03 September 2012

Anakku Tidak Bodoh, Hanya Unik





[caption id="" align="alignleft" width="256" caption="google"]google[/caption]

"Assalamu'alaikum!"


Aku menoleh ke pintu, Putriku berdiri di depan pintu, sedang membuka sepatu. "Waalaikum salam," jawabku sambil melirik ke arah jam dinding.


"Kenapa sudah pulang, Mbak? Gurunya rapat?" tanyaku heran.


Bibir Nora mengerucut dan menggeleng. "Enggak, Ma. Nora disuruh pulang. Nganterin ini." Sebuah surat dikeluarkan Nora dari dalam tasnya dan memberikannya padaku.


Walaupun belum membuka surat itu, Aku sudah tahu, Nora pasti berbuat sesuatu yang kurang berkenan lagi di sekolah. Tapi gadisku yang sudah duduk di kelas 3 SMU itu cuek saja. Setelah memberikan surat, ia langsung ngeloyor masuk kamar. Tak lama berselang, suara musik berdentam-dentam terdengar membahana dari kamar Nora.


"Mbak Noraaaa, suaranya dikecilin dikit!" teriakku sambil duduk dan membaca surat.


Tak ada jawaban, Hanya kini volume suara musik sudah jauh lebih bersahabat dengan telingaku. Aku menghela nafas panjang. Bersiap menerima satu lagi masalah baru dari Nora.


***




Sejak SMP, Nora memang selalu bermasalah di sekolah. Bukan karena ia bodoh, tapi karena sifat super cueknya. Nora kurang cocok dengan peraturan-peraturan yang bersifat mengikat di sekolah, dan itu sering sekali menjadi masalah untuknya. Nora datang ke sekolah hanya kalau dia mau sekolah. Dia mau belajar hanya kalau dia suka pelajarannya. Sudah empat kali Nora pindah ke sekolah sejak SMP, dan dia baru pindah lagi setelah kenaikan ke kelas 3 ini. Sebabnya sama, tingkah laku Nora sudah tak bisa lagi diterima oleh para gurunya.


Di sekolah yang baru, aku berusaha menjelaskan keunikan Nora pada Kepala Sekolah. Kuminta mereka selalu mengabariku kalau Nora berbuat sesuatu yang aneh. Paling tidak, Nora selalu mendengarkan aku. Aku tak mau Nora harus pindah sekolah lagi, mengingat sebentar lagi dia akan ujian akhir dan mempersiapkan diri untuk kuliah. Sedikitpun aku tak berani bertanya dia ingin kuliah apa karena untuk sampai ujian akhir saja aku harus terus menerus memonitornya.


Hanya dalam beberapa minggu Nora kembali membuat masalah di sekolahnya yang baru. Menurut wali kelas, ia suka sekali mengobrol di kelas. Membuat dia dipaksa duduk sendirian di pojok depan agar tak bisa mengobrol lagi. Tapi malah membuat anakku itu melamun sendiri, menggambar atau malah tertidur pulas sepanjang pelajaran. Beberapa kali gurunya marah sampai melaporkannya pada Kepala Sekolah, yang lalu memanggilku untuk mencari solusi. Tetap saja tak ada perubahan. Akhirnya wali kelasnya lebih suka membiarkan. Waktu aku menanyakannya, Nora bilang dia merasa bosan dan mengantuk.


Itu belum seberapa. Tak lama berselang sebuah surat kembali dilayangkan. Kali ini karena Nora menulis seluruh catatan pelajarannya dengan pulpen berwarna-warni. Merah, kuning, hijau, biru bahkan pink menghiasi seluruh buku-buku tulisnya. Yang makin membuat guru-gurunya geram adalah berbagai gambar berpola hati atau bunga di atas setiap lembaran dengan kata-kata diukir secantik mungkin seperti sebuah buku puisi. Padahal itu adalah buku tulis berisi pelajaran-pelajaran penting.


Ketika aku bertanya, kenapa ia melakukannya. Ia malah berkata sambil tertawa. "Tapi bagus kan, Ma?" Dan jawaban itu membuatku hanya bisa menghela nafas, menahan marah. Saat kuadukan pada Ayahnya, si Ayah malah bertanya kenapa tak ada warna jingga di buku itu. Anak dan Ayah itu malah tertawa-tawa melihat aku mengomel sendiri.


Yang paling membuatku tak bisa lagi berkata apa-apa ketika Wali Kelasnya menyampaikan tentang masalah Nora di kelas. Hanya dalam hitungan bulan, Nora sudah diusir keluar dari kelas oleh empat guru bidang studi. Mereka tak memperbolehkan Nora mengikuti pelajaran selama mereka mengajar sampai waktu yang tidak terbatas. Dan Nora tak memberitahuku soal itu. Ketika aku datang ke sekolah, putriku malah asyik tertawa-tawa di kantin sambil makan gorengan padahal teman-temannya sedang belajar. Saat malam itu aku membahas masalah itu bersamanya, dia memintaku tidak usah kuatir karena dia masih bisa mengikuti ulangan dan ujian. Lemas aku mendengarnya. Lalu untuk apa dia ke sekolah kalau hanya untuk ikut ujian atau ulangan?


Tapi semua itu berbeda ketika ia sedang kursus. Prestasi Nora demikian cemerlang di tempat kursus. Ia lulus ujian Toefl dengan nilai tertinggi, mengikuti berbagai program lomba antar tempat kursus hingga memenangkannya. Bukan hanya dalam Bahasa Inggris, Ia juga jago dalam dunia komputer. Dia bahkan pernah memamerkan padaku sebuah kartun animasi buatannya yang memenangkan sebuah lomba design program. Kursus-kursus ini juga ide Nora sendiri. Nora juga meminta tambahan kursus gitar padaku. Aku menyanggupi saja karena aku senang Nora masih bisa menunjukkan minat pada sesuatu, walaupun aku berharap dia lebih memperhatikan pelajarannya di sekolah.


Dan ketika raport tengah semester diterima, sesuai perkiraanku. Nilai-nilai Nora hampir seluruhnya berada di bawah standar kecuali pelajaran Seni dan Musik. Pelajaran tambahan pilihan Nora. Aku menangis sedih membayangkan hasil yang akan diperoleh Nora saat ujian akhir nanti. Impian memiliki seorang putri dengan pekerjaan yang baik pupus perlahan-lahan. Tapi suamiku justru sebaliknya. Dia malah memintaku untuk ikut bersamanya memeriksa Nora pada seorang psikiater. Tujuannya agar aku dan suami sedikit memahami apa yang ada dalam pikiran Nora.


Dengan rasa penasaran, kami membawa Nora ke psikiater dan hasil pemeriksaan membuka mata dan hatiku lebar-lebar. Nora sama sekali tidak bodoh. Gadisku ini hanya tidak suka menghabiskan waktu dengan sesuatu yang membosankan seperti duduk manis dan belajar. Apalagi semua pelajaran itu sudah dipahaminya hanya dengan sekali dengar. Nora lebih suka meliarkan pikirannya untuk membuat sesuatu yang lebih menarik. Itu yang menyebabkannya suka sekali menggambar, mengobrol bahkan menulis cerita ketika sedang belajar di kelas. Ia menikmati ‘pengusiran’nya dari kelas dengan melakukan berbagai hal yang dianggapnya lebih menarik.


Hasil pemeriksaan IQ makin membuat aku dan Ayah Nora tercengang. Putri kami tergolong jenius karena berada di atas level rata-rata. Inilah penyebab mendasar kenapa Nora berpikir bahwa pelajarannya sangat membosankan.


Kami mulai menelaah satu persatu kejadian-kejadian yang terjadi pada Nora. Dan mulai belajar untuk memahami putri kami lebih baik. Aku kini mengerti mengapa Nora lebih suka melarikan pikiran dan tenaganya yang berlebih untuk melakukan sesuatu yang menarik daripada membaca buku yang sudah dipahaminya luar kepala. Daya imajinasi Nora memang tinggi dan terkadang mengagumkan. Ini terlihat ketika ia mendesign program komputer yang dinamis. Mungkin itu pula yang menyebabkannya sangat suka tempat kursus dibandingkan sekolah, karena di tempat itu ia memperoleh banyak hal-hal baru setiap hari.


Tulisan Nora dalam berbagai warna itu karena ia ingin tetap bersemangat untuk membaca pelajaran. Dengan memberi aneka warna, maka pelajaran membosankan itu bisa lebih menarik untuk dibaca. Nora sering diusir keluar oleh guru-gurunya karena ia sering mengatai guru-gurunya ‘bodoh’ kalau sang guru tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan Nora yang kritikal. Nora tetap percaya diri bisa menyelesaikan ujian tanpa perlu belajar di dalam kelas karena merasa dia mampu. Sayangnya, walaupun Nora menguasai pelajaran, nilai-nilainya tetap dipengaruhi atas dasar senang tidak para guru pada dirinya.


Mengetahui hal itu, aku tak lagi berpikir bagaimana cara membuat Nora menuruti kemauan guru-gurunya. Tapi berpikir bagaimana cara agar guru-guru dan sekolahnya bisa menerima keadaan Nora. Noraku adalah anak yang unik, bukan bodoh.


***


“Jadi itu masalahnya?” ulangku sekali lagi sambil tersenyum pada Pak Guru yang menjadi wali kelas Nora.


Nora kembali menentang salah satu gurunya. Ia berdebat tentang salah satu formula membuat kalimat dengan guru Bahasa Inggris, yang berujung dengan kemarahan dan pengusiran. Hanya saja kali ini guru itu tidak akan mengajar lagi di kelas Nora, sampai Nora meminta maaf. Saat diminta melakukannya, Nora malah mengatai gurunya sebagai guru yang bodoh, tapi sombong.


“Pertama saya mohon maaf karena Bapak telah dikatai seperti itu oleh putri saya. Tapi sungguh, mungkin ini hanya cara Nora yang salah saat mengungkapkan isi hati. Menurut saya sebaiknya Bapak melihat kembali apakah yang dikatakan ini Nora ini salah atau benar?” pintaku perlahan-lahan.


“Tentu saja salah. Saya ini guru, bertahun-tahun saya kuliah dan menamatkan S1 saya di bidang ini. Bagaimana mungkin bisa salah?” Pak Guru itu mulai terpancing emosi.


“Pernah mendengar kuis Are you smarter than 5 grader, Pak? Dari kuis itu telah terbukti bahwa ada banyak sekali orang dewasa yang tidak bisa menyaingi kemampuan anak-anak kelas lima SD. Kenapa?” tanyaku tetap dengan nada pelan, sambil tersenyum menenangkan. “Karena banyak orang dewasa yang melupakan pelajaran-pelajaran dasar. Dan mungkin itulah yang sedang terjadi pada Bapak. Mungkin bukan kesalahan yang besar, hanya sedikit misunderstanding. Tapi akan lebih baik kalau kita mencari dulu siapa yang melakukan kesalahan itu. Kalau memang benar Nora yang salah, nanti dengan cara begini mungkin Nora bisa lebih mendengarkan dan menghormati Bapak.  Bagaimana?”


Selintas keraguan terlihat di mata guru Nora. Tapi kemudian ia menatap pada Kepala Sekolah yang hanya diam memperhatikan sebelum mengangguk pelan. Kepala Sekolah menekan interphone dan memanggil seorang guru lain.


Seorang ibu guru datang, lebih senior dan hampir seumur dengan Nenek Nora. Setelah mendengar penjelasan Nora dan Pak Guru, guru itu pun mengerti. Lalu dengan bijaksana ia menjelaskan letak kesalahan yang sesungguhnya. Nora memang benar, hanya saja penyampaian Nora yang cepat dan terburu-buru membuat Pak Guru salah paham. Mendengar itu aku hanya tersenyum maklum, kutendang kaki Nora mengingatkan ketika seringai muncul di wajah putriku itu untuk tidak membuat gurunya merasa malu.


Sebelum pulang, aku berbicara empat mata dengan Kepala Sekolah dan menceritakan semua informasi terbaru tentang putriku. Tentang penyebab sikap cuek Nora, tentang daya imajinatifnya yang tinggi, tentang hasil tes Iqnya dan juga tentang penilaian para guru yang kurang objektif pada putriku. Kuminta dengan segala hormat agar Kepala Sekolah dan para Guru juga mengubah cara pandang mereka terhadap kekurangan Nora agar dia bisa mengembangkan dirinya sebaik-baiknya. Nora adalah mutiara terpendam, bintang yang tak terlihat dan seharusnya Kepala Sekolah membantuku untuk mengeluarkan potensi putriku sesungguhnya, bukan membantu para guru menyembunyikannya.


***


“Mama, ini ada surat.”


Aku menghela nafas. “Kali ini apa lagi, Mbak sayang?”


Sebuah senyum terlihat di bibir Nora. “Itu bukan surat panggilan, Ma. Tapi surat undangan.”


“Undangan?” ulangku bingung.


Nora mengangguk. Matanya berkaca-kaca. “Aku berhasil lulus dengan nilai murni terbaik kedua seluruh Indonesia, Ma. Tiga hari lagi akan ada acara resmi untuk itu. Ayah dan Mama diundang sebagai tamu kehormatan untuk mendampingiku menerima penghargaan khusus dari Departemen Pendidikan Kejuruan.”


Mulutku terbuka, aku bangkit dan memeluk putriku erat-erat. Kuucap syukur berulang kali, berterima kasih pada Allah.


“Ma, Mama tahu nilai apa yang terbaik dalam seluruh ujian akhirku?”


“Apa, Sayang?”


“Bahasa Inggris, Ma. Aku dapat 98 dari keseluruhan soal dan hanya salah dua. Aku juga dapat tawaran kerja menjadi sekretaris dan satu lagi adalah tawaran kuliah gratis selama tiga tahun di sebuah akademi bahasa di Yogya,” jawab putriku dengan mata berbinar-binar. Mata itu begitu indah bagai bintang.


Nora, bintang di langit yang cahayanya sering tertutup awan gelap. Tapi di manapun cahaya Nora takkan pernah berhenti bersinar, dengan caranya sendiri cahaya itu pasti akan terlihat. Tergantung bagaimana orang lain memandangnya, tergantung dari mana orang lain melihatnya. Nora tetaplah Nora yang akan selalu jadi putriku. Orang lain mungkin sulit memahaminya, tapi aku akan selalu bersama Nora, memahaminya dan selamanya buatku Nora adalah seorang bintang.


*****




*Berdasarkan pengalaman pribadi seseorang. Bintang tertimbun yang bersinar justru ketika sekolahnya akan berakhir.



Tidak ada komentar: