Suara tawa anak-anak terdengar begitu riang. Mereka berlarian di depanku dan suamiku. Mereka sangat bahagia setelah melewatkan masa ulangan akhir tahun ajaran yang berat. Benar juga, mereka memang perlu hiburan.
Ma, Papa menemani anak-anak dulu ya, kata suamiku. Ia berdiri dari tempatnya duduk di sampingku.
Aku mengangguk. Hati-hati Pa! Ketiga anak lelakiku bersama Papa mereka berlarian menuju salah satu wahana.
Kalau saja perutku tak sebesar gajah, mungkin aku juga ingin sekali ikut. Kuelus perutku dengan sayang. Mudah-mudahan kali ini hasil USG itu benar. Aku tersenyum, membayangkan kehadiran seorang putri yang sudah lama kuidam-idamkan. Tiga anak laki-laki sudah cukup, menjadi satu-satunya ratu di rumah kami ternyata kadang tak enak juga dan aku sangat ingin calon anakku adalah perempuan.
Syafira? Ini Syafira Audina, bukan? Aku mendongak. Seorang lelaki menatapku, keningnya berkerut penuh tanya.
Kembali aku mengangguk, meski ragu tapi memang benar itulah namaku. Senyumnya mengembang, ia langsung menyodorkan tangan. Kamu gak ingat aku, Pia? Aku Bay. Bayu Anggara.
Aku terkesima sejenak. Pia? Hanya satu orang yang memanggilku dengan panggilan itu. Hanya Bay, sahabatku dulu. Benarkah?
Kutelusuri ujung kaki hingga ujung kepala lelaki yang mengaku Bay. Penampilannya terlalu rapi dari Bay yang kukenal. Dia mengenakan kaos polo berwarna biru, dengan celana jins warna biru tua. Rambutnya dipotong cepak, hidungnya bangir, bayang biru nampak jelas di dagunya yang putih bersih dan lesung pipi sebelah kanannya tercetak jelas di sana. Dia memang Bay.
Dia duduk di sampingku. Aku agak bergeser. Bingung harus bilang apa, bingung harus bagaimana memulai obrolan.
Kamu bahagia, Pia? pertanyaan Bay membuatku menoleh.
Aku menatapnya sebentar, lalu menatap ke arah anak-anakku yang melambai-lambai dari kejauhan. Ya, tentu saja!
Baguslah, aku selalu berdoa kau bahagia dengan pilihanmu, katanya. Ia menatap perutku. Sepertinya perut itu sudah cukup jadi jawabannya kan?
Aku terkekeh, menganggukkan kepala. Ya, calon anakku yang keempat. Kembali aku mengelus perutku sebelum menatap Bay. Kau sendiri gimana, Bay? Kau bahagia? Kau sudah menikah?
Mata Bay menatap lurus ke depan. Ya, Pia. Aku sudah menikah. Anakku dua orang. Yang pertama bernama Andika, yang kedua Amanda. Aku bahagia.
Dengan tulus aku tersenyum. Mengingat hidupmu yang dulu, istrimu pasti orang yang hebat. Bisa mengubah Bay yang dulu menjadi Bay yang lebih baik seperti sekarang. Dia benar-benar hebat.
Bay tertawa kecil. Tidak, bukan dia yang mengubahku. Ia menoleh padaku lagi. Tapi kamu.
Mulutku ternganga tanpa sadar. Aku? Bagaimana mungkin?
Kepergianmu mengubah segala hal dalam hidupku, Pia. Keputusanmu untuk menikah membuat aku mengerti kalau aku bukanlah lelaki yang baik. Aku mengubah diriku setelah tahu kalau cinta tak hanya butuh perasaan, tapi cinta memerlukan perhatian dan pengorbanan. Aku berhenti hidup seenaknya. Aku mengubah penampilanku, lalu bekerja, gumam Bay.
Kuhela napasku. Kau tak pernah bilang kalau kau benar-benar cinta padaku.
Kau yang tak pernah memberiku tanda kalau kau benar cinta padaku, sela Bay.
Kami saling bertatapan, dan tawa kecil kamipun berderai lagi. Ah, masa lalu itu. Menggoda kami lagi dengan kenangan.
Bay, itu masa lalu. Aku akui aku pernah jatuh cinta padamu, apa adanya setulus hati seorang remaja yang naif. Tapi lihatlah di sana itu, Bay! Aku jatuh cinta pada mereka satu persatu saat melihat mereka hadir. Dan aku belajar mencintai lelaki yang memberiku cinta yang tulus padaku selama bertahun-tahun. Tak seperti cinta yang kurasakan padamu, aku jatuh cinta pada lelaki itu setiap hari dan bertambah setiap kali aku bernapas saat bangun di pagi berikutnya. Aku berterima kasih, kau melepasku tanpa kata-kata. Kadang memang ada cinta yang lebih baik jika berpisah, dan aku berterima kasih untuk itu. Kau melepaskan cintamu, agar aku menemukan cinta yang lebih baik. Aku tak menyesal tak pernah mendengar pernyataanmu itu. Aku juga berharap kau tidak. Kita sudah bertemu dengan jodoh yang benar-benar untuk kita, suamiku dan istrimu, ucapku.
Bay tersenyum. Kau benar, Pia. Aku mendapatkan cinta yang lebih baik. Istriku.
Aku membalas senyumannya dan berdiri. Ia juga. Aku berharap kau selalu bahagia sepanjang hidupmu, Bay. Aku harus ke sana. Salam untuk istri dan putra putrimu. Aku melangkah menjauh, mendatangi keluargaku yang sudah turun dari wahana yang baru saja mereka naiki. Aku tak menoleh lagi. Masa lalu tertinggal di belakangku.
Selamat tinggal, sahabat dan cinta pertamaku!
***
Bayu menatap punggung wanita yang pernah sangat dicintainya itu, menjauh.
Dulu gadis itu cantik namun polos, sekarang dia jauh lebih anggun. Keibuannya yang begitu jelas, semakin mempertegas kecantikan sejatinya. Hati yang lembut dan penyayang menambah pesona itu.
Tawa kecil anak-anak menyambut sang Mama dan rangkulan suaminya yang begitu melindunginya membuat Bayu menghela napas lega.
Selamat tinggal, cinta pertamaku! Berbahagialah dan aku berharap mereka akan membahagiakanmu lebih dari aku. Aku mungkin bodoh melepasmu dulu, namun aku bersyukur kau menemukan cinta sejatimu karena kebodohanku itu.
Bayu berbalik, sudah waktunya ia mencari istri dan anak-anaknya sendiri. Mereka pasti sudah menunggunya di restoran. Tadi mereka memang tak pergi bersama dan Bayu sedang menyusul mereka saat bertemu Pia. Tuhan sudah mempertemukannya dengan Pia tanpa kesengajaan, pasti ada tujuan. Apapun itu Bayu tetap bersyukur. Ia tahu, tak semua cinta harus memiliki dan siapapun masih bisa bahagia walaupun bukan dengan cinta pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar