Memiliki seorang anak setelah menunggu hampir empat tahun, tentu sangatlah menyenangkan. Proses penantian panjang itu berakhir ketika kakak lahir ke dunia tahun 2001. Di balik semua hikmah setelah tahun 2000 yang kami lalui dengan amat berat dan penuh ujian.
Kehadiran kakak seperti membuka pintu-pintu yang selama ini tertutup rapat. Vonis-vonis dokter yang mengatakan bahwa saya takkan mungkin memiliki anak dengan cara 'biasa' ternyata bisa kami buktikan justru ketika saya dan suami sudah sepakat, kami akan bersama, ada atau tidak ada keturunan. Kami akan tetap saling mencinta, dan selamanya percaya anak tetaplah karunia Allah SWT yang akan datang pada waktunya jika diizinkanNya.
Dalam masa-masa pertumbuhan, kakak berkembang normal dan ceria. Ia hanya mau ASI dan saya memang memberinya ASI eksklusif. Hanya satu yang agak masalah adalah, pencernaan kakak sangat sensitif. Berkali-kali sejak umurnya setahun, masalah kakak ya itu saja... pencernaan. Saat itu seperti kebanyakan ibu muda yang kurang ilmu pengetahuan dan hidup hanya berdua dengan suami, saya lebih banyak ikut menangis daripada memikirkan cara menghadapinya.
Proses perkembangan kakak ternyata mengalami hambatan setelah kakak berulang tahun yang pertama, ketika itu kakak sempat panas tinggi hingga dirawat di rumah sakit. Saat itu, saya pun juga dirawat dengan gejala penyakit yang sama, tipus. Kami dirawat di ruangan yang sama agar memudahkan suami mengurus kami berdua.
Sejak itulah, perkembangan kakak untuk berbicara menjadi berbanding terbalik. Ia yang tadinya mulai bisa mengucap satu dua suku kata, tiba-tiba berubah menjadi igauan yang tak jelas bahkan untuk memanggil saya atau ayahnya. Kami tak menyadari hal itu, sampai kemudian ia memasuki usia 2 tahun 2 bulan. Ketika itu, saya ingin bertanya pada psikolog apakah kakak sudah siap masuk playgroup atau belum, tapi kenyataan yang kami terima saat itu adalah... kakak divonis dokter kemungkinan besar gejala awal autis.
Saat itu, saya hanya bisa menyalahkan diri sendiri. Mungkin karena saya baru tahu hamil setelah 4 bulan, tetap bekerja meski lingkungan pekerjaan saya adalah sebuah laboratorium mesin trafo dengan berbagai gas yang mungkin terpapar pada kandungan saya. Pokoknya saya terus menerus menyalahkan diri sendiri.
Tapi setelah melewatkan periode itu, saya terus menerus mencari tahu ke berbagai literatur kesehatan. Berburu berbagai artikel, majalah hingga saran teman-teman yang sudah menjadi dokter. Salah satu teman dokter yang bukan psikolog berkata bahwa "otak adalah ciptaan Allah, bahkan dokter terbaikpun takkan bisa memprediksi perkembangannya. Lakukan saja terapi yang baik, kak. insya Allah cindy pasti bisa."
Dan itulah yang saya kerjakan. Saya mengikutsertakan kakak pada program terapi wicara dan terapi okupasi, yang akhirnya malah saya akhiri sendiri setelah 3 bulan. Saat itu kakak mulai bisa melakukan beberapa hal sendiri seperti memakai garpu dan sendok, tapi tetap komunikasinya masih belum bagus. Karena biaya yang besar, saya memutuskan melanjutkannya sendiri di rumah. Apalagi di saat yang sama, saya mulai mengandung abang.
Saya mulai belajar bicara pelan dan jelas pada kakak, berjongkok sejajar dengan kakak, sampai membiarkan kakak menangis kecuali dia sudah mengatakan keinginannya dengan jelas. Saya teringat permintaan sederhananya yang pertama adalah "Ma, minta susu" dan saat itu saya menangis karena dia berhasil mengucapkannya dengan sempurna.
Perjuangan saya masih sangat panjang, bahkan ketika dia masuk SD. Tak mudah sekali memiliki anak yang sulit berkonsentrasi seperti kakak, tapi saya selalu berpegang teguh pada prinsip. Tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Terkadang untuk mengajarkannya satu rumus pada kakak, saya menggunakan sampai 3-5 cara. Malah sampai harus menghitung satu persatu hanya agar Kakak memahaminya. Dan itu terkadang berakhir dengan kelelahan luar biasa.
Ketika dia berhasil masuk dalam jajaran rangking kelas, saya menangis tak ada habisnya sekali lagi. Memegangi raportnya tak percaya. Akhirnya, ada cahaya di antara kegelapan. Karena itulah, saya tak pernah mengakhiri sesi terapi psikiater kakak sampai sekarang. Setiap tahun, saya selalu berusaha memeriksa kemampuan IQ dan EQ kakak. Untuk mengetahui perkembangannya dan untuk merencanakan apa yang harus saya lakukan selanjutnya. Setelah bertahun-tahun, kami menyadari bahwa ternyata kakak bukan mengidap gejala autis tapi kakak mengalami kesulitan berkonsentrasi.
Dalam perjuangan panjang itu, saya justru menemukan banyak sekali keunikan kakak. Untuk anak dengan gangguan konsentrasi seperti kakak, kakak ternyata bisa menghafal surah-surah Al Qur'an dengan sangat baik, termasuk Yassin. Bacaannya pun baik hingga kakak sering didaulat untuk membacakan Al Qur'an di Madrasahnya dulu. Kakak berhasil melengkapkan kebahagiaan saya saat kenaikan kelas kemarin karena ia berhasil menjadi juara umum untuk Madrasahnya dan juara 1 di kelasnya.
Sebagai Ibu yang jatuh bangun berusaha memancing keluar 'potensi'nya, jelas saya tak bisa tidak berbangga hati atas kerja keras itu. Apalagi sebulan sebelum ujian, kakak sempat sakit keras hingga mimisan dan hampir dirawat di rumah sakit. Saat itu saya meminta kakak berhenti belajar saja. Saya ikhlas kalau dia tidak naik kelas karena saya hanya ingin dia sehat. Tak menyangka justru kata-kata itu dianggap kakak sebagai tanda bahwa ia ingin memberikan saya sesuatu yang terbaik, untuk Mama yang tak menuntut apapun darinya. Maka ketika ia meminta handphone sebagai hadiah, saya langsung meluluskannya. Kakak bukanlah anak penuntut yang manja, dia malah tergolong anak yang sangat pengertian hingga terkadang saya kasihan karena ia lebih banyak mengekang keinginannya apalagi kalau melihat kedua adiknya yang masih kecil-kecil.
Autis, mungkin bukan berarti akhir dunia. Saya percaya setiap anak selalu memiliki sisi unik, entah dia benar autis atau hanya gangguan konsentrasi. Kita tak boleh menghakiminya, menyalahkan diri sendiri tapi seharusnya kita membimbing anak agar dengan kelebihan dan kekurangannya ia menjadi orang-orang terbaik di dunia.
Dunia belum berakhir, meskipun vonis dokter terkadang sulit diterima. Tetap berjuang melakukan yang terbaik untuk putra-putri kita, otak memiliki perkembangan yang takkan bisa diprediksi siapapun. Tetap berusaha dan berusaha!!