Pagi hari tgl 15 Desember 2012, Bagi setiap orangtua murid-murid SD Sandy Hook Newtown Connecticut yang melepas putra-putri mereka hari itu adalah sepuluh hari menjelang Natal tiba. Sepuluh hari menuju hari di mana mereka akan mengeluarkan kado-kado terbaik untuk putra-putri tercinta dan menerima senyum terindah setiap tahunnya. Buat anak-anak yang menuju ke sekolah, hari itu adalah hari dimana sebentar lagi masa liburan yang mereka tunggu-tunggu akan segera tiba.Untuk Ana, Dylan, Madeleine, Cathy, Chase, Jesse, James, Grace, Emilie, Jack, Noah, Caroline, Jessica, Avielle, Benjamin, Allison, Charlotte, Daniel, Olivia and Josephine, hari jumat itu hanyalah hari terakhir untuk bersekolah sebelum menyambut akhir pekan yang menyenangkan. Mereka, seperti anak-anak lain, tak sedikitpun berpikir kalau hari itu adalah benar-benar hari terakhir bagi mereka. Hari terakhir untuk ke sekolah, hari terakhir untuk tertawa dan tersenyum bahagia bersama teman-teman dan keluarga, dan hari terakhir bagi mereka untuk hidup di dunia.
Senyum bahagia itu sekejap berubah, menjadi rasa ngeri, kesakitan, ketakutan dan bahkan akhirnya berujung pada kematian. Anak-anak itu, malaikat-malaikat yang membawa kebahagiaan untuk orangtua mereka harus pergi di tangan orang yang menembak mereka dengan membabi buta.
Sekarang, tak ada lagi Desember indah bagi orangtua mereka. Selamanya bulan ini akan dikenang sebagai saat terburuk dalam hidup mereka, tangis tersedih yang takkan bisa terlupakan sepanjang sisa hidup mereka. Bahwa bintang yang paling bersinar untuk mereka, telah sirna.
Selain mereka, untuk Victoria Soto, Dawn Hochsprung, Mary Sherlach, Lauren Rousseau, Anne Marie Murphy, Rachel Davino dan bahkan Nancy Lanza mungkin tak membayangkan bahwa Jum'at itu adalah hari terakhir mereka hidup.
Kesedihan itu bukan hanya milik orangtua atau keluarga para korban dewasa lainnya. Tapi kesedihan yang sama tinggal dalam hati setiap teman mereka yang tersisa. Menghadapi hari-hari nanti sambil membayangkan si penembak yang menghancurkan hari Jum'at yang indah itu. Menatap kursi-kursi kosong teman-teman yang tiada, mengingat guru-guru yang ikut menjadi korban yang selama ini lebih suka mengajarkan dengan cara bermain dan membuat mereka tertawa. Dan itu membuat kesedihan itu takkan pernah benar-benar pergi, entah sampai kapan.
Doa, untuk mereka yang pergi untuk selamanya. Juga untuk para orangtua, yang belum sempat melewatkan natal tahun ini bersama putra-putri tercinta. Lelehan airmata dan jeritan sedih itu takkan pernah benar-benar sirna, saat nanti perayaan kelulusan sekolah tiba, saat pesta dansa di akademi, dan saat pesta pernikahan. Banyak kebahagiaan biasa yang akan mereka lewatkan tanpa kehadiran si kecil lagi.
Sebagian rencana, mungkin kini harus dibatalkan. Kado-kado natal mungkin harus dikembalikan. Yang ada hanyalah keinginan mengembalikan masa lalu, kesempatan untuk mengulang kebersamaan walaupun hanya sekejap.
Hanya karena senjata itu jatuh ke tangan yang tidak tepat, akhirnya nyawa-nyawa anak-anak cantik dan tampan itu pun melayang. Saya tahu benar rasanya saat mengetahui ada senjata di dalam rumah. Setiap kali jalan atau akan keluar rumah, kedua orangtua saya harus berkali-kali memastikan bahwa senjata sudah benar-benar berada pada tempat yang 'aman'. Ketika naik pesawat, Papa harus menandatangani berbagai dokumen dan menitipkannya pada pilot. Tapi tetap saja, suatu ketika Papa pernah lupa dan raungan sirene menyambutnya ketika melewati pintu 'khusus'. Kami juga harus menjauhi beliau ketika sedang 'membersihkan' senjata. Buat kami, senjata adalah kewaspadaan, sama sekali bukan kesenangan apalagi kebanggaan. Meski dimiliki karena tugas, tetap saja senjata adalah sesuatu yang menakutkan. Meski setiap tahun melewati berbagai test untuk mendukung kelegalan kepemilikan senjata, kami sekeluarga jadi terbiasa ikut mengawasi senjata dan jadi sering ikut mengingatkan Papa. Walaupun kami tak tahu dimana senjata itu disimpan Papa, tapi kekuatiran itu selalu ada. Dan saya sangat bersyukur ketika akhirnya senjata itu 'pulang'.
Sekarang, melihat banyaknya hidup keluarga yang berubah hanya karena sebuah senjata semakin membuat kuduk ini terasa bergidik. Seandainya dulu ada salah satu keluarga kami ada yang kejiwaannya terguncang seperti Adam Lanza, bukan tak mungkin kami juga mengalaminya. Senjata itu bukan semata pemiliknya yang bisa menyalahgunakannya, tapi kemungkinan dari anggota keluarga pun pasti ada. Kami bersyukur, bisa melewati masa-masa itu dengan baik.
Kehilangan selalu menjadi proses yang menyakitkan. Apalagi ketika kehilangan itu adalah seorang anak, yang menjadi mimpi dan harapan bagi orangtuanya. Untuk kita, para orangtua belum punya kata terlambat seperti orangtua para korban penembakan itu. Kita masih punya banyak kesempatan untuk membuat banyak kebahagiaan untuk anak-anak kita. Membuat mereka terus tersenyum bahagia dan tertawa tanpa ketakutan. Peluk mereka sekarang, buat mereka nyaman, berikan mereka tempat ternyaman di dunia yaitu dalam pelukan kasih sayang.
Untuk para pemilik senjata, baik legal maupun illegal. mohon sekali lagi melihat kejadian ini. Bercerminlah. Jangan hanya mengukur kesehatan jiwa sendiri, tapi juga orang-orang di sekitar anda, terutama anggota keluarga. Kematian adalah takdir, tapi mencegah hal-hal buruk sudah seharusnya menjadi kewajiban kita juga. Jadi cobalah untuk lebih berpikir terbuka dan rasional, jika memang merasa ada hal-hal yang tidak beres dengan anggota keluarga terutama dari segi psikologis, sebaiknya berpikirlah ulang untuk menyimpan senjata di dalam rumah. Tempat dimana seharusnya semua orang merasa nyaman dan terlindungi. Senjata bukanlah pelindung sejati. Senjata hanyalah alat, ia bisa menjadi pelindung tapi ia juga bisa menjadi mesin pembunuh. Yang terpenting adalah membangun rasa perlindungan itu di dalam hati setiap anggota keluarga.
Selamat jalan, anak-anak cantik dan manis. Terima kasih untuk para guru, orangtua dan kepala sekolah yang berupaya keras melindungi hingga nyawapun dikorbankan... Semoga Tuhan bersama kalian semua.
Sumber : Washington Post, Huffington Post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar