27 Agustus 2012

Gelas Rezeki

Aku sengaja mengajak istriku duduk di kursi tunggu klinik anak karena ingin melepas kangen kami yang belum juga dikaruniai seorang anak. Istriku paling suka duduk di sudut ruang tunggu itu, dengan begitu ia bisa bebas memperhatikan sekelompok anak yang meskipun sakit tetap bersemangat bermain di tempat permainan kecil yang disediakan pihak rumah sakit.


Hari ini tak seperti biasanya, kami datang bukanlah untuk memeriksakan kesehatan atau karena kami ada yang sedang sakit. Hari ini aku mengajak istriku ke dokter kandungan, aku ingin sekali memastikan bahwa kami masih memiliki harapan untuk mendapatkan seorang anak. Kalaupun tidak mungkin, aku ingin tahu siapa di antara kami yang membuat impian itu terhambat. Apakah aku atau istriku yang kurang subur?


Sebenarnya ini merupakan pertarungan tersendiri di hatiku selama beberapa minggu terakhir ini. Aku yakin, aku tak mengalami masalah apapun. Apalagi istriku. Kami sama-sama berasal dari keluarga yang memiliki anak yang banyak. Maka itu aku benar-benar heran, kenapa setelah lebih dari empat tahun menikah, istriku tak juga mengandung?


"Bruk!" Seorang anak kecil menabrakku. Kepalaku langsung menunduk, menatap wajah mungil seorang anak perempuan yang berbintik-bintik merah itu kaget. Anak itu juga menatapku, tersenyum.


"Aduuh, maaf ya Pak! Maaf banget," kata Ibunya yang nampak ngos-ngosan mengejar si anak itu. Kali ini ia langsung menggendongnya meski si kecil terus meronta minta diturunkan. Ibu itu duduk di sebelahku. "Tidak bisa! Kali ini Tiara harus diam ya. Nanti keringatmu bertambah, cacarmu tambah banyak. Ayo diam! Nanti kalau Tia diam, Mama belikan donat di depan." Dan ajaib, anak itu berhenti meronta dan duduk manis di pangkuan Ibunya. Mau tak mau aku tersenyum sendiri.


"Kena cacar bu?" tanyaku mengakrabkan diri.


Ibu itu mengangguk. "Iya nih, pak! Lagi musim. Di rumah, ini anak saya yang terakhir terkena setelah dua kakaknya. Mana dia yang paling aktif jadi agak susah menyuruhnya istirahat." Lalu Ibu itu mengedarkan pandangan ke sekitarku. "Anak bapak sakit apa?" tanyanya balik.


Aku terhenyak. Meski sudah sering ditanya orang, tapi tetap saja aku masih suka bingung menjawabnya.


"Saya belum berputra, bu," kataku menjawab pertanyaannya pelan.


"Oh! Maaf, maaf Pak. Saya kira Bapak lagi nganterin anak berobat."


"Gak papa bu. Saya juga yang salah duduk di sini," jawabku. Lalu menoleh pada istriku yang sedang duduk di sampingku. "Istri saya senang melihat anak-anak main di sini, bu. Jadi saya ajak duduk di sini sambil menunggu giliran kami. Kami mau ke dokter kandungan di sebelah. Giliran kami masih lama."


"Memangnya sudah berapa lama menikah, pak?" selidik ibu itu.


"Sudah empat tahun lebih," kembali kujawab pertanyaan ibu itu.


Ibu itu mengangguk-angguk. Tangan mengusap-usap kepala anaknya yang sepertinya mulai mengantuk. "Baru empat tahun ya? Mmm..." ia mengulangi jawabanku dengan senyum membayang di wajahnya.


Aku penasaran melihat respon ibu itu saat mendengar jawabanku. Tapi dia terdiam sejenak, memindahkan posisi anaknya agar nyaman dan bersenandung kecil menidurkannya. Aku juga memilih diam, kembali memandangi anak-anak yang berlarian, bermain perosotan dan para orangtua yang sibuk berlalu lalang bergantian masuk di ruang praktek dokter.


"Kakak saya sudah menikah lebih dari sepuluh tahun, tapi dia santai-santai saja meski belum punya anak. Saya sendiri menunggu lebih dari lima tahun untuk punya anak. Di kantor suami saya ada banyak teman-temannya yang menikah lebih lama dari pernikahan saya, juga tak pernah memusingkan anak yang tak pernah hadir."


Kembali aku menoleh, menatap ibu itu yang berbicara seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri.


"Rezeki itu seperti air. Ibarat mengisi air dalam sebuah gelas kosong. Tapi ada yang mengisinya terus menerus tanpa pernah sadar air dalam gelas itu telah luber ke mana-mana. Sementara ada pula yang mengisinya pelan-pelan dan menikmati tiap tetesnya. Sama seperti mengisi gelas hingga penuh dan air luber ke mana-mana, keinginan dan kebutuhan manusia untuk memiliki itu takkan pernah selesai. Sekarang inginnya punya anak, besok sudah punya anak pengennya anak cepat besar, setelah anak besar pengen dia sekolah dan berprestasi sebaik mungkin, terus begitu sampai lupa untuk menikmatinya. Bagaimana mau diberi nikmat yang lebih baik, rezeki yang lebih besar kalau semua yang diberikan sekarang saja tidak dinikmati dengan baik? Ketika kita lupa cara untuk menikmati setiap rezeki yang diberikan, maka yang ada hanyalah kehausan untuk terus menerus mengisi gelas namun lupa untuk meminumnya sedikit demi sedikit untuk melepas dahaga."


Ibu itu juga menatap padaku sejenak, tersenyum dan lalu kembali menatap putrinya yang kini telah benar-benar tertidur. Aku memilih diam, meresapi kata-katanya yang pelan namun benar-benar mengena itu.


"Minumlah sedikit dari nikmat yang ada di gelas anda sekarang. Seperti... "dia terdiam, menatap penuh arti pada istriku yang masih melamun di sampingku. "menunjukkan kasih sayang pada istri Bapak misalnya. Daripada mengharap dan malah mencari kesalahan, lebih baik anda berdua sama-sama mencurahkan kasih sayang, memanfaatkan rezeki cinta yang diberikan Allah. Anggap saja besok atau besoknya lagi anda mungkin takkan mendapat nikmat yang sama, jadi mumpung masih diberi kesempatan ya nikmati saja dulu dengan rasa syukur, rasa terima kasih karena masih bisa menikmati rezeki yang Allah berikan. Insya Allah, akan ada tambahan rezeki yang lain yang akan masuk ke dalam gelas anda karena Allah selalu menjanjikan limpahan rezeki untuk hambaNya yang bersyukur."


Angka antrian di dekat pintu ruang dokter bertambah. Rupanya angka itu adalah angka giliran Ibu di sampingku, dia berdiri tergesa-gesa setengah kerepotan mengambil tas sekaligus menggendong anaknya yang masih tidur namun sebelum pergi dia kembali menegurku. "Saya masuk dulu ya, pak!" dan ibu itu menghilang di balik pintu ruang dokter bersama putrinya.


"Siapa itu, mas?" tanya istriku ingin tahu. Akhirnya dia sadar juga siapa yang tadi duduk di sampingku.


Aku tersenyum padanya. "Itu malaikat. Malaikat cinta," bisikku sembari menyenggol pundak istriku.


Mata istriku membulat. Tawanya pecah seketika mendengar kata-kataku. Namun saat melihat tawa istriku, barulah kusadari ini pertama kali setelah beberapa hari aku melihat istriku tertawa begitu lepas. Ibu itu benar, inilah rezeki yang seharusnya kunikmati. Dibanding mengharapkan rezeki lain, seharusnya aku menikmati apa yang kumiliki sekarang.


Setelah itu, tanpa keraguan sedikitpun kuajak istriku pulang meskipun kami belum bertemu dokter. Kehadiran anak bukannya tak penting bagiku lagi. Aku akan tetap berusaha, bersama istriku tercinta. Namun yang lebih penting, aku ingin kami lebih menikmati apa yang kami miliki sekarang. Aku tak ingin mengisi gelasku hingga meluap ke mana-mana, aku ingin mengisi gelas itu pelan-pelan lalu menikmatinya perlahan-lahan. Semoga dengan mensyukuri setiap rezeki yang kudapatkan, maka Allah akan memberiku nikmat yang lebih besar. Semoga.


*****

Tidak ada komentar: