06 Juli 2017

Pamer Pekerjaan Anak Saat Lebaran

Aku lelah...

Sepanjang hari sejak Subuh, aku sudah beraktifitas menyambut hari kemenangan bagi umat Islam yang berpuasa ini.

Sholat Idul Fitri berjamaah bersama warga di kampung halaman suamiku, lalu saling bermaaf-maafan dengan ibu mertua, suami, adik-adik ipar serta suami atau istri mereka, putra-putriku dan keponakan-keponakanku. Tak sampai setengah jam, kami juga diajak Ibu berziarah ke makam Ayah mertua yang baru berpulang kurang setahun yang lalu.

Tak sampai di situ, kami masih harus menyambut para tamu yang berdatangan, bersilaturahmi. Ketika seluruh anggota keluarga yang lain beristirahat, suamiku malah mengajakku mengunjungi keluarganya yang lain di desa-desa sebelah.

Maka, saat malam datang, aku lebih suka berbaring di kamar sembari membalas ucapan selamat dan permohonan maaf dari teman-teman di ponselku, meski para tamu masih terus datang. It's me time... 

Tapi, sayup-sayup dari kamar, aku masih bisa mendengar obrolan Ibu mertua dengan tamu-tamu yang datang.

Ah, aku hafal jenis obrolan ala mereka yang putra-putrinya berada di kota. Cerita pamer tentang anaknya yang sekolah atau universitas bergengsi, bekerja di perusahaan ternama atau properti terbaru yang anaknya beli.

Seperti biasa, seperti sebelumnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, Ibu hanya diam mendengarkan dan sesekali memuji atau berkomentar. Tak sedikitpun informasi yang sama keluar dari bibir perempuan yang melahirkan suamiku itu. Satu-satunya informasi tentang putra-putrinya, terutama suamiku, hanya kota tempat mereka bekerja. Itu saja. Tidak lebih dari itu.

Aku ingin tertawa mendengar cerita bernada sombong yang kudengar dari tamu itu.

Gaji anaknya sekian, aaah... Itu hanya setengah gaji suamiku. Perusahaannya memberi fasilitas ini dan itu, aku langsung ingin bilang bahwa suamiku memegang deretan kunci mobil dinas yang bisa dipilihnya, atau saat kami berobat hingga ke luar negeri dan semuanya ditanggung perusahaan, atau saat suami berkeliling bertugas ke daerah bahkan keluar negara dan semuanya disediakan perusahaan, termasuk fasilitas untuk keluarga. Ibu tahu semua itu... Tapi dia diam tak membalas.

Aku ingin sekali keluar dan mengakhiri kesombongan itu saat tamu ibu menawarkan ibu untuk ikut menggunakan keuntungan dari pekerjaan putra sang tamu. Tidak perlu! Kalau ibu mau, suamiku memiliki keuntungan yang jauh lebih banyak untuk itu semua. Tapi justru tawa ibu yang terdengar diiringi ucapan terima kasih dan malah bertanya kabar tamunya yang ia dengar sekarang sakit-sakitan.

Lalu, sebelum kakiku benar-benar melangkah keluar, aku kembali mendengar. Sang tamu juga bercerita tentang anaknya yang susah sekali dihubungi saat ia sedang sakit. Ibu dengan bijak berkata mungkin karena kesibukan saja.

Aku meringis. Itu juga dialami Ibu, karena suamiku bukanlah tipe anak yang suka bicara apalagi di telpon. Setiap waktu, selalu Ibu yang menelpon suamiku. Meski selalu direspon dengan baik.

Kembali Ibu mengatakan bahwa begitulah setiap putra-putri saat mereka punya tanggung jawab tak hanya pada orangtua mereka, tapi juga pada istri atau suami dan anak-anak mereka. Seorang ibu harus memahami situasi itu meski ia juga punya situasi yang buruk.

Tamu Ibu menjawab, ibu bisa berkata seperti itu karena semua putra-putrinya selalu menghormati dan menghargai ibu meski semua telah berkeluarga. Saat Ibu sakit, semua anaknya mengambil peran masing-masing. Yang mampu, dengan materi. Yang punya waktu, dengan merawatnya. Sementara itu berbeda padanya... Sampai harus menunggu lama hanya agar bisa dirawat di rumah sakit... Itupun oleh orang lain.

Obrolan itu membuatku merenung. Mungkin itu sebabnya Ibu diam tentang pekerjaan anaknya. Ibu tak perlu memamerkan hal-hal yang tak penting seperti itu.

Ibu sudah punya hal-hal yang membanggakannya setiap waktu. Anak-anak yang berbakti padanya. Anak-anak yang selalu menyayanginya, sebanyak apapun cinta yang mereka berikan untuk yang lain. Bahkan permintaan Ibu seperti perintah Tuhan yang lain bagi suamiku.

Aku tersenyum, memutuskan kembali berbaring. Aku tak perlu membalas kesombongan tamu Ibu. Ibu sudah melakukannya dengan pelajaran penting. Tanpa Ibu sadari, ia juga mengajariku bagaimana seharusnya aku bersikap saat menjadi dirinya nanti.

Aku bahkan melupakan satu hal penting. Hal yang tak bisa dibeli dimanapun. Hal yang tak bisa diberikan perusahaan sebesar apapun. Hal yang tak bisa diperoleh dari pekerjaan sebaik manapun. . Yaitu kasih sayang dan perhatian seorang anak.
*****

2 komentar:

emanuella aka nyonyamalas mengatakan...

Ibunya bijak sekali mbak... :) semoga sehat selalu ya mbak ibu....

Indira mengatakan...

Mbak Iin..jadi sedih nich, saya anak paling jauh, dimana kalau sudah sepuh hiks. Terima kasih sharingnya Mbak