rina. Dengan sembunyi-sembunyi, keduanya bertangisan di depan ICU, membagi sedih dan duka lara. Sedih karena anak-anak mereka sama-sama berada di jurang kesusahan, dan tak seorang ibu manapun di dunia ini yang bisa berbahagia. Rina tak berkata apapun tentang niatnya sebelumnya selain meminta maaf karena membuat Amira ikut susah karena dirinya. Amira juga meminta maaf karena tak memikirkan sahabatnya dan malah sibuk berkeluh kesah tentang putranya.


Persahabatan itu tetap utuh, dan semakin kokoh. Rina berterimakasih pada Tuhan karena mengingatkannya arti persahabatan bagi dirinya. Apapun kini yang menyangkut Amira adalah bagian dari dirinya dan menjadi kewajibannya untuk melindungi sahabatnya sama seperti sahabatnya saat membantunya.


Jauh di lubuk hatinya, Amira tahu sahabatnya juga pasti mengalami keragu-raguan itu. Ia tahu Rina menghubungi salah satu redaksi tabloid arena pihak redaksi mengkonfirmasi dirinya. Tapi ia juga tahu, Rina takkan membocorkan apapun dengan menjual persahabatan mereka. Sekian lama bersahabat, Amira tahu Rina adalah orang yang bisa dipercaya.


Dan ketika Amira kembali, ia mengirim sms untuk Rina.


"Terima kasih untuk memilih tetap menjadi sahabatku. Putrimu adalah putriku, dan aku berharap kau juga menganggap putraku adalah putramu. Kita sama-sama seorang ibu dan setiap ibu pasti akan melindungi anaknya. Aku memahami dan kau memahamiku, meski aku tahu kau tak setuju dengan caraku menyelesaikan masalahku. Sahabat tak hanya hadir dalam suka tapi juga dalam kesusahannya, sahabatku. Jangan segan berbagi derita padaku lain kali karena aku bersahabat bukan dengan kebahagiaanmu semata. Semoga putrimu cepat sembuh, dan kumohon bantu doakan putraku agar secepatnya kembali padaku. Aku menyayangimu."


Tak ada kata-kata yang sanggup dikirimkan Rina pada Amira dan ia mengangguk-angguk setuju. Persahabatan sejati dimulai dari hati, menerima segalanya termasuk kelebihan dan kekurangan, berbagi kebahagiaan dan kesulitan tapi tidak mengumbar kemalangan untuk mengeruk keuntungan. Persahabatan itu saling menguntungkan satu sama lain, bukannya merugikan salah satu pihak. Dan Rina merasa beruntung tidak menjual ketulusan Amira demi rupiah yang tak halal.


*****


Tidak ada komentar: