Bukit-bukit hijau berkerikil, dipenuhi rimbun putri malu diantara ilalang dengan matahari panas di atas kepala. Berlari, berkejaran dengan sesama teman tertawa puas. Mengelilingi mess sementara yang menjadi tempat tinggal kami. Bermain petak umpet, tanpa memperdulikan aroma kuat belerang dari pabrik Gas Bumi yang mengaliri sungai kecil di belakang Mess. Buat sebagian orang, belerang justru alat penyembuh dan kami terlalu kecil untuk memahami bahayanya.
Mess itu tak terlalu besar, tapi kami menikmati saat-saat itu dengan gembira. Ah, itulah dunia anak. Tinggal dimanapun, yang penting happy. Tak masalah bagaimana keadaannya, kami selalu bisa memanfaatkan apapun yang ada untuk tertawa. Bermain batu-batu bulat kecil, bermain rumah-rumahan menggunakan tangga-tangga bertingkat, menendangi putri malu yang merambat turun dari ujung bukit hingga hampir ke halaman Mess atau sekedar iseng membunyikan bel membuat orangtua marah. Kebahagiaan itu sederhana.
Hanya selisih beberapa menit, Papa pulang. Dia sudah berjanji akan memandikan kami semua. Memandikan dalam definisi Papa, adalah menyemprot kami dengan air selang seperti air mancur, meskipun baju belum dilepaskan dan kami boleh membalas semprotan Papa. Tertawa gembira, tanpa omelan Mama karena kami telah membasahi seluruh area mandi.
Ingatan berpendar pada potongan kisah yang lain. Hamparan sungai Mahakam, dengan tebaran eceng gondok, potongan kayu-kayu hingga "jahe kuning" terlihat dengan jelas. Aku bersepeda, riang bersama teman-teman baru yang kukenal dari satu-satunya SMP Negeri di kelurahan. Melewati pabrik-pabrik udang yang berbau menyengat. Tapi bau itu tak mengganggu. Hidungku dan hidung hampir seluruh warga di kampung itu telah terbiasa. Buat mereka, itulah kehidupan. Seperti aku yang menikmati datangnya setiap hari dengan riang, seperti itu mereka datang dan pergi ke pabrik dengan senang.
Kulepas setang sepeda sambil tertawa lebar, memamerkan kemampuanku yang lain. Menyetir sepeda tanpa memegang setang dengan kecepatan yang bisa membuat jantung orangtuaku copot kalau mereka tahu. Tak ada rasa takut, meski di tepi jalan adalah sungai Mahakam sedang meluap menanti korban. Jalan yang sempit, berpapasan dengan sepeda atau motor-motor yang melaju kencang, bukanlah halangan. Yang ada hanya kegembiraan. Darah muda menggelegak, emosi di atas rasional, membuktikan aku bukan pengecut.
Tawa lebar dan jerit kekaguman teman-teman menambah semangat untuk terus berakrobat dengan sepeda hijau besar itu. Salah satu teman laki-laki merentangkan kedua kaki dan tangannya lebar-lebar di depan sepedaku. Ia tertawa mengejek karena sekali lagi berhasil mengalahkan kemampuanku. Aku menggeram, tapi puas dan gembira. Nafas yang memburu, terengah-engah berbalapan sepeda tak lagi kupedulikan. Aku harus menang. Dan di ujung kampung, temanku berhasil mengalahkanku. Dia duduk dengan gagah di atas sepeda BMX jenis terbaru hadiah dari Papinya, kepala pabrik udang eksport itu. Ia berteriak kencang sambil mengangkat tangan. “Kalah lagi nih yeee!”
Mulutku mengerut. Hanya sebentar. Lalu kemudian kami sudah mengecap es krim tong tong kacang hijau bersama, dengan bakso berselimut kecap dan saos di tangan yang lain. Bercanda sesekali, mengingat peristiwa lucu di sekolah, menertawakan ketika salah satu dari kami memanggil guru galak dengan gelar menggelitik.
Sore hampir tiba. Aku berpamitan untuk pulang. Mereka juga harus pulang. Kami berpisah di ujung kampung. Sepeda kukayuh secepat mungkin. Teguran dan sapaan akrab teman-teman Papa di jalan, kujawab seadanya meski harus berlomba dengan angin yang menerpa wajah. Terlambat sedikit, gawat.... itu berarti urutan terakhir saat mengaji. Tiba-tiba, seorang pria paruh baya bermata sipit dengan potongan poni rambut lurus, melambaikan tangan. Kurem sepeda dengan sandal yang sudah tipis karena sering terkikis itu dengan cekatan. Sambil menenteng sepeda, aku menatap Om Lukki, yang kukenal baik karena sering main ke rumah.
“In, titip ini buat Papa ya! Bilang dari Om!” katanya sambil meletakkan sekeranjang udang yang masih basah dan dingin ke boncengan. Aku tersenyum-senyum saat ia mengikatnya ke boncenganku dengan kuat. Alamak! Makan besar deh malam ini.
“Makasih, Om! Makasih!” kataku senang. Meski kini sudah bertambah berat, sepedaku justru semakin cepat kukayuh. Tak sabar menunjukkan pada Mama, apa yang kudapat hari ini dari jalan-jalan.
Rumahku berada di jejeran asrama. Ada jembatan kecil memanjang sebelum memasuki rumahku yang bergaya panggung. Jembatan itu menyatukan rumahku dengan jalan. Aku turun dari sepeda, menuntunnya masuk melalui jembatan dan meletakkannya bersandar pada pegangan jembatan begitu saja. Aku berteriak memanggil Kakak dan Mama. Papa belum pulang kerja. Kulaporkan secara singkat apa yang kudapat dan dari siapa udang itu. Mama tersenyum, Kakak tertawa kecil.
Dengan riang, kakakku menurunkan sekeranjang udang yang ada di boncengan itu. Sudah bisa kami bayangkan betapa lezatnya makan malam kami nanti. Inilah enaknya tinggal di dekat sentra penghasil udang ekspor. Saat ada yang panen, kami juga pasti kebagian. Udang goreng, udang bakar, udang rebus, pokoknya diapakan saja udang adalah kegemaran kami sekeluarga. Kalau tak habis lima kilo, belumlah kenyang perut kami ini.
“Mandi sana! Bau matahari! Habis itu sekalian ngaji!” perintah Mama yang sudah sibuk menguliti udang. Aku tak menjawab, hanya mengambil handuk yang tergantung. Bukannya mandi, aku mengendap-endap mendekati adikku yang sedang asyik menyusun koleksi pesawat dan mobil-mobilannya. Air liur sudah membasahi dagunya karena terus menerus menderum dan mendesis seperti suara knalpot mobil atau sasis pesawat. Lalu kutendang sengaja agar susunan mobil-mobilannya berantakan. Dan ia menjerit keras.
“Mamaaa!! Kak Iin nakal!!” pekik adikku marah. Sementara aku berlari menuju sumur, tertawa penuh kemenangan karena sekali lagi berhasil menggoda adik kecilku itu.
Kakakku menyusul kemudian, juga tertawa-tawa meski sambil berkata. “Gara-gara kamu, kakak juga dimarahi sama Mama kan! Dasar badung!”
Seperti biasa, tugas kakak adalah mengambil air. Sementara aku mengaduk air dengan campuran obat untuk menjernihkan air. Kami mulai bekerja sambil bercerita. Tentang sekolah, tentang permainan, tentang film Superboy yang terbaru sampai terdengar teriakan memanggil dari sebelah kanan.
“Kakaaak! Kakaak! Baru mandi?” tanya Rahmah. Aku berteriak mengiyakan. Gadis kecil itu juga akan mandi. Sumurnya jauh lebih kecil dibanding sumur kami dan sedikit tertutup oleh rerimbunan pohon. Lalu ia kembali berkata. “Ntar pergi ngajinya bareng ya Kak!”
Lagi-lagi kami berteriak “Iyaaa!” Kali ini pekerjaan kami sudah selesai. Kakakku memilih membuang sampah dulu, sementara aku mandi dari drum lain yang sudah berisi air yang sudah dijernihkan sebelumnya.
Harum bumbu yang diracik Mama tercium oleh hidungku ketika naik kembali ke rumah, setelah selesai mandi. Tapi belum ada apapun di atas meja yang biasa dijawil untuk sekedar pelepas rasa ingin tahu. Mama memang sudah terbiasa dengan usaha-usaha kami menggado masakannya, hingga dia tahu benar bagaimana caranya menyembunyikan masakannya.
Kalau mengaji, meski agak jauh aku tak pernah pakai sepeda. Semua teman-teman pengajianku tak ada yang pakai sepeda, kami berjalan kaki sambil menyinggahi teman-teman yang lain di sepanjang jalan sampai ke Mesjid. Terkadang kami mencoba jalan-jalan baru, menyingkat waktu.
Suara bel Madrasah sudah menyambut ketika kami sampai. Kami berhamburan masuk ke kelas masing-masing. Hanya ada tiga ruangan di Madrasah yang baru berdiri beberapa minggu itu. Tanah di halaman Madrasahpun seringkali becek dan masih banyak rumput-rumput liar di sekelilingnya. Tapi kami sangat suka pada Ustad kami yang muda, tampan dan baik hati. Yang lebih penting, berapapun orangtua kami membayar, Ustad selalu menerima dengan senyum bahagia penuh keikhlasan.
Setelah selesai pelajaran, waktu Ashar hampir tiba. Kami berlarian menuju Mesjid di samping Madrasah. Mesjid terbesar di kampung kami itu dikelilingi oleh kolam-kolam air untuk berwudhu. Tapi kami lebih suka berwudhu di tepi sungai. Lebih puas, dan bisa sambil bermain. Bersama anak-anak yang lebih besar, kami menuju tepi sungai. Bukannya mengambil wudhu, salah satu temanku malah melompat menuju kapal kecil miliknya. Aku melompat-lompat, meminta untuk ikut. Tak ada rasa kuatir sedikitpun, meski aku tak bisa berenang sama sekali. Kapal kecil itu mendekat. Aku langsung meloncat masuk. Temanku berusaha menjaga keseimbangan. Setelah duduk, kami berlayar sejenak. Berputar-putar menikmati gelombang dari kapal-kapal besar yang lewat, entah itu pembawa batubara atau kontainer penuh dengan udang, sebelum akhirnya Ustad terlihat berdiri di atas jembatan kecil. Mengacungkan tangan, memanggil kami.
“Habis ashar, ulangin 20 surat pendek 10 kali. Mengerti!” kata Ustad ketika aku dan temanku sudah kembali. Kutendang kaki temanku, dan begitupun dia. Kami saling mendelik menyalahkan. Mengulangi hafalan 20 berarti kehilangan waktu bermain kami setelah sholat nanti.
Dan mataku kembali mengerjap. Sebuah kota lebih modern terpapar jelas dalam ingatan. Satu lagi sekolah baru. Sekolah Kapal. Itu julukan sekolah baruku karena bentuknya yang aneh. Dari depan hanya terlihat satu tingkat, tapi dari belakang ada tiga tingkatan. Ruang kelasku terletak di lantai kedua, tepat setelah tangga turun. Namun yang berbekas di hati adalah, saat-saat aku bolos sambil memanjat pohon. Tak ada mall besar saat itu, kecuali satu-satunya plaza yang berada di tepi pantai. Itupun sering sekali karena seragam membuat kami diusir oleh satpam. Daripada ke sana, aku lebih suka ke pantai.
Pantai, selalu jadi tempat di mana aku menyegarkan diri. Menjadi diri yang baru, setelah bergelut dengan dinamika kehidupan. Pertama kali belajar mengendarai mobil pun, aku lakukan di tepi pantai. Ketika bekerja di tengah hutan, kuluangkan waktu memancing menikmati bau laut yang merindukan. Ulang tahunku yang terakhir sebagai seorang perempuan bebas dirayakan di pantai, dikelilingi teman-teman terbaik dengan pesta ala Barbeque yang membuat sebagian dari kami sukses masuk angin. Setahun kemudian, di pantai yang sama aku merayakan ulang tahun bersama suamiku. Tanpa kue, tanpa hingar bingar pesta. Hanya doa terbaik yang pernah kudengar, semoga di ulang tahunku berikutnya, kami merayakannya bersama anak kami. Lalu sepanjang sore itu, kami menyantap makanan seafood di resto yang pemiliknya sangat hangat melayani seperti seorang sahabat lama.
Potongan cerita di tempat yang lain kini terlihat. Pantai dengan pasir putih menyapu kaki, angin laut yang kuat menerpa wajah berpeluh keringat saat aku berlari pagi di pantai Bhayangkari yang sepi. Jejak kaki-kakiku yang menginjak pasir hangat itu terlihat jelas dari ujung pantai hingga ke ujung yang lain. Kuakhiri lari pagi itu dengan menatap ke laut lepas, merentangkan tangan lebar-lebar. Ah segar!!! Ini waktunya kembali ke sepeda yang kuikatkan di bawah pohon kelapa tadi. Bersepeda di jalan raya sambil melihat jejeran tabung-tabung raksasa berisi minyak di jalan Minyak, yang sesekali tercium gas lepas dari pembuangan saat pembersihan api obor yang membara.
Pantai, tempat aku biasa menghabiskan pagi yang sepi. Pantai tempat aku dan suamiku melepas lelah menjadi orangtua sementara waktu. Pantai di mana kami berburu ikan bakar favorit keluarga lalu duduk lesehan menikmati sore sebelum akhirnya berlarian menghindar ketika ombak semakin kuat menghantam. Menikmati langit biru, ditingkahi pesawat yang lalu lalang lewat. Pantai juga alasanku memilih pekerjaan tanpa pikir panjang lebar karena ia adalah tempatku berlari ketika stress pekerjaan menumpuk di kepala. Pantai pribadi yang serasa kumiliki sendiri ketika pusing menghadapi para attendant yang kadang terlalu cerewet dan menjengkelkan. Tak ada logat asing yang sulit kupahami, atau wewangian yang memusingkan. Pantai selalu berbahasa angin, air dan bau yang akrab menyegarkan tubuhku.
“Mah, ngapain di sini? Udah sore, anginnya kenceng,” kata suamiku membuyarkan lamunan. Kuhela nafas lebih panjang. Tanganku memutar ujung knop jendela dan menutupnya kembali dengan sempurna. Kututup gorden warna merah jambu yang kupilih untuk hadiah ulangtahun putriku lima bulan lalu dengan hati-hati. Sambil berdiri, aku tersenyum. Cukup untuk mengobati hati yang sedang rindu, yang berharap di antara hembusan angin itu ada angin laut dari pulau seberang ikut singgah. Masih banyak kilasan cerita masa lalu yang bisa kukenang, tapi cukuplah untuk hari ini...
Dari jendela tempat tinggalku di tengah keramaian Jakarta pagi hari, aku merindukan Borneo-ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar