08 Desember 2012

Sindrom Orangtua 'Baru'

 


google


Tiap hari, saya dan suami bergantian mengantar jemput anak-anak dari sekolah. Setiap hari pula sekarang saya jadi banyak mengenal orangtua para murid. Sebagian adalah orangtua yang sudah saya kenal sejak Abang masih TK, sementara yang lain adalah orangtua yang ‘baru’.


Orang tua baru artinya orangtua yang anaknya baru memasuki usia sekolah. Mereka ini biasanya cukup rajin dan update untuk datang ke sekolah karena anaknya biasanya hanya satu atau dua orang. Mereka inilah yang sering jadi bahan pembicaraan para orangtua ‘netral’. Mari kita sebut saja kami-kami ini seperti itu.


Ada dua jenis orangtua ‘baru’ yang datang memasuki sekolah bersama putra-putri mereka. Orangtua yang memiliki pengalaman, entah itu dari buku, pengalaman dari orang lain atau bahkan dari anak-anak mereka sebelumnya. Sedangkan yang lain adalah orangtua yang sangat baru mengenal dunia sekolah.


Naah, orangtua pada jenis terakhir inilah yang sering membuat para orangtua lain menjadi geli sendiri. Karena saya jarang nongkrong di sekolah, cerita ini sebagian diceritakan teman-teman saya, bahkan juga beberapa keluarga serta teman dekat yang banyak meminta saran soal sekolah. Buat saya ini penting untuk diceritakan karena jarang ada yang mau membawa tema ini ke media umum, padahal ini sangat penting.


Hal-hal itu antara lain :




  • Antara anak dan Bunda, tak bisa membedakan mana yang sedang bersekolah.



Beberapa TK atau PAUD bahkan SD ada yang membiarkan anak-anak tetap ditunggui selama masa orientasi sekolah yang biasanya berlangsung antara 3-7 hari pertama saat masuk sekolah. Tetapi ada beberapa orangtua yang seperti tidak bisa melepaskan diri dari anak-anak mereka. Ingat Bun! Anak itu paling pintar memanipulasi airmata mereka. Oke, itu sedikit di luar tema…


Setelah masa orientasi ini, beberapa orangtua biasanya masih tetap tinggal di sekolah bahkan di kelas putra-putrinya. Masih bagus kalau mereka hanya diam memperhatikan tanpa bermaksud ikut campur, yang jadi masalah adalah akhirnya mereka merasa sekolah adalah tanggung jawab orangtua bukan tanggung jawab si anak.


Nah yang menggelikan adalah, saya pernah melihat sendiri seorang ibu atau Bapak yang tampak sibuk menyelesaikan tugas dan PR putra-putri mereka. “Lah sopo toh sing sekolah iki?” Itu pertanyaan saya dengan nada menggoda ketika melihat seorang ibu mengerjakan PR putrinya di kelas saat mengantar Kakak dulu. Si Ibu hanya tertawa, padahal saya itu lagi menyindirnya loh. Ampun deh!


Sama seperti Bunda lain, saya juga sering kelimpungan mengontrol pelajaran anak-anak saya terutama Abang. Tapi batasannya adalah mengingatkan PR semata, tidak untuk mengerjakannya. Membantu memberikan penjelasan saat dia mengaku tidak bisa, dan jika dia bilang tetap tak mengerti, maka saya pun membiarkannya dan memberikan catatan di bagian bawah agar guru-gurunya paham kalau Abang masih perlu penjelasan.


Jadi… kalau memang belum siap membiarkan anak-anak untuk mengerjakan semua tugas-tugas sekolah, paksa diri untuk berpikir bahwa satu bantuan menyelesaikan PR mereka, berarti membuat satu langkah mundur untuk anak kita menuju kemalasan. Karena di dunia ini tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah anak yang malas.




  • Hebohnya Bunda berdandan, sampai lupa kalau dia mau mengantar ke sekolah bukan ke fashion show.



Saya harus benar-benar angkat jempol untuk para Ibu yang bisa tampil ‘wah’ dari ujung kaki sampai ujung kepala ketika mengantar anak-anak ke sekolah. Saya saja yang dibantu suami hanya mampu menyambar baju seadanya setelah menyiapkan keperluan anak-anak. Yang penting sopan, tertutup dan nyaman bagi saya. Sementara ada Ibu yang dari sepatu bahkan kawat gigi yang dipakainya semuanya berwarna pink dengan kesan yang amat wah.


Yang membuat miris adalah penampilan itu terkadang tidak sesuai dengan tempat. Sekolah loh, Bun… Ini tempat di mana para anak-anak belajar. Tak cuma belajar membaca, menulis, bersosialisasi, namun juga belajar memahami berbagai hal di sekitar mereka. Apa yang kira-kira di dalam pemikiran mereka ketika melihat Ibu-Ibu mereka berdandan bak sedang ke Fashion Show? Itu adalah hal penting yang harus jadi pemikiran para Bunda, bukan pemikiran Ibu-ibu lain yang ingin dibikin iri. Anak-anak itu spons kering yang cepat sekali menyerap segala hal. Jangan sampai pola pemikiran pamer itu sampai ke otak mereka dan akhirnya berujung menjadi konsumer konsumtif barang-barang mewah yang tak berguna.


Juga jangan mengenakan pakaian yang tergolong seksi dan terbuka. Saya pernah membaca aturan di salah satu sekolah kalau orangtua harus berpenampilan rapi dan santun, juga tidak merokok di lingkungan sekolah. Nah, sebaiknya bacalah dulu baik-baik semua aturan sekolah untuk orangtua itu. Pahami kata rapi dan santun itu dengan tidak memakai pakaian yang melewati batas-batas etika pergaulan, dengan menyesuaikan jenis pakaian dengan tempat. Kasihan juga sama anaknya karena pasti jadi perhatian orang, iya kalau pandangan itu positif, kalau tidak ya jangan heran ketika suatu saat anak tak mau sekolah karena cape diledek oleh teman-temannya.




  • Satpamnya anak dan menjadi Kepala Sekolah bayangan



Ini dia yang dulu sempat menjadi gelar kehormatan beberapa orangtua ‘baru’ yang saya kenal. Seringkali ini terjadi di lembaga pendidikan dini, tapi ada juga kok di pendidikan dasar. Ada orangtua yang begitu protektif pada putra-putrinya, melindungi mereka sampai melupakan peran para guru. Begitu anaknya menangis, orangtua jenis ini langsung datang dan memarahi anak lain tanpa memberi kesempatan yang adil. Di lembaga pendidikan usia dini, biasanya orangtua seperti ini kebanyakan menunggui anak-anaknya dari masuk sampai pulang sekolah. Ia akan mengawali setiap gerak langkah anak hanya untuk memastikan anaknya aman meski itu akhirnya membatasi ruang gerak anak dan mungkin juga malah dijauhi anak-anak lain karena takut sama orangtuanya.


Hal yang lain adalah adanya beberapa orangtua yang ikut mengatur-atur para guru. Dia seakan menjadi Kepala Sekolah bayangan yang hadir untuk mengawasi setiap gerak gerik para guru. Ketika ada sesuatu yang tidak mengena baginya, orangtua jenis ini akan langsung mengkritik seakan-akan dialah yang benar meski tak punya pengalaman apapun di dunia pendidikan tanpa peduli tempat atau waktunya.




  • Mother’s Club, maaf hanya untuk kalangan terbatas.



Inilah yang paling sering menjadi bahan keluhan setiap Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak. Mother’s Club, atau Grupnya para Ibu-Ibu tertentu. Kumpulan Ibu A, Grupnya Ibu B adalah gelar yang diberikan kalangan orangtua netral bagi para Ibu yang mengkhususkan sosialisasi mereka di sekolah anak mereka. Kelompok-kelompok Para Ibu ini biasanya membatasi ‘anggota’ mereka hanya untuk kalangan terbatas, meski tanpa surat tertulis. Mereka akan sepakat melakukan berbagai hal bersama, termasuk berbagai kegiatan yang menyangkut sekolah dan meninggalkan para Ibu lain meskipun berada di satu kelas atau sekolah yang sama. Bahkan saat duduk bersama menunggu anak-anak pulang sekolah, mereka memilih memisahkan diri dan menghindari pergaulan dengan para ibu di luar ‘anggota’ Mother’s Club itu.


Saya mendukung penuh jika Mother’s Club itu bertujuan baik dan tetap mau melibatkan semua ibu meski para ibu lain jarang duduk nongkrong bersama mereka. Tapi yang jadi masalah, kebanyakan Mother’s Club ini akhirnya menjadi kelompok-kelompok yang khusus dan tak tersentuh. Hanya untuk memastikan kepentingan pribadi mereka terjamin, baik di rumah maupun di sekolah.


Nah… apakah anda salah satu dari kelompok di atas? Mudah-mudahan tidak. Kalaupun Ya, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri.

Tidak ada komentar: