Nania, seorang gadis kecil berusia lima tahun mengendap-endap mendekati Bundanya.
Bun, Nani boleh bantu Bunda gak? tanyanya.
Nggak, Nani main saja sana sama Abang, jawab si Bunda tanpa melepaskan perhatian dari peralatan masak dan bahan-bahan untuk kue yang akan dibuatnya.
Nania pindah ke sisi lain si Bunda, tetap tak ingin pergi. Ia masih ingin melihat cara Bunda mencampur aneka tepung dan telur itu menjadi satu. Sungguh pemandangan yang mengasyikkan.
Sudah sana! Kalau kamu di sini terus bunda jadi gak konsentrasi. Sana! Sana! Dan Bundapun mengusir Nania yang tampak kecewa. Bunda kembali melanjutkan pekerjaannya.
Bayu
Duh, pusing deh Pa. Tiap hari tuh anak kerjanya hanya main game saja. Nintendo, nintendo terus. Lebih baik dijual aja deh nintendonya.
Papa terkekeh mendengar keluhan Mama. Untuk kesekian kalinya melihat istrinya uring-uringan karena putra mereka yang sedang tergila-gila dengan permainan elektronik itu.
Makanya kan dulu sudah Papa bilang, kalau memberikan hadiah untuk anak jangan mainan yang bikin kecanduan seperti itu. Kenapa gak dibeliin buku saja?
Tuh kan Papa, pasti menyalahkan Mama lagi. Kalau bukan karena anaknya yang minta, yah ngapain juga Mama beliin. Sudah deh Pa, ngebahas soal dulu gak bakal nyelesaikan masalah kita. Sana deh Papa nasehatin anak kita.
Masih dengan senyum geli di bibirnya, Papa pun mengalah dan pergi ke kamar Bayu. Seperti biasa ia melihat Bayu tampak asyik memainkan nintendonya.
Asyik banget mainnya, Bay! kata Papa sambil duduk di tepi tempat tidur.
Bayu menoleh, hanya melemparkan senyum sekilas dan kembali asyik bermain.
Permainan ini kurang bagus, Bay. Papa punya yang lebih hebat.
Kata-kata si Papa menarik perhatian Bayu. Dia langsung melepas kontrol di tangannya. Ia menatap Papa. Permainan apa Pa?
Papa bisa mengajarkan kamu cara membuat permainan komputer seperti ini. Kamu mau?
Bayu mengangguk cepat. Dan berdua mereka menuju ke ruang kerja Papa, menuju komputer milik Papa dan Papa pun mulai mengajarkan Bayu caranya.
Mischa
Ma, buatkan surat izin dong! pinta Mischa.
Loh, memangnya sudah pasti besok kamu jadi ikut?
Mischa mengangguk meyakinkan. Mama hanya tersenyum. Lalu tangannya menengadah, meminta bukti kalau Mischa sudah memenuhi persyaratannya. Harus mendapatkan nilai bagus sesuai keinginan mama sebelum mengikuti lomba menyanyi.
Iih Mama ingat saja ya. Mischa belum tentu menang lomba nyanyi tapi sudah harus dapat nilai bagus duluan, keluh Mischa. Ia menyodorkan secarik kertas hasil ulangannya kemarin.
Loh itu urusanmu. Urusan Mama adalah memastikan adalah nilai-nilai di sekolahmu tetap baik meskipun kamu ikut semua lomba menyanyi di muka bumi ini. Menang atau kalah itu urusanmu sendiri. Berani tampil yah harus belajar kalah juga dong, tandas Mama tak mau kalah sambil sibuk memeriksa kertas hasil ulangan terakhir Mischa. Senyum puas tergambar jelas di wajah Mama. Tentu saja karena lagi-lagi Mischa berhasil mendapatkan nilai bagus bahkan terbaik di kelasnya.
Setelah memeriksanya, Mamapun mulai menggoreskan tinta. Menulis surat izin untuk tidak masuk sekolah untuk Mischa, supaya besok dia bisa mengikuti sebuah lomba menyanyi di mall dekat perumahan.
Wilma
Sebaris coretan penuh warna terlihat jelas di dinding putih yang baru beberapa hari dicat. Ibu mengeluh, pasti ini pekerjaan putrinya lagi. Wilma, si pelukis tembok. Gelar yang diberikan kakak-kakaknya karena Wilma memang gemar sekali melukis di tembok. Mending kalau gambarnya bagus, ini bentuknyapun tak karuan.
Bukannya Ibu tak berusaha. Ibu sudah membelikan kertas, buku gambar bahkan kertas-kertas bekas Ayah untuk dijadikan sarana lukisnya. Tapi Wilma selalu merasa semua itu tak cukup. Dan akhirnya Ibu terpaksa harus merelakan sebagian dapurnya dijadikan papan gambar Wilma. Ayah yang meminta Ibu membiarkannya, karena Ayah bilang sangat menarik melihat gambar baru setiap kali pulang bekerja. Ibu tak paham, tapi yang Ibu tahu Wilma terlihat bahagia saat melukis dan Ibu lebih suka membiarkannya daripada melarangnya.
Talita
Sekali lagi dengan piala di tangannya, sekali lagi seperti biasa Talita kembali juara umum untuk seluruh bidang pelajaran. Sesuatu yang tak aneh untuk anak ber-IQ tinggi itu. Siapapun tahu Talita si anak super jenius, juara kelas sejak pertama kali sekolah.
Buat Papi Maminya, Talita adalah segalanya. Permata hati impian semua orangtuanya. Walaupun Talita juga tergolong anak pendiam, tak masalah selama dia selalu bisa menyelesaikan semua ujiannya dan menjadi juara. Entah berapa banyak hadiah yang didapatkannya. Terlalu banyak menurut Talita, karena yang ia butuhkan sebenarnya cuma satu. Satu kali saja dalam hidupnya, ia ingin sekali punya teman yang benar-benar teman.
Puluhan tahun kemudian,
Seorang Ibu muda tergopoh-gopoh masuk ke dalam restoran. Ia bertanya pada salah satu pelayan restoran dan pelayan itu membawanya menuju meja yang telah direservasi atas nama Bayu, di pundaknya seorang anak belum genap setahun tertidur sambil mengisap empeng.
Ternyata meja itu masih kosong. Dialah tamu yang pertama datang. Ia pun menghela napas lega dan menurunkan si bayi ke dalam posisi yang lebih rileks. Lalu ia pun mulai sibuk memilih menu makan siang sambil berbicara dengan si pelayan. Si pelayan mencatat semua permintaannya sambil sesekali menjelaskan tentang menu hari itu. Tak lupa si Ibu tadi meminta hal-hal spesial untuk menu sahabat-sahabatnya.
Eh, Nania. Sudah datang toh? suara itu membuat si Ibu yang sedang menggoyang-goyangkan anaknya mendongak. Senyumnya langsung merekah.
Apa kabar Wilma sayang? dan keduanya pun saling mengucapkan salam, mencium kedua pipi sebelum duduk berdampingan.
Tak lama datang lagi seorang pria dengan menyampirkan sebuah tas di pundaknya. Bayu, orang yang memesan meja mereka. Wilma menyindir keterlambatan Bayu. Bayu langsung meminta maaf karena tadi sempat tersesat saat mencari restoran ini. Maklum sudah lama dia tak tinggal di Indonesia.
Beberapa menit kemudian muncullah Talita dan Mischa. Penampilan Mischa begitu glamor layaknya seorang selebritis sementara Talita justru terlihat begitu sederhana. Keduanya memekik gembira melihat ketiga temannya yang lain telah datang. Bahkan Mischa tak dapat menahan keinginannya untuk menciumi anak Nania, membuat si bayi pun terbangun dan Ibunya langsung melotot kesal. Tapi tak lama kelimapun tertawa-tawa, bertukar canda dan cerita.
Enak kalian semua, sudah jadi orang semua. Lah aku... akhirnya jadi Emak saja, keluh Nania. Andaikan saja dulu Bunda mau mengajari aku sedikit saja keahliannya, pasti aku jadi koki internasional sekarang.
Talita tertawa. Ah, kau ini. Dulu sudah bagus-bagus lulus universitas kedokteran, kenapa gak dilanjutin?
Yah, nyindir aku lagi deh. Lah otakku buntu dipakai buat menghafal obat. Tiap kali praktek yang kuingat hanyalah bumbu-bumbu dapur, atau resep kue. Semua itu lebih menarik dibandingkan membedah katak. Tak usahlah kau ingatkan lagi! Aku tak menyesal masuk kedokteran, aku menyesal tak melarikan diri dan langsung masuk ke sekolah koki saja.
Tawa teman-temannya pun berderai melihat mimik muka Nania yang melucu. Semua tahu benar, orangtua Nania memaksanya masuk universitas itu dan akhirnya malah membuat Nania sempat stress. Semua teman-temannya tahu betul, betapa sukanya Nania memasak dan memang masakan dialah yang paling enak. Sampai sekarang.
Eh, Wil. Buatkan aku lukisan untuk ulangtahun putriku dong! Dia suka sekali hadiahmu tahun lalu. Boleh ya? pinta Nania seusai makan siang.
Wilma mencibir. Enak saja! Pasti sekarang lukisan itu kamu jual kan?
Nania tertawa lebar. Itulah keuntungan punya teman pelukis terkenal. Dikasih hadiah lukisan gratis dan bisa dijual dengan harga mahal. Benar-benar hadiah ulang tahun yang istimewa.
Dasar Ibu satu ini! Tahu saja dia cara mencari obyekan! tukas Bayu geleng-geleng kepala.
Kali ini Talita melirik Mischa. Ya iyalah, dia kan belajar dari pakarnya.
Apa? Maksudmu aku? Mischa tak mau kalah. Iya memang aku yang ngajarin. Walaupun jadi ibu tetap harus pintar. Mama bilang walaupun kamu artis, dokter, pengacara. Apapun itu tetap harus jadi orang yang pandai membaca situasi, cerdas dalam berpikir dan memiliki banyak pengetahuan. Supaya tak dibodohi orang.
Keempatnya mengangguk setuju. Mischa benar. Ah tidak, bagi mereka Mischa selalu benar. Si MC yang pandai menyanyi itu terkenal dengan pengetahuannya yang luas. Tak heran Mischa selalu kebanjiran job karena ia bisa menguasai berbagai tema acara. Ditunjang dengan jiwa humoris yang tinggi, semakin menambah lengkap nilai plusnya sebagai seorang selebritis.
Seharusnya ditambah satu lagi, pandai membawa diri di lingkungan, tambah Talita, senyumnya terlihat sedikit dipaksakan. Ia teringat masa lalunya yang sempat mengalami kesulitan dalam bergaul.
Keempat sahabatnya langsung menatapnya. Nania mengelus punggungnya dengan lembut. Tapi kau punya kami sekarang, Lita. Itulah yang terbaik. Kau juga seorang dosen yang hebat kan? Harusnya kau syukuri itu.
Talita menatap Nania. Aku justru iri padamu, Nan. Bisa menjadi seorang ibu yang baik, punya segudang teman dan satu lagi kau pintar sekali memasak. Mungkin kalau dulu kau tak menegurku duluan saat kita mendaftar di universitas yang sama, aku takkan pernah mengenal sahabat sebaik dirimu. Talita mengedarkan pandang ke teman-temannya yang lain. Dan aku takkan pernah mengenal teman-teman sebaik kalian. Teman-teman yang selalu memberiku semangat walaupun entah sudah berapa kali lamaran kerjaku selalu ditolak.
Nania tersenyum agak tak enak hati. Kamu ini, dulu itu aku stress banget mau ujian. Karena aku tahu kamu terkenal dengan kepandaianmu makanya aku tegur. Maaf Ta, tapi sungguh kau itu benar-benar teman yang baik kok.
Wah, jangan begitu dong Lit! Kamu ditolak kan karena mereka tak berani menggajimu. Kita semua tahu kamu beberapa kali diterima di luar negeri, tapi semuanya kau tolak begitu saja kan? sela Bayu mengingatkan.
Talita menunduk sedih. Manalah aku mau pindah ke luar, Bay. Aku tak seperti dirimu yang bisa bekerja di luar negeri berbulan-bulan. Aku gak mau kehilangan kehidupanku di sini, kehilangan teman-temanku yang hanya bisa dihitung jari ini.
Ya sudah, gini saja. Bayu, kamu nikahi saja Talita. Ide Wilma itu membuat Bayu tersedak. Ia terbatuk-batuk. Mischa dan Nania membantu dengan menepuk-nepuk punggungnya. Wajah Talita memerah, kembali menunduk malu.
Lah iya, itu ide yang bagus kan? Di antara kita, Cuma kalian berdua yang belum menikah. Bayu kan kerjanya di Kanada dan kalau tak salah Lita juga pernah diterima kerja di sana. Daripada di sini jadi dosen lagi, dosen lagi. Keburu perawan tua. Kalian kan sudah saling kenal lebih dari sepuluh tahun. Usia juga sudah lebih dari cukup. So, tunggu apa lagi? kata Wilma meyakinkan. Si pelukis dengan ide yang kadang-kadang tak terpikirkan oleh teman-temannya. Tapi Wilma tak mengatakan, dia tahu Bayu sudah lama menyimpan rasa sukanya pada Talita. Sebagai orang yang terbiasa membaca emosi dan menuangkannya dalam karya seni, hal itu sangat mudah terbaca oleh Wilma.
Nanti Bayu sibuknya hanya ngurusin program gamesnya saja. Kita kan semua tahu dalam otaknya Bayu itu yang ada cuma software doang. Aku malah berpikir jangan-jangan dulu waktu buat Bayu, Papa Mamanya lupa nge-set cinta dan emosi. Dan seketika tawa berderai nyaring di antara mereka.
Tapi tidak dengan Bayu. Dia diam tanpa tawa, menatap Talita dengan seksama. Siapa bilang? Wilma memang benar. Kalian kan tahu aku juga punya masalah sama seperti dia. Tapi kalau Talita mau, aku mau jadi suaminya. Wajahnya begitu serius.
Tawa langsung berhenti. Nania, Mischa dan Wilma memandangi Bayu dan Talita bergantian. Tak menyangka gurauan mereka menjadi kenyataan. Dan senyum malu-malu Talita menjawab semuanya. Mereka langsung berdiri memeluk Bayu dan Talita bergantian. Satu lagi kebahagiaan yang dirayakan. Sahabat mereka akan menikah melengkapi arti persahabatan yang indah ini.
*****
Note :
Anak bagai kertas putih dengan minat dan bakat berbeda. Semua tergantung orangtuanya. Apapun cita-citanya, minatnya atau bakatnya, orangtualah pembentuk masa depannya dan pendukung mereka nomor satu. Cerita ini sekedar pengingat betapa pentingnya perhatian dan cara penanganan yang tepat untuk mengarahkan seorang anak.
Orangtua yang bijaksana tidak akan menjadikan cita-citanya sebagai cita-cita anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar