"Kenapa Do? Papa lagi kerja nih!" ujarku tanpa menyembunyikan kelelahan.
"Bantuin Edo ngerjain pr dong, pa!" pinta Edo.
Secara otomatis aku melirik istriku yang sedang memangku putri kami. Seakan mengerti maksudku, istriku bangkit dan mendekati Edo.
"Biar Mama saja yang bantu ya, Do," kata istriku membujuk. Edo menggeleng. Dan kembali menatapku.
"Kata Bu Guru, hanya Papa yang bisa bantuin Edo."
"Oh ya? Memang PR apa? Sudah bawa sini, biar Papa lihat," kataku mengalah. Putraku itu langsung berlari masuk dan segera kembali membawa selembar kertas.
"Ini, Pa!" katanya sambil memberikan kertas itu padaku. Aku membacanya bersama istriku yang juga ingin tahu.
Baru kali ini seumur hidup saya melihat ada PR seaneh itu. PR Edo adalah melakukan ritual kasih sayang setiap malam, yaitu mendapat pelukan atau ciuman dan mendengarkan dongeng dari Papa dan Mama selama satu bulan. Dang! Ini sih bukan PRnya Edo, tapi PRnya orangtua. Aneh-aneh saja guru zaman sekarang. Sampai segala urusan beginian kudu dipraktekin.
"Aah, ini sih gampang, Do. Kamu tinggal tulis di buku laporanmu entar Papa tandatangan deh," jawabku santai.
Edo menatapku. "Kan itu artinya bohong kan Pa? Bohong itu dosa kan?"
Ucapan Edo membuatku meneguk liur. Merasa malu karena diingatkan oleh anak. Lalu akhirnya demi konsistensi mengajar anak, aku terpaksa menyingkirkan pekerjaanku dan mengikuti langkah putraku masuk ke kamarnya. Mengerjakan tugasnya.
Awalnya terus terang, aku merasa canggung. Entah kapan terakhir kali aku memeluk dan mencium Edo. Istriku yang ikut mengintip sampai tersenyum-senyum dengan tatapan mata setengah mengejek. Namun sepertinya Edo cuek-cuek saja. Dia tetap melakukan sesuai dengan instruksi gurunya.
"Dongengnya mana, Pa?" tagih Edo ketika aku bersiap meninggalkan kamarnya.
Aku terdiam sejenak. Nah, ini dia. Mana bisa aku mendongeng. Apa yang bisa kubuat cerita? Sedangkan dulu masih kecil mana pernah orangtuaku mendongeng untukku. Apalagi buku cerita anak-anak zaman dulu adalah barang langka. Aduuh, ini anak. Mulutku baru saja hendak mencari alasan ketika Edo kembali berkata.
"Ya sudah, kalau Papa nggak bisa. Papa ceritain saja Papa ngapain aja di kantor tadi. Gimana?"
Tentu saja kalau ini aku bisa. Maka dengan cepat aku duduk di samping Edo. Mulailah aku bercerita tentang apa yang kulakukan hari itu. Tanpa sengaja aku cerita kalau tadi habis memarahi sekretarisku karena dia membuat kesalahan, Edo mengingatkanku kalau sering marah-marah nanti Papa cepat tua. Aku hanya bisa terdiam dan mencatatnya dalam hati. Edo benar, tak seharusnya aku marah-marah seperti itu.
Hari berikutnya, Edo tetap dengan disiplin penuh selalu mengingatkan akan PRnya itu padaku. Anehnya aku juga mulai menikmati saat-saat ritual PR itu dikerjakan. Kalau awalnya aku mengerjakan "PR" sesuai dengan perintah, sekarang aku sering menciumi Edo sambil bercanda. Aku menikmatinya dan mulai merasa sebagai bagian dari tugasku yang pernah kulupakan. Aku bahkan menganggap pelukan, ciuman dan mengobrol bersama Edo bukan tugas lagi karena dibandingkan dengan Edo, aku lebih membutuhkannya. Membutuhkan semangat baru untuk menghadapi hari esok yang mungkin lebih berat.
Setiap hari, setiap malam aku berbagi cerita tentang apa yang kukerjakan seharian. Edo juga demikian, ia menceritakan semua yang dia lakukan di sekolah atau di rumah. Karena sering mengobrol, Edo jadi hafal nama karyawan-karyawanku beserta kebiasaan-kebiasaan mereka dan aku jadi tahu teman-teman sepermainannya. Ini jadi lebih menyenangkan apalagi aku juga mulai menjaga sikap di kantor. Aku tak mau kelepasan bercerita tentang kejadian yang tak baik pada Edo yang kritis.
Suatu hari setelah hampir sebulan, kuputuskan untuk mampir ke sekolah Edo sambil menjemputnya pulang. PR dari Ibu guru Edo benar-benar membuat mataku terbuka lebar. Tanpa sengaja PR itu telah mengubah hubunganku dengan Edo, menjadi jauh lebih baik. Rasanya sudah sewajarnya aku langsung mengucapkan terima kasih pada Ibu guru Edo.
Namun jawaban Ibu guru Edo membuatku kaget. "Maksud Ibu? Ibu tidak pernah memberi PR seperti itu buat Edo? buat anak-anak yang lain?" tanyaku tak percaya.
Dengan wajah bingung, Ibu Guru menggeleng. Aku termangu. Apa artinya ini? Kenapa Edo bilang begitu? Kenapa Edo berbohong?
Masih dengan tanda tanya, aku melangkah keluar dari ruang guru menuju kelas Edo yang sudah selesai. Edo sedang bermain dengan teman-temannya. Kuperhatikan dia dari kejauhan, memikirkan apa yang harus kutanyakan agar dia mau berterus terang.
"Papa? Papa ngapain di sini?" tanya Edo bingung saat melihatku. Ada ketakutan terpancar di sorot matanya.
Aku berjongkok, tersenyum padanya. "Papa ingin mengucapkan terima kasih sama guru yang telah memberi PR buat Papa."
Edo menunduk, ketakutan. "Ma... maaf Pa, Maaf... " gumamnya terbata-bata.
"Gak pa pa, do. Sungguh gak papa. Papa justru pengen berterima kasih karena Edo sudah mau mengajarkan Papa sesuatu yang pernah Papa lupakan. Terima kasih ya nak, terima kasih untuk PR yang aneh itu," bisikku perlahan, sambil menepuk-nepuk punggungnya. Kupeluk putraku dengan kencang, khas pelukan seorang lelaki yang bangga.
Edo tak menjawab. Dia hanya mengangguk-angguk. Lalu sambil menggandeng tangannya menuju ke mobil, aku kembali berbisik, "Tapi tetap ya, jangan diulangi lagi. Bohong itu dosa kan?"
Tawa Edo berderai. Dengan riang kami bergandeng tangan, melompat gembira.
Biarpun mulai nanti malam sudah tak ada lagi buku yang harus kutandatangani sebagai bukti, tapi aku telah berjanji untuk selamanya akan mengerjakan PR Edo. PR menjadi Papa yang lebih perhatian dengan anaknya, PR menjadi Papa yang lebih baik.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar