[caption id="" align="alignleft" width="480" caption="google"][/caption]
Setiap orang memiliki kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat, yang telah dilindungi dalam berbagai undang-undang baik di Indonesia maupun dunia. Dengan kemudahan dan banyaknya media yang digunakan, setiap orang pun bisa dengan mudah mengekpresikan apapun yang ia mau dalam berbagai bentuk. Dalam hal ini pers menjadi media informasi dan komunikasi yang paling umum. Untuk menjaga agar semua informasi yang diterbitkan atau disebarkan kepada masyarakat umum itu tetap sesuai dengan kaidah moral dan etika profesi maka dibuatlah peraturan untuk menjadi landasan atau pedoman seseorang dalam menjalankan kemerdekaan pers-nya namun tetap bisa menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme yang disebut dengan Kode Etik Jurnalistik.
Kode Etik Jurnalistik biasanya dijadikan sebagai perlindungan sekaligus batasan untuk profesi wartawan dan Jurnalis. Namun kode etik tersebut seharusnya bisa dijadikan pula acuan untuk setiap orang yang menulis untuk umum seperti Blogger. Walaupun mereka tidak terikat oleh pekerjaan, setiap tulisan atau ekspresi berupa pendapat yang dituangkan dalam blog sudah pasti menjadi santapan publik. Sehingga menjadi kewajiban bagi setiap blogger untuk bisa menuliskan perspektif mereka dengan lebih bertanggung jawab terhadap kepentingan umum. bukan pribadi semata.
Sehari-hari saya menulis banyak artikel, terkadang berbentuk fiksi, kadang-kadang lebih suka non fiksi. Awalnya hanya sekedar curahan hati atau hobi, tapi lama-lama saya belajar untuk membagi pengetahuan dengan orang lain yang ikut membaca tulisan tersebut. Semakin sering menulis, semakin saya belajar banyak arti di balik setiap tulisan-tulisan yang saya hasilkan. Perlahan-lahan pun saya jadi tahu aturan-aturan tidak tertulis dalam dunia jurnalistik yang mulai saya tekuni sejak setahun terakhir. Untuk itulah saya pun ikut mempelajari cara menulis sesuai prinsip diri sendiri namun tidak bertentangan dengan kode etik jurnalistik sebagai bentuk tanggung jawab.
Dalam kode etik jurnalistik, dituangkan beberapa peraturan yang mendasar sebagai berikut bahwa Wartawan Indonesia :
- bersikap independen untuk menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk,
- menempuh cara-cara yang profesional,
- menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah,
- tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
- tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
- tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
- memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.
- tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
- menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
- segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
- melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Pada prakteknya, ternyata beberapa wartawan atau jurnalis masih melakukan banyak sekali pelanggaran yang diakibatkan dari berbagai macam faktor. Paling sering dijadikan alasan adalah deadline. Maklum saja, untuk penerbitan sebuah koran misalnya. Seorang wartawan dituntut untuk memperoleh berita yang benar-benar fresh dalam waktu yang cepat. Bukan dalam hitungan hari, tapi untuk hitungan jam. Meski hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan terus menerus, namun pelanggaran tetap saja terjadi.
Beberapa pelanggaran tersebut adalah sumber imajiner, identitas dan foto korban susila anak-anak dimuat, tidak paham makna "Off the Record", tidak memperhatikan kredibilitas narasumber, melanggar hak properti pribadi, menyiarkan gambar ilustrasi sembarangan, wawancara fiktif, tidak memakai akal sehat (Common Sense), sumber berita tidak jelas, tidak melayani hak jawab secara benar, membocorkan identitas narasumber dan menggunakan sebuah berita untuk memeras.
Salah satu bukti nyata, seringkali kita mendengar nama korban kejahatan susila disebutkan dengan terang-terangan bahkan wajah keluarga mereka pun ikut ditayangkan tanpa proses blur. Jelas hal itu membuat lingkungan sekitar korban mengetahui siapa dan bukan tidak mungkin makin menyebar. Ini belum seberapa dibandingkan banyaknya pemberitaan yang seringkali berkesan berat sebelah, menghakimi dan lebih banyak memancing emosi dibandingkan memikirkan solusi.
Masih ingat isu cuti bersama saat banjir menyerang Jakarta kemarin? Itu adalah salah satu bukti pelanggaran kode etik jurnalistik. Beruntung, walaupun sedikit terlambat akhirnya ada klarifikasi yang dilakukan dengan segera sebelum semua orang yang seharusnya berkewajiban menjalankan tugasnya untuk menolong para korban banjir ikut-ikutan libur. Bisa dibayangkan tidak kalau misalnya petugas-petugas yang seharusnya stand-by untuk membantu tersebut semuanya memilih ikut cuti bersama? Atau para satpam yang seharusnya bertugas membantu mengevakuasi dan menjaga kantor yang kebanjiran itu semuanya libur? Mungkin kelihatan sepele, tapi sebenarnya satu berita kecil bisa menjadi bencana besar kalau dikonsumsi oleh publik.
Ada satu hal lagi yang sering saya perhatikan pada media belakangan ini adalah keterbukaan informasi yang mereka dapatkan dari pihak kepolisian. Mungkin yang harus disalahkan adalah informan yang memberikan informasi tersebut pada media. Tapi seharusnya dengan alasan untuk melindungi keamanan umum, media tak perlu terang-terangan menjelaskan cara kerja para polisi yang masih dalam proses. Ini sangat krusial sekali karena bisa terbaca oleh para pelaku kejahatan. Memang harus diakui pula, dalam beberapa kasus kejahatan, media juga banyak membantu tugas para polisi.
Namun terlepas dari semua itu, tanpa kebebasan pers mungkin takkan ada reformasi di negeri tercinta ini. Banyak sekali manfaat pers bagi kita semua sebagai penyebar informasi dan media komunikasi. Asalkan mengikuti kode etik, pers bisa menjadi sahabat terbaik bagi penduduk Indonesia. Betapa mudahnya mengumpulkan empati dan solidaritas penduduk, ketika bencana terjadi di suatu daerah karena pemberitaan pers. Banyak kisah-kisah yang dapat memberi kita inspirasi dalam kehidupan kala pemberitaan, yang patut diacungi jempol.
Meski terkadang pemberitaan di infotainment lebih banyak tentang gosip, tapi juga bisa kita lihat banyak sekali artis-artis Indonesia yang masih bisa dijadikan contoh. Karya-karya mereka yang penuh greget di dalam negeri, bahkan ada yang mendunia. Film-film penuh inspirasi terbaru yang sarat dengan pesan mendidik pun diberitakan melalui media ini. Hanya mungkin karena masih banyaknya kebingungan soal status wartawan infotainment, seringkali pemberitaan yang disampaikan pun berkesan sekedar hiburan atau tontonan tanpa makna yang mencari-cari kesalahan dan lebih bersifat penghakiman pada seseorang.
Semua itu memang kembali pada setiap wartawan atau jurnalis yang menjalankan tugas mereka, apakah sesuai dengan kode etik atau tidak? Semua pelanggaran kode etik jurnalistik tersebut menjadi tanggung jawab Dewan Pers. Sanksi terhadap pelanggaran itu dilakukan oleh Organisasi Wartawan atau perusahaan Pers, dan kalau menyangkut pidana pun bisa dilaporkan ke lembaga hukum terkait. Kode etik jurnalistik memang wajib dipahami oleh setiap wartawan atau pers yang terkait, tapi akan lebih baik kalau kita yang juga sering menulis untuk media umum juga ikut mempelajarinya sebagai cara kita untuk memberikan tulisan-tulisan yang santun dan bertanggung jawab.
*****
sumber : Lembaga Pers Dr. Soetomo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar