01 Februari 2012

Ulang Tahun Terindah

“Selamat ulang tahun, istriku sayang!”


 “Selamat ulang tahun, Mama!!”


Tiga ucapan yang diteriakkan oleh anak-anak dan suamiku menyambutku saat keluar dari kamar tidur. Tak kado, tak ada kue. Tapi inilah cara ulang tahunku dirayakan setiap tahun sejak berkeluarga. Hanya ucapan, peluk dan ciuman orang-orang tercintaku.


Itu yang terjadi tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya. Beberapa minggu lagi ulangtahunku akan tiba. Tak sampai tiga minggu lagi, seorang wanita bernama Indah menggenapkan usianya menjadi sebuah angka tiga puluh tahun.


“Mama ingin hadiah apa? Tahun ini ulang tahun Mama kan angkanya udah kepala tiga. Mama gak mau ngerayain?”


Aku tersenyum, menggeleng. “Ayah, gak perlu. Kalau bisa doain saja Mama supaya nanti bisa melahirkan dengan selamat,” pintaku sambil mengelus-elus perutku yang membuncit.


Tangan suamiku ikut mengelus, lalu kepalanya menunduk di perutku. Ia berbisik pada calon jabang bayi kami, membisikkan zikir yang terbiasa ia lakukan setiap kali sempat. Aku tersenyum. Ini saja sudah cukup.


Tak ada yang pernah menyangka kehadiran calon anak ketigaku ini. Di tengah-tengah kesibukan dalam kegiatan sosial yang kukerjakan di sela-sela kewajibanku sebagai istri dan ibu, aku mendapatkan berita mengejutkan. Aku hamil. Aku hamil dengan normal.Suamiku terkejut tapi tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Dua anakku yang lain, langsung melompat kegirangan.


Aneh mungkin. Tapi itulah yang terjadi. Sebelumnya aku hanya bisa hamil jika melakukan berbagai terapi. Untuk mendapatkan dua anak yang ada sebelumnya, aku harus menanti lima tahun dan yang kedua tiga tahun. Entah berapa banyak tabungan yang kami habiskan untuk mendapatkan sepasang anak. Maka setelah anak keduaku lahir, aku berhenti melakukan terapi. Dua anak saja sudah cukup, tapi karena itulah aku juga tak menggunakan kontrasepsi.


Aku mengenal panti itu, ikut bantu-bantu karena terlalu banyak waktu luang di rumah. Daripada nge-mall dan menghabiskan uang, aku memilih ikut bergabung dengan teman-teman pengajian. Iseng. Begitu jawabanku saat ditanya sama suami.


“Tapi tetap ya Ma, gak boleh nyiksa anak-anak itu. Dosanya gede,” pesan suamiku. Aku tertawa, teringat kata-kata anak-anakku kalau kusuruh membantu. Walaupun cuma cuci piring dan nyapu, anak-anakku yang super duper malasnya itu langsung mencap Mamanya - Mama lebih kejam dari Ibu tiri. Ah anak-anak!


***


“Bu, kita jadwalin operasinya tanggal 8 saja ya,” kata dokter yang menangani kehamilanku itu, sambil melihat kalender.


Aku terdiam, suamiku menatapku. Bukan operasi yang kupikirkan, karena aku sudah biasa. Tapi tanggal delapan??


Setengah tak percaya, aku mengangguk saja. Kejutan ini! Ya Allah, lengkap sudah kadomu untukku! Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah…. Aku terus berzikir sepanjang jalan menuju rumah.


***


“Maaf sayang, Ibu baru dapat tiket tanggal 11,” suara Ayah di seberang telpon terdengar bingung saat menghubungiku.


Aku berusaha tetap tenang. “Ya sudah, Yah. Gapapa! Indah tetap nunggu Ibu datang. Indah pengen ketemu Ibu sebelum lahiran.”


Dan aku menelan kecewa. Maaf putriku, kau tak terlahir di tanggal yang sama dengan Mamamu.


***


Ucapan ramai yang menyambutku saat keluar kamar, tak sanggup meredam rasa sakit di pinggang dan perutku. Tapi aku tak mau anak-anak dan suamiku kuatir. Kupaksa senyum agar terlihat bahagia. Walaupun perlahan rasa sakit terasa semakin menjalari tubuhku.


Ya Allah, tolong biarkan aku menunggu Ibu. Aku tak bisa percaya pada orang lain selain Ibuku. Aku tak bisa melahirkan sekarang. Aku tak mau menitipkan anak-anak pada orang lain. Kumohon ya Allah.


Namun, saat aku menunduk. Tiba-tiba aku merasakan ada yang basah di selangkanganku. Dengan tergesa, aku masuk ke toilet untuk memastikan. Aduh, apa ini? Cairan apa ini? Berwarna putih dan lengket.


***


“Sudahlah, kita ke rumah sakit sekarang saja. Anak-anak biar dijaga oleh adik saya saja,” desak suamiku. Aku menggeleng.


“Aku gak papa kok Mas. Besok pagi Ibu sudah datang kan?” sergahku.


“Iya tapi air ketubanmu merembes terus. Nanti malah membahayakanmu dan bayi kita. Ayolah!”


Aku menatapnya tajam. “Allah pasti nolong aku, mas. Kita punya bayi ini karena Allah, jadi biarlah Dia yang memutuskannya jua. Aku tetap mau menunggu Ibu.” Dan aku kembali berbaring mengurangi rasa sakit yang menderaku tiga hari terakhir ini.


***


Ibu masuk terburu-buru ke dalam rumah, menatapku yang sedang duduk miring di atas kain. Matanya menyiratkan kekuatiran. “Ayo cepat kamu ke rumah sakit duluan. Nanti Ibu nyiapin anak-anak dulu. Kami menyusul saja pakai taksi. Cepatlah!”


Ibu membantuku berdiri dan memapahku menuju mobil. Sementara suamiku sudah berada di dalam. Anak-anak menatapku. Sebelum pergi, aku memanggil mereka. “Jangan nakal selama nenek di sini ya nak. Nurut dan jadi anak manis. Nanti Mama pulang bawa Dede buat kalian.”


“Ya Mama!” Aku melihat kesungguhan di mata keduanya. Jaga mereka untukku, Ibu!


***


Ya Allah, aku mungkin terlalu sering meminta dan Kau terlalu banyak memberi. Tapi kumohon Ya Allah, mudahkanlah persalinanku. Biarkan aku tetap sadar kali ini agar bisa merasakan kehadiran putriku saat pertama kali.


Serombongan orang masuk. Menyapaku dengan hangat. Mulai menutup sebagian pandanganku dengan kain hijau. Saling berbicara serius sementara seorang perawat mengawasiku, yang satu di bagian kepala dan yang lain di sampingku. Dinginnya ruangan mulai terasa menusuk, bibirku gemetaran. Rupanya dilihat oleh sang perawat, ia membungkus dadaku dengan tambahan kain. Aku mengangguk berterima kasih.


Sebuah dorongan agak keras membuat tubuhku bergoyang. Tak lama terdengar suara raungan tangis seorang bayi di tengah gaung kumandang zikir dan qomat yang mengiringi kelahirannya. Aku mencari-cari, berusaha ingin melihat, seseorang mendatangiku dengan bayi yang terbungkus kain hijau.


“Bunda, ini putrinya. Cantik dan sempurna,” bisik sang dokter perempuan itu sambil mengulurkan bayiku. Aku menatapnya haru. Sungguh, dia begitu cantik. Dokter pula yang membantuku melakukan inisiasi dini, dan airmata meleleh haru. Betapa menyenangkan sensasi ini melihat putriku untuk pertama kalinya, kucium perlahan dahinya meskipun tanganku masih terbelenggu oleh selang. Hanya beberapa menit, tapi aku merasa itulah saat terbaik dalam hidupku.


“Hari ini… hari yang kau tunggu…. ” dan terdengarlah suara para dokter serta perawat di ruanagan itu saat bernyanyi lagu ulang tahunnya Jamrud untukku ketika operasi selesai, semakin menambah lengkap suasana haru di hatiku. Aku berusaha tersenyum.


“Selamat ulang tahun ya Bunda. Walaupun terlambat, tapi ini benar-benar hadiah terbaik. Semoga putri Bunda menjadi anak yang soleha ya Bun.”


Aku mengangguk pelan sambil berbisik amin, dokter menyalamiku sekali lagi sebelum memintaku beristirahat.


Dan itulah hadiah terbaikku tepat di usiaku yang ke-tigapuluh tahun. Putri ketigaku lahir empat hari setelah tanggal lahirku. Hadiah terlambat, namun paling terbaik dalam hidupku.


Terima kasih Ya Allah,


untuk hadiah ini,


untuk kesempatan menjadi ibu sekali lagi


Dan untuk kesempatan jatuh cinta lagi…


pada seorang ciptaan-Mu, pada putriku tersayang.


*****

Tidak ada komentar: