"Cape?" pertanyaan Mas Rio membuatku menoleh padanya. Kupaksakan senyum agar tampil semanis mungkin dan menggeleng.
"Minggu depan biar ayah saja yang jualan. Biar Ibu nungguin anak-anak saja, ya," ucap Mas Rio sambil memijat punggungku.
Aku menggeleng lagi. "Ah gak mau. Kalau hari minggu anak-anak sudah sibuk dengan kakek nenek mereka. Ibu lebih suka nemenin Ayah. Sekalian ngawasin Ayah, siapa tau ada pembeli genit sama Ayah?"
Tawa Mas Rio membahana terdengar memenuhi ruang tamu kecil kami. Suara yang menyegarkan tubuhku yang lelah. Kegembiraan yang memupus semua gundah di hati. Walaupun hanya sesaat, rasanya cukup bagiku untuk melupakan ketegangan hari ini.
"Mana ada yang mau sama pedagang jelek dan miskin kayak Ayah. Ibu, ibu, ada-ada aja!" kata Mas Rio sambil berlalu ke dapur. Aku hanya tersenyum simpul. Biarlah dia mengira aku cemburu. Biarlah jadi rahasiaku kalau sebenarnya aku mengkuatirkan dirinya, kesehatan suamiku.
Siapa sangka kehidupan kami berbalik begitu cepat? Siapa sangka dalam sekejap semuanya terasa begitu berat? Dalam beberapa bulan, hidup kami berubah drastis. Mas Rio, mantan Manajer dari sebuah perusahaan ternama kini harus menjadi pedagang ikan di pasar. Tak ada yang tersisa dari kejayaan Mas Rio selama bertahun-tahun kecuali sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Semuanya tak lagi tersisa karena kuhabiskan untuk berjuang memperbaiki nama baiknya.
Berderai airmataku mengingat saat-saat berat itu. Susah payah aku meyakinkan keluarga besarku kalau Mas Rio tak mungkin melakukannya. Kebaikan hati Mas Rio telah disalahgunakan oleh orang lain, yang tak lain adalah sahabatnya sendiri. Dan semuanya terjadi begitu cepat. Permintaan tolong sahabatnya untuk menyampaikan sebuah paket berbuah penangkapan yang membuatnya dipenjara selama berbulan-bulan. Aku berjuang keras, terlalu keras sampai sakit menderaku. Harta kami habis perlahan-lahan, apalagi Mas Rio pun dipecat tanpa alasan. Semua terjadi tak sampai setahun.
Keluar dari penjara setelah pengadilan tak bisa membuktikan kesalahannya, masalah bukannya selesai. Mas Rio tak lagi bisa bekerja, nama baiknya sudah hancur hingga tak ada perusahaan yang mau menerimanya dan semua teman-temannya menjauhinya. Tapi Mas Rio tak menyerah. Dengan menjual motor satu-satunya milik kami yang tersisa, Mas Rio memulai usaha berjualan ikan di pasar.
Awalnya aku saja tak bisa menerima. Tapi Mas Rio sangat gigih. Dia yang setahuku tak pernah menyentuh ikan, belajar membersihkannya. Bau amis ikan sama sekali tak digubrisnya. Untunglah, kebaikan hati Mas Rio meluluhkan ketidaksukaan para pedagang lain yang merasa tersaingi dengan kehadirannya. Dengan cepat, Mas Rio diterima menjadi bagian dari para pedagang itu. Ia bahkan sering mengajari mereka cara memanajemen penghasilan.
"Tuh kan, sedih lagi!" Aku terlonjak. Mas Rio sudah datang bersama dua cangkir teh hangat. Ia menyodorkannya padaku.
"Nggak, kok Yah. Ibu hanya kecapean sedikit. Ibu juga bisa ketawa kok. Nih!" Aku menyusut tetesan airmata yang akan menetes dan segera kupamerkan sebaris gigi pada Mas Rio. Dia hanya tersenyum.
"Maafin Ayah, bu. Gak bisa ngasih kesenangan seperti dulu lagi," bisik Mas Rio. Matanya berkaca-kaca, namun ia menunduk meminum tehnya.
"Ih, Ayah mulai lagi kan. Ibu gak pernah menyesali semua ini. Dulu Ayah pernah memberi kesenangan sama Ibu. Ibu bersyukur sudah pernah merasakannya. Sekarang Ayah justru sedang mengajarkan sama Ibu lebih banyak daripada dulu. Ayah mengajarkan kalau berjuang itu lebih enak kalau bersama-sama. Kalau semua yang susah akan terasa ringan jika dipikul berdua. Ibu belajar berhemat, belajar memasak semuanya sendiri, belajar menjahit bahkan Ibu belajar berbagi karena ibu tahu rasanya jadi orang gak punya. Anak-anak kita juga sekarang lebih mandiri daripada dulu. Bahkan ibu belajar kalau kadang kesulitan itu bisa jadi candaan yang menarik. Ayah ingat kan waktu kran air rusak dan kita gak punya uang buat ganti yang baru?" Mas Rio mengangguk.
Saat itu, kran air patah dan air muncrat ke mana-mana. Mas Rio dan aku kebingungan bagaimana caranya agar bisa menggantinya sedangkan kami benar-benar tak punya uang untuk memperbaikinya. Ketika kami sedang berpikir, anak-anak justru menikmatinya dengan main air berbasah-basah. Kakak menampungnya di baskom dan merekapun bergantian 'berenang" di dalamnya. Kegembiraan itu membuat kamipun ikut bergabung. Kegembiraan yang justru berkesan karena sudah lama anak-anak tak pernah mandi di kolam renang seperti dulu lagi. Dan berhari-hari kran patah itu ditambal dengan tambalan kayu ditutupi plastik seadanya oleh Mas Rio. Namun, setiap kali memakainya, anak-anak selalu gembira karena "pancuran" antik itu baru pertama kali mereka lihat.
Mas Rio tersenyum. "Ya, Ibu benar. Ayah juga banyak belajar. Mungkin ini kali yang dimaksud oleh ujian dari Allah ya bu, supaya kita belajar tentang banyak hal. Ayah jadi tahu kalau Ibu itu benar-benar Ibu yang pintar dan setia. Ayah belajar menghargai apa yang ayah punya sekarang. Ayah juga selalu ingin sehat, supaya tetap bisa berjuang untuk keluarga ini. Satu lagi bu, Ayah jadi tahu kalau sebenarnya inti dari mencintai itu adalah seperti sekarang, mencintai dalam susah dan senang," katanya bijak.
Aku menunduk. Rasa haru menyelimuti hatiku. Airmataku kembali menggantung. Mas Rio mendekatiku, sambil duduk di punggung kursi, ia merangkul dan mencium dahiku lembut. "Terima kasih ya bu, sudah mau menemani Ayah dalam susah dan senang." Aku meraih jemarinya, menciumnya lembut tanpa kata, untuk menunjukkan rasa terima kasih yang sama karena telah memberiku kesetiaan dan cinta.
"Cieeee... Ayah dan Ibu pacaran nih yee!" ledek anak-anak dari balik pintu bersama dua orang tua yang menatap kami setengah tertawa. Tawa mereka menggoda sang Ayah, yang tak mau kalah ikut menjawabnya.
Aku hanya tersenyum. Inilah kebahagiaanku. Berjuang bersama suamiku, bersama anak-anakku, bersama orangtuaku.
*****
Tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar