Kisah tentang makna di balik perintah mengaji
"Jen, udah ngaji beluuum?""Jangan lupa, selesai sholat ngaji dulu. Jen.""Hapalanmu sudah sampai mana? Kok gak maju-maju sih?"Kata-kata itu menemaniku sejak kecil. Suara Ibu yang berkali-kali dan tak pernah lelah mengingatkan aku untuk rajin mengaji. Entah dari kapan aku mulai mengaji, aku bahkan sudah lupa. Rasanya kalau tak salah, aku belum sekolah TK ketika Ibu 'menyeret' ku ke Mesjid. Aku memang segan ikut belajar mengaji waktu itu. Masdar Ali, nama guru mengajiku terkenal galak luar biasa pada anak-anak yang suka bermain-main di depan halaman ketika shalat berjama'ah berlangsung. Meskipun tak pernah dimarahi, tetap saja suara seram Masdar membuatku takut padanya.
Tapi ketakutan itu hanya sesaat, setelah beberapa waktu aku mulai suka mengaji. Aku suka mengaji dan menghapal Al Qur'an bukan karena aku memahami artinya mengaji atau gunanya untukku. Aku suka karena setiap kali aku hapal satu surah Al Qur'an, Ayah dan Ibu lantas memberiku pujian. Semakin banyak aku hapal, Ayah dan Ibu semakin sering memujiku. Wajah gembira dan bahagia itulah motivasi terbesarku saat itu. Memang tak ada hadiah yang diberikan, tapi rasanya saat itu hanya dengan kepuasan yang terpancar di wajah orangtua, aku sudah puas. Aku menjadi anak favorit Ibu karena lebih cepat dan lebih banyak menghapal dibandingkan dua saudaraku yang lain, Jon dan Eris.
Semakin besar, semakin banyak yang harus kuhapal dan kupelajari. Hadits-hadits pun menjadi tambahan pelajaran setelah mengaji. Dan untunglah, aku memiliki otak yang sepertinya langsung menyerap semua pelajaran itu dengan mudah. Makin lama makin banyak.
Usiaku terus bertambah. Kebiasaan menghapal Al Qur'an dan Hadits tak lagi disebabkan Ayah dan Ibu. Aku mengaji karena kebiasaan, dan anehnya setelah melantunkan beberapa ayat meskipun hanya beberapa baris rasanya ada ketenangan yang menyusup di batinku. Ketenangan itulah yang menjadi penyebab aku tak pernah melepaskan kebiasaanku itu.
Sampai kemudian dalam pergaulan sehari-hari, isi hapalanku baik ayat-ayat Al Qur'an maupun hadits Nabi menjadi sedemikian akrab di kepalaku. Setiap kali ada yang menyinggung soal mandi dan membersihkan tubuh, tanpa sadar aku mengarahkannya pada isi ayat atau hadits yang berhubungan dengan itu. Begitu juga dengan tata cara hidup yang lain seperti pergaulan baik pada orangtua, pada perempuan, pada lelaki yang bukan seiman, semua ada dalam hapalan yang kuingat. Teman-teman juga mulai banyak bertanya padaku tentang ta'aruf, tentang pernikahan sampai soal warisan. Aku tak tahu, ternyata di antara banyak teman-temanku ada banyak yang tak sempat mengaji apalagi sampai menghapal.
Ketika dewasa, aku bertandang sekali ke rumah guru mengajiku. Masdar Ali, yang kini sudah tua renta. Suaranya yang galak tak lagi terdengar, hanya berganti dengan suara serak yang lemah. Mesjid tempatku belajar juga tak seramai dulu lagi saat maghrib menjelang. Memang masih ada beberapa anak yang mengaji, tapi jumlah mereka bisa dihitung jari. Menurut Masdar, banyak anak-anak ikut les pelajaran umum di malam hari sehingga memilih untuk tidak mengaji. Ada nada keprihatinan saat Masdar menjawab pertanyaanku soal mesjid dan pengajian.
Setiap bulan memang ada pengajian, tapi itu hanya diikuti oleh orang-orang tua saja. Setiap tahun kala Ramadhan, memang ada pengajian dari malam bergantian hingga pagi menjelang. Tapi itu hanya musiman, demikian kata Masdar sedih.
Dulu, rasanya tak lengkap jika ada orangtua tak mengajari anaknya mengaji, menyuruhnya sholat dan menghapal surat Al Qur'an serta Hadits. Sekarang jarang sekali ada rumah yang memperdengarkan suara-suara orang mengaji di malam-malam hari. Malah yang lebih terdengar banyak adalah suara televisi yang sedang menyiarkan sinetron.
Aku terdiam, Masdar Ali memang benar. Seandainya dulu tak pernah dipaksa Ibu mengaji, aku mungkin tak mendapatkan hikmah di balik lantunan ayat-ayat yang kuhapalkan itu. Tanpa kusadari, aku sedang membentuk pondasi dasar untuk kepribadianku, untuk menuntunku kelak menjalani hidup agar sesuai dengan kaidah agama yang kuanut. Aku menghapal semuanya dalam kepalaku, mengingatnya sepanjang hidup dan menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari.
Dan aku sangat sedih mendengar seorang teman berkata "Lo kok ngaji sih, Jen? Memangnya ini bulan Ramadhan ya?" pada suatu hari di siang bolong seusai shalat jumat di akhir bulan Dzulhijah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar