Nak,
Hari ini mata Ibu menatapmu dari kejauhan. Kau tertawa, tergelak di antara teman-temanmu. Bukan mereka yang sama sepertimu saja, tapi ada gadis berambut hitam bermata sipit merangkulmu, ada anak laki-laki berambut keriting tinggi besar tertawa tepat di depanmu dan beberapa temanmu yang lain duduk di sekitarmu. Di antara mereka ada yang tertawa terbahak-bahak, tapi ada yang tampak berusaha keras menahan geli dengan tersenyum-senyum.
Ibu terheran melihat mereka. Tapi senyum itu juga membayang di wajah Ibu ketika melihat polahmu. Mimik wajahmu, gerak gerik tangan dan tubuhmu cukup memberitahu Ibumu, kau sedang melucu. Apapun itu, Ibu tahu kau sedang menghibur teman-temanmu dengan sejuta humor yang entah dari mana selalu bermunculan di kepalamu.
Lalu Ibu duduk di ruang guru bersama ibu lainmu di sekolah. Dengan ramah, ia bertanya kabar dan kami berbasa-basi saling bertukar berita. Ada sedikit gelegak kuatir saat ibu diminta bertemu ibu gurumu ini. Mungkinkah ada masalah pelajaran? Atau ada masalah dengan sekolahmu? Entahlah, ibu berusaha mencari berbagai alternatif jawaban apapun nanti yang akan disampaikan olehnya.
Ibu hanya ingat satu pesan Ayah, “jika anak kita salah, mintalah pengertian pihak sekolah dan nanti akan kita bicarakan dengan anak kita. Jika perlu mintalah bantuan mereka untuk memberi nasihat untuk kita sebagai orangtua.”
Tapi, ibu gurumu mengabarkan hal lain... Ada sesuatu yang terjadi di sekolah.
Bagai petir rasanya Ibu mendengar, tapi sudah terlambat utk mencarimu dan bertanya. Ribuan kali Ibu bertanya dalam hati, kenapa anakku yang begitu dekat tak pernah cerita tentang ini. Setiap hari kita duduk bersama, berbicara dan membahas berbagai macam hal. Tapi mengapa hal sepenting ini kau simpan sendiri, putriku?
[caption id="" align="aligncenter" width="562"] @ rootpsychology.com[/caption]
Satu demi satu kata-kata gurumu meluncur keluar bercerita tentang kejadian yang diawali sekitar satu bulan silam, kau bukan tokoh utamanya tapi salah satu sahabatmu, yang menyebut dirimu 'sahabat terdekat' di dalam buku hariannya. Lalu buku harian itu terbaca oleh ibu sahabatmu, yang tak sengaja menemukan fakta lain yang mengerikan. Ternyata, beberapa minggu terakhir, sahabatmu menyimpan kegalauan hati yang begitu berat. Perpisahan kedua orangtuanya hampir saja membuat sahabatmu mengakhiri hidupnya.
Tapi kau di sana, menawarkan canda yang mengundang tawa dengan mengirimkan meme lucu saat ia mencurahkan isi hatinya, mengajaknya bermain games bersama secara online sambil bercanda ketika ia mengaku habis menangis karena sedih.
[caption id="" align="aligncenter" width="630"] @ shutterstock.com[/caption]
Kau selalu di sisinya, Nak. Ketika ia merasa ke sekolah hanyalah pelarian dari pertengkaran tak kunjung habis di rumahnya, kau mengajaknya mencuri waktu di sela jam pelajaran untuk jajan dibandingkan membiarkan dirinya tenggelam dalam pikiran kosong.
Kau memilih mengajaknya bermain di rumah berkali-kali, daripada terus mendengar keluhnya. Kau ajak ia makan, main dan mengobrol bersama adik-adikmu, bersama ibu dan ayahmu, membuatnya merasakan makna keluarga yang sesungguhnya.
Dan ketika kau terlalu sibuk untuk menemaninya, kau memintanya datang melihatmu latihan. Untuk mengenalkannya pada dunia persahabatan yang lebih luas, pada persaudaraan yang jauh lebih banyak. Itu membuat sahabatmu kini menjadi sahabat dari teman-temanmu yang lain.
Saat itulah, ibu langsung tahu. Kau memang putriku… Kita tak pandai memberi nasehat, kita juga tak tahan menyembunyikan emosi. Kau hanya tahu, berada di sisi sahabatmu adalah cara terbaik memberitahunya kalau ia tak sendiri.
Malam itu ketika ibu bertanya, kaupun mengakui. Lebih baik menghindari membahas masalah sahabatmu itu, karena tiap kali sahabatmu menangis, kau juga menangis bersamanya. Tak menyelesaikan masalah, apalagi memberi nasihat.
Dan ibu gurumu tahu sehari sebelumnya Ibu dipanggil ke sekolah, ibu sahabatmu itu datang, menangis di depan ibu lainmu di sekolah, memberikan banyak bukti alasan ia bersyukur ada anak sepertimu. Bukan psikiater, bukan psikolog apalagi dokter jiwa. Tapi hadirmu, mengobati jiwa anak lain.
Ibu juga menangis, Nak. Bersyukur karena hadirmu, tak hanya mengobati rinduku menjadi ibu, tapi juga kini bangga menjadi ibumu.
Kau masih di sana, bersama teman-temanmu. Begitu melihatku, kau memeluk tanpa malu dan merengek tambahan uang jajan seperti biasa. Kau tak bertanya alasan Ibu datang, tapi senyum di bibir Ibu membuatmu paham. Tak ada yang perlu dikuatirkan. Ibu tahu itu sudah jawaban yang cukup untukmu. Selama tak ada kerut emosi di wajah Ibu selain senyuman, duniamu akan berputar seperti biasa.
Kau hanya mengedipkan mata sebagai balasan dan berteriak gembira spontan saat dompet Ibu terbuka. Berlari kembali memamerkan lembaran uang yang didapat pada teman-temanmu. Itulah putriku, kau hanyalah remaja biasa dan akan selalu seperti itu.
Putriku, kau hanyalah anak biasa... Manja sesekali, bandel seringkali, tak selalu pintar dan tak selalu menang, tak selalu menuruti keinginan orangtua dan masih sering membantah... Tapi di antara itu, Ibu kini tahu, kau sahabat yang baik untuk teman-temanmu. Dengan caramu, dengan gayamu sendiri, dengan pilihanmu sendiri.
Ibu juga mengerti alasan kau tak cerita, karena memang tak ada yang perlu diceritakan. Kau hanya menjadi seorang sahabat dan teman yang baik, seperti yang selama ini ibu minta darimu.
Ibu yakin satu hal, akan ada sahabat dan teman di sisimu, yang akan menemanimu, menjagamu dan membantumu ketika kesulitan datang kala kami, ayah dan ibumu, tak lagi ada di sisimu...
[caption id="" align="aligncenter" width="412"] @ oppimateriaalit.jamk.fi[/caption]
Inspirasi dari status Februari 2018
3 komentar:
[…] adalah putri ketiga yang terlahir dengan jarak usia cukup jauh dari kedua kakaknya, 8 tahun dari kakak, dan 5 […]
Terharu bacanya :).. Terlepas ini nyata ato ga, tp aku jd berharap, semoga anakku bisa menjadi anak yg seperti itu mba :) . Yg slalu care dan selalu ada utk teman2nya.
Aamiin, semoga Mbak. Soal nyata tidak, biarlah jadi rahasia kami, diambil manfaatnya aja.
Posting Komentar