20 Januari 2013

Ketika Banjir Itu Singgah

Musim di Jakarta bukan lagi sekedar musim hujan. Tapi di Jakarta sudah berubah menjadi musim banjir. Semua orang sekarang memiliki satu perhatian yang sama, kekuatiran yang sama dan kewaspadaan yang sama.


Seperti penduduk Jakarta lainnya, saya juga melupakan hal-hal lain dulu untuk sementara. Semua perhatian tercurah sepenuhnya untuk waspada menghadapi banjir yang mungkin datang. Meski tak pernah kebanjiran, tapi keselamatan keluarga yang sepanjang hari lebih banyak di luar rumah seperti ke tempat kerja dan ke sekolah, mau tak mau memaksa saya mengikuti semua informasi terbaru tentang banjir di televisi. Paling tidak, saya bisa mencegah suami pergi kerja daripada harus kerja tapi malah tak bisa pulang karena terkepung banjir. Saat begini bukan uang yang diutamakan tapi keselamatan.


Tapi melihat kondisi para pengungsi di televisi, terus terang membangkitkan rasa kemanusiaan di hati saya dan sebagian teman-teman sesama ibu-ibu di sekolah anak saya. Sebagai ibu, tak tega rasanya melihat anak-anak yang menangis karena kedinginan, lelah dan lapar. Membayangkan seandainya putra-putri kami mengalami hal yang sama, sungguh membuat hati ini semakin teriris.


Salah satu teman pun berinisiatif mengumpulkan bantuan senin lalu. Secara swadaya, kami menginformasikan kepada teman-teman yang lain bahkan hingga ibu-ibu lain di luar sekolah. Alhamdulillah, bantuan lumayan banyak terkumpul. Saat itu, hanya perlu sehari kami sudah cukup banyak menerima sumbangan dari berbagai pihak. Modalnya pun hanya sms dan bbm berantai.


Ibu-ibu ini kebanyakan adalah wanita karir. Nah, tugas pengantaran bantuan yang telah kami siapkan pun menjadi tugas para Ibu-ibu 'pengangguran' seperti saya. Saat itu, saya pikir hanya sekedar mengantar bantuan tak ada salahnya saya lakukan. Toh, kegiatan anak-anak tak terganggu sedikitpun. Pendek kata, saya dan beberapa teman lainnya pun berhasil mengirimkan bantuan tak seberapa itu.


Ternyata hari kamis pagi itu saya malah disambut oleh kemungkinan banjir naik ke rumah. Jujur kaget banget karena selama lima belas tahun di Jakarta, tempat saya belum pernah kebanjiran. Rumor pun merebak di seputar lingkungan. Masing-masing berusaha mencari penjelasan kenapa banjir terjadi. Ada yang bilang banjir karena tanggul jebol, ada yang bilang pintu airnya ditutup dan dijaga dan berbagai rumor yang membangkitkan emosi.


Tapi itu tak penting saat itu. Yang penting adalah bagaimana caranya menyelamatkan barang-barang yang tak seberapa. Saya sibuk mengumpulkan anak-anak yang terlanjur ke sekolah dan salah satunya tak bisa pulang karena banjir terlanjur menutup jalan menuju rumah dan berbahaya karena antara parit besar dan jalan sudah tak bisa dibedakan lagi. Saya juga masih harus memonitor panti tempat saya biasa menghabiskan waktu senggang. Sibuk bukan main. Saya lupa segalanya. Saat itu dalam otak ini hanya ingin menyelamatkan dan memastikan orang-orang yang saya sayangi baik-baik saja. Handphone saya yang hampir tak pernah saya pakai pun terus menerus saya kantongi.


Sementara di rumah, si bontot malah merengek minta main 'air'. Setengah mati kami berjaga di pintu supaya si kecil ini tak menyentuh air kotor yang ikut membawa beberapa 'refugees' asing naik. Saya yang sebenarnya merasa jijik, terpaksa merelakan berendam kaki untuk sekedar mengecek apakah abang dan supir yang mengantarnya sudah sampai di ujung jalan beberapa kali. Beberapa anak-anak bayi dan balita tetangga juga diungsikan ke rumah saya yang berlantai dua. Oh ya, Allah memberi sedikit keajaiban buat kami. Rumah kami tak kemasukan air meski seluruh rumah tetangga di sekeliling rumah sudah kemasukan air padahal level rumah kami sejajar. Entahlah. Saya lebih suka menganggapnya itu kebesaran Allah SWT.


Alhamdulillah, hujan berhenti siang hari itu tepat saat jadwal makan siang anak-anak. Tepat saat itu pula anak saya berhasil pulang setelah jalanan sedikit surut. Sayang, aliran air PDAM mati dan sekali lagi Allah menolong kami karena kami tak merasakannya karena tempat air yang selalu dipenuhi air. Kami hanya makan nasi, mie dan telor karena seharusnya hari itu jadwal saya berbelanja ke pasar. Tapi anak-anak makan dengan lahap. Sungguh hati ini benar-benar merasa plong melihat anak-anak masih mau makan bahkan tampak gembira. Mungkin karena mereka menganggap air itu seperti sebuah mainan ya...


Anak-anak yang dititipkan pun pulang sore itu setelah rumah mereka dibersihkan. Saya dan suami baru merasakan kecapekan itu seperti apa setelah semuanya usai. Memang hanya dalam hitungan jam, tapi itu menjadi pelajaran buat saya sekeluarga betapa tidak enaknya banjir itu.


Cerita dan pengalaman anak-anak pun mengalir malam itu ketika kami terpaksa makan malam di tengah rumah yang masih seperti kapal pecah. Abang dengan seru bercerita tentang teman-temannya yang rumahnya disinggahi air hingga setinggi lutut, dan ada pula yang setinggi mata kaki. Ia ternyata tak tahu mata kaki itu seberapa dan bertanya pada kami. Lalu ketika abang bertanya. "Rumah kita setinggi apa banjirnya, Ma?"


Kakakpun menyahut. "Setinggi leher kodok!"


Kami tertawa. Anak-anak ini masih sempat-sempatnya bercanda di tengah kemalangan seperti ini. Bahkan ketika lagi-lagi kami terpaksa makan tiga serangkai nasi-mie-telor karena tak ada pasar yang buka, Kakak malah bercanda usai mendengar alasan ayahnya yang tak menemukan satu pedagang ikan pun. "Ngapain repot nyari ikan, Ayah. Kan dimana-mana ada sungai, tinggal modalin alat pancing doang!"


Saat itu, saya terpikir untuk menulis tentang persatuan yang saya lihat selama Jakarta terkena banjir. Satpol PP yang biasa garang, kini dengan sabar membantu seorang pedagang mendorong gerobaknya mencari tempat yang lebih tinggi. Dua orang anggota TNI dan dua anggota polisi menggotong dipan yang di dalamnya terbaring seorang ibu. Semua orang, dari etnis manapun, menggulung celana dan menggotong sepatu mereka. Bahkan lupa pangkat dan lupa kedudukan, di dalam genangan air banjir semua orang menjadi sama.


Tapi ternyata, akumulasi kelelahan akibat banyaknya kegiatan dan ceroboh yang menjadi satu membuat saya jatuh sakit. Demam dua hari sejak jumat lalu ditambah diare karena masuk angin dan tidak teratur beberapa hari terakhir, akhirnya membuat saya hanya bisa berbaring bahkan hampir ke rumah sakit. Pas mengecek kamar, ternyata rumah sakitnya masih kebanjiran dan yang satunya malah tergenang di bagian parkir. Percuma sudah segala niat dan upaya untuk menuangkan pesan inspirasi dalam kemalangan Jakarta ini ketika tubuh sendiri tak bisa diajak kompromi. Sama seperti niat teman-teman yang lagi-lagi ingin mengajak saya dalam sumbangan amal untuk korban banjir berkelanjutan yang belum surut.


Kesehatan itu lebih penting sekarang. Ini musim di mana penyakit gampang sekali singgah. Saya lihat juga sudah banyak penggerak dana amal untuk banjir Jakarta yang mulai aktif bergerak. Buat saya, sebagai penduduk Jakarta, korban dari bencana ini sekarang adalah saat untuk mengembalikan semangat baru. Menyusun kembali rencana yang sempat berantakan, memperbaiki cara pandang tentang air dan mendukung pemerintahan DKI Jakarta untuk bisa mengatasi banjir di hari-hari mendatang.


Ada satu hal menarik yang membuat saya sedikit tercengang. Seorang sahabat yang rumahnya kebanjiran hingga ia tak tidur semalaman berkata, "tiap kali hujan datang, saya selalu menganggapnya sebagai rezeki. Manusialah yang membuatnya menjadi bencana, karena air itu selalu mengalir dari atas ke bawah. Laut pun selalu pasang dan surut. Salah kita karena membuatnya tak tertampung dan itulah yang menyebabkan banjir. Juga salah kalau kita menganggapnya karena kesalahan air apalagi Allah."


*****

Tidak ada komentar: