Cerita Sebelumnya : Ajari Aku Cinta (1)
Sekali lagi Faizal selalu bisa memberiku semangat baru. Dengan humornya, ia menanggapi respon negatif tentang hasil kerjaku melalui pandangan positif. Tak ada yang tidak benar menurutnya, hanya terkadang perbedaan pandangan antara profesional dan awam sulit ditemukan. Hal yang paling penting bagiku, ia selalu bisa membuatku menghela nafas lega dan bersemangat menjalani pekerjaanku lagi.
Faizal pernah memberiku kejutan. Kejutan yang tak dapat kuduga dan membuatku sulit bernafas. Aku kehilangan kata-kata. Ia membawaku ke sebuah rumah kecil, namun indah dan asri. Tanpa sempat bertanya, ia mengajakku masuk, menemui seorang ibu dengan penuh senyuman dan seorang ayah berwajah ramah yang mirip Faizal. Ia merangkulku dengan hangat dan berkata pada mereka, "Kenalkan ini Sulastri, bunda. Aku memanggilnya Angel. Ini sahabat terbaikku, Ayah."
Dan untuk pertama kalinya aku merasakan pelukan penuh cinta, genggaman tangan yang hangat dan pandangan penuh kasih sayang khas orangtua. Tulus dan begitu menggetarkan dadaku. Aku tak mampu berkata apapun selain mengangguk. Lagi-lagi perasaan asing masuk dalam hatiku saat menatap wajah Faizal yang tersenyum.
Ketika wisuda, aku sudah siap melalui jalan menuju podium dalam kesendirian. Tapi undanganku yang menganggur ternyata digunakan oleh kedua saudari Faizal untuk masuk menjadi wakilku sekaligus menyaksikan wisuda saudara mereka. Aku benar-benar mengikhlaskannya, tapi ternyata mereka juga benar-benar mewakili keluargaku yang tak hadir. Maka hari itu, tanpa diminta momen terindahku setelah perjuangan panjang diabadikan oleh keluarga Faizal. Kami berfoto di akhir acara dan tak ada sedikitpun kesedihan di hatiku karena mereka berhasil membuatku merasakan keistimewaan keluarga.
Waktu terus berlalu, sampai suatu ketika Faizal mengatakan bahwa ada tawaran pekerjaan di luar negeri untuknya. Aku tak mampu berkata apapun. Dalam kebisuan, aku hanya bisa tersenyum menanggapi semangatnya yang berapi-api saat menerima tantangan baru itu. Hatiku berantakan seketika ketika ia mengatakan ia akan pergi esok pagi meninggalkan Indonesia selama satu tahun. Dan sekali lagi kebiasaan lamaku terjadi. Diam, mata kosong dan wajah datar tak terbaca.
Ternyata dugaanku terbukti seperti cintaku yang lain, Faizal pun memilih pergi dari sisiku. Sepanjang malam hingga pagi, aku duduk di tepi tempat tidur, menangisi kebodohanku karena tak pernah belajar dari pengalaman. Aku terlena dengan perlakuan Faizal yang mulai mencairkan hatiku yang beku. Aku berpikir betapa bodohnya aku telah membiarkan Faizal menguasai pikiran dan hatiku, merampas semua keyakinanku tentang arti cinta. Aku tahu Faizal meneleponku sebelum pergi, tapi aku sudah tak mampu berbicara dengannya lagi. Aku tak mau ia semakin berpongah hati karena berhasil melumpuhkan kekuatanku.
Faizal menghilang sama seperti mimpiku yang sempat terbit. Ia terhapus oleh jarak, tapi tidak di dalam hatiku. Aku kembali seperti dulu, tapi kini lebih hancur. Aku tenggelam dalam kesibukanku meneruskan kuliahku ke S2 dan bekerja bagai orang gila berusaha melupakan semuanya.
Sulit sekali, Faizal terlalu meninggalkannya banyak kenangan. Aku tak bisa lagi duduk di taman, tak bisa lagi duduk dan menyantap hidangan di cafe langgananku tanpa teringat sosoknya yang selalu menemaniku. Aku tak bisa lagi menatap foto-foto hasil jepretannya tanpa menangis karena teringat saat-saat bahagia itu. Aku tak mampu menggenggam handphone tanpa teringat dirinya yang selalu bertukar cerita tiap hari meskipun jauh.
Untuk pertama kalinya, aku rindu pada tawanya, aku rindu pada cerita-cerita konyolnya, aku rindu pada rangkulannya, aku rindu dia, pada orang yang pernah kuanggap tak berarti. Sampai aku teringat sesuatu, kalimat pendek Faizal dulu ketika aku bertanya kenapa ia tak pernah menyerah mendekatiku, Jika ingin mendapat sesuatu, maka lakukanlah sesuatu. Jika haus, berilah orang lain segelas air agar lebih menikmatinya. Jika ingin bersahabat, maka ajarilah dulu cara bersahabat.
Dan aku pun mulai bertingkah konyol. Aku datang tanpa diundang ke rumah Faizal. Bukan karenanya, tapi karena aku ingin bertemu keluarganya. Aku ingin belajar bersahabat seperti yang diajarkan Faizal, dan hanya keluarganyalah yang kutahu selama ini. Di tanganku ada beberapa tas belanja yang kubelikan untuk mereka. Aku mencoba menenangkan hatiku sendiri beberapa kali sebelum mengetuk pintu. Setidaknya aku berniat baik, jika memang selama ini mereka menerimaku hanya karena kehadiran Faizal maka aku sudah siap menerimanya.
"Ya Allah, Astri ya? Duh, nak, rindunya Bunda sama kamu sayaang," sambutan Bunda Faizal membuatku terperangah. Ia memelukku, memandangi wajahku dengan rindu dan merangkulku masuk. Ya Tuhan, mereka tetap seperti biasa. Tak ada yang berubah.
Dengan hati terharu, kubuka semua oleh-oleh. Kuberikan sepasang sepatu untuk adik Faizal, kubelikan beberapa mainan dan sebuah tas praktis untuk Kakak Faizal beserta anak-anaknya, baju hangat untuk Ayahnya dan sebuah kerudung indah untuk Bunda Faizal.
Kehangatan keluarga Faizal sungguh membuka mataku. Di dunia ini, ada keluarga yang benar-benar penuh cinta seperti dalam kisah-kisah di buku dan televisi. Ternyata dunia ini tak segersang bayanganku, ada kasih sayang tergambar jelas pada keluarga Faizal. Adik dan kakaknya yang menemuiku beberapa menit kemudian, sama ramah dan tulus seperti kedua orangtua Faizal. Aku merasa diterima, aku merasa diperlakukan sebagai manusia, aku merasa dihargai dan aku merasakan aku jadi bagian dari keluarga mereka.
Aku yang hampir tak mengenal aliran cinta, pun belajar dengan cepat. Aku tak lagi risih memeluk Bunda Faizal, membuatkan kopi untuk Ayahnya. Melepas gelak tawa saat mendengar cerita-cerita lucu kakak Faizal yang memiliki empat orang anak laki-laki, berbagi rahasia dengan adik Faizal yang selalu pusing dan galau menghadapi kekasihnya. Ah, benar-benar seperti keluarga yang kudambakan selama ini.
Aku belajar banyak dari mereka. Selama kepergian Faizal, aku mengganti sosoknya dalam keluarga kecil itu. Aku yang telah banyak menerima kasih sayang dari Faizal, mulai belajar memberi. Aku mulai mengulurkan tangan, bukan lagi menggapai. Keluarga yang kuimpikan bukan hanya dalam khayalan tapi juga kuusahakan.
Aku belajar dari Bunda, cinta itu adalah kekuatan wanita. Wanita yang kuat punya banyak cinta di hatinya, perempuan yang penuh cinta pasti memiliki kekuatan luar biasa. Dan Bunda benar. Aku belajar meraih cinta, bukan menantinya lagi. Aku belajar membalas perhatian dengan belajar mencintai apa yang kumiliki.
Cerita berikutnya : Ajari Aku Cinta (3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar