13 Juni 2017

Al Qur'an yang Usang


Panas menyengat tak diindahkan oleh Ummi Syifa. Ia terus berjalan dengan bergegas menaiki tangga demi tangga hingga ke lantai empat. Suasana sudah sepi, sepanjang lorong lantai empat sudah tak ada lagi murid-murid yang berkeliaran. Bel masuk sudah terdengar sejak sepuluh menit yang lalu dan Ummi Syifa terlambat karena tadi ia harus menemui Kepala Sekolah.

Pikiran Ummi sedang bercabang. Kabar yang ia dengar sungguh mengejutkan. Tapi saat ini ia harus mengajar dan ia tak mungkin meninggalkan murid-muridnya begitu saja. Apapun yang terjadi, Ummi ingin tetap tenang. Ummi tiba di depan pintu kelas 7, satu helaan napas keras terdengar sebelum ia berdehem dan mengucap salam sembari membuka pintu, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Wa’alaikum salam wa rahmatullah wa barakatuh,” jawab anak-anak di dalam kelas. Mereka sedikit terkejut melihat kedatangan Ummi Syifa yang tiba-tiba. Ada yang bergegas memperbaiki duduknya, dan beberapa anak yang berkeliaran langsung berlarian kembali ke kursinya masing-masing. Ummi meletakkan tas di kursi serta buku-buku dalam pelukannya ke atas meja.

“Apa kabar, Nak? Seminggu ini kalian sudah masuk di bulan Ramadan. Bagaimana puasa kalian? Hayo siapa yang sudah pernah tidak puasa?” tanya Ummi dengan senyuman tersungging di bibirnya, ia mengedarkan pandangan. Beberapa anak perempuan mengangkat tangannya dengan malu-malu. Hanya satu anak laki-laki yang ikut mengangkat tangan.

Mata Ummi sedikit membulat. “Loh, Rafi kenapa puasanya?”

Rafi tersenyum malu, “saya masuk angin, Ummi. Saya muntah-muntah. Kata Mama, puasa saya batal.”

Ummi mengangguk. “Benar sekali, kalau sudah muntah dan tubuh ada yang terasa sakit seperti itu secara otomatis puasanya batal. Lain kali, sebelum berpuasa persiapkan fisik dengan baik. Karena perut kosong, jangan main kipas angin ya Fi!”

Ledakan suara tawa terdengar memenuhi kelas, termasuk Rafi yang sedang digoda Ummi. Setelah itu, anak-anak pun saling melempar lelucon tentang puasa, dan tertawa bersama-sama. Kelas Ummi memang selalu begitu. Ummi sering sekali melempar lelucon atau bercanda dengan anak-anak.

Ummi mengangkat tangan. Suara-suara pun berhenti. “Baiklah, masih ingat pesan Ummi minggu lalu? Apa kalian bawa yang Ummi minta?”

Seluruh murid menjawab dengan kompak. “Alhamdulillah, ingat Ummi!”

“Kalau begitu, sekarang keluarkan! Tapi apa kalian sudah berwudhu semua? Ada yang sedang tidak berpuasa?”

Tak ada yang menggeleng semuanya mengangguk dan suara-suara tas yang dibuka mulai terdengar. Semua anak bergerak mengambil apa yang diminta Ummi untuk dibawa. Mereka meletakkan Al Qur’an di atas meja lalu duduk dengan rapi. Suara bisikan dan tawa kecil terdengar sebelum berakhir saat Ummi berdehem pelan.

“Baiklah, sekarang Ummi periksa ya.” Ummi berjalan ke barisan pertama, kedua, ketiga dan.... matanya tertumbuk pada seorang murid perempuan yang menunduk dalam-dalam. Tak ada Al Qur’an di atas mejanya. Ummi berjalan cepat mendekati mejanya.

“Mana Al Qur’anmu, Zahra?” tanya Ummi Syifa dengan sorot mata tegas.

“Ada, Ummi. Tapi di dalam tas,” jawab Zahra tanpa berani mengangkat wajah.

“Loh, bukankah tadi Ummi bilang keluarkan? Ummi ingin kalian juga ikut melihat sekaligus menyimak ayat yang dibaca teman kalian. Sekarang keluarkan!”

Dengan ragu-ragu, Zahra membuka tas perlahan. Sebuah benda segiempat berbungkus kertas coklat dikeluarkan Zahra dari dalam tas. Ia meletakkan dengan wajah yang juga masih tertunduk.

Kening Ummi berkerut, ia menyipitkan matanya. “Itu Al Qur’an, Ra? Kenapa kamu bungkus pakai kertas coklat begitu? Itu bukan buku, buka saja. Bagaimana kalau orang lain tidak tahu itu Al Qur’an dan meletakkannya sembarangan?”

Kali ini Zahra mendongak. Ummi bisa melihat sorot matanya yang seperti menahan tangis. Tapi anak itu diam saja. Dengan patuh tangannya bergerak membuka kertas sampul yang sepertinya baru dipasang. Perlahan-lahan Ummi melihat sebuah Al Qur’an berwarna hijau tua. Pinggiran hardcovernya sudah terkelupas dan warna hijaunya juga sudah sedikit kehitaman. Saat Zahra membuka kertas sampul itu, tanpa sengaja ia memperlihatkan bagian dalamnya yang warnanya tak lagi berwarna putih bersih tapi telah berganti menjadi kuning kecoklatan. Lipatan-lipatan kecil juga terlihat di dalamnya. Benar-benar Al Qur’an yang usang. Ummi menarik napas pelan. Kini ia tahu penyebab wajah Zahra yang pucat itu. Apalagi sekarang, wajah gadis kecil itu semakin putih saat suara-suara cekikikan kecil terdengar di belakang dan di depan Ummi.

Ummi menatap tajam ke arah asal cekikikan itu, yang langsung berhenti. Lalu ia kembali ke depan kelas. “Baiklah! Karena kalian sudah siap semua, Ummi akan menyebut nama kalian dan kalian harus membaca ayat yang Ummi minta sampai Ummi menyebut nama teman kalian. Yang dipanggil berikutnya melanjutkan bacaan temannya. Jadi walaupun kalian tidak diminta untuk membaca, perhatikan bacaan teman kalian dan bersiap-siap. Mengerti!”

Dengung keluhan terdengar di antero kelas. Ummi tersenyum miris. Ia tahu penyebabnya. Meski beberapa di antara murid-muridnya sudah ada yang memasuki masa akil baliq, banyak di antara mereka tak bisa membaca Al Qur’an. Ia sengaja meminta anak-anak melakukannya hari ini, agar mengetahui kemampuan mereka.

“Buka surah Al Baqarah.”

“Yang mana itu, Ummi?” pertanyaan itu kembali membuat Ummi menghela napas. Namun, ia tersenyum sabar.

“Halaman pertama, Nak. Awalnya alif lam mim... setelah Al Fatihah.“

Pelajaran pun dimulai. Ummi mulai menyebutkan nama anak-anak bergantian. Ada yang mendapat dua atau tiga ayat. Ada yang sampai lima ayat. Mereka yang sedikit lancar membaca dengan baik, tapi yang membaca dengan terbata-bata jauh lebih banyak sehingga membuat hati Ummi benar-benar merasa sedih. Mereka sudah remaja, tapi membaca Al Qur’an saja masih belum bisa. Tak tahukah orangtuanya kalau mengajarkan Al Qur’an adalah bagian dari kewajiban mereka selama menjaga amanah dari Allah SWT?

Ummi tahu satu hal, karena itulah ia sengaja melewatkan nama Zahra. Baru setelah seluruh anak-anak selesai mendapat giliran, Ummi pun menatap Zahra. “Zahra, bacakan Al Baqarah mulai dari awal!”

“Iya, Ummi!” Zahra mengangguk. Gadis bertubuh mungil itu membalik halamannya, begitu juga teman-temannya. Tapi ia tidak menunduk seperti teman-temannya saat membaca, ia tetap duduk tegak dan suaranya yang jernih pun mulai terdengar. “Alif laam miim.Jaalikaal kitabu larayba fiihi huda lilmuttakiin...

Satu demi satu ayat dibacakan Zahra dengan jelas, ia tak hanya membacakan dengan benar tapi juga tanpa melihat pada Al Qur’an. Ummi sendiri terkejut mengetahui kalau Zahra ternyata seorang penghafal Qur’an, berarti dugaannya benar. Al Qur’an usang itulah buktinya. Teman-teman Zahra juga meliriknya dengan kagum. Bukan main! Ternyata si gadis pendiam itu memiliki kemampuan luar biasa. Wajah-wajah yang tadinya memandang dengan cemooh, kini berganti dengan kekaguman dan rasa bersalah.

Ketika Zahra membacakan ayat ke-30, Ummi mengangkat tangannya. “Cukup, Nak. Cukup sampai di situ! Terima kasih!”Dan Zahra pun mengakhiri bacaannya.

Setelah itu Ummi berdiri. “Lihat kan! Itulah yang membedakan Al Qur’an bagus milik kalian dengan milik Zahra. Al Qur’an Zahra pasti melalui hari-hari di mana setiap hari ia membuka, membaca dan menghafalnya. Meski Zahra tidak pernah memberitahu Ummi, tapi Ummi tahu setiap hari Zahra melakukannya. Bacaannya tadi yang menjadi bukti. Nah, seperti itu juga pada kalian. Pasti kalian tidak pernah membaca Al Qur’an kecuali disuruh Ummi, bukan? Buktinya... ya bacaan kalian yang masih terbata-bata dan masih salah-salah. Itu pula sebabnya Al Qur’an kalian masih sangat bagus dan rapi. Ibaratnya Al Qur’an itu pakaian kalian. Pakaian yang digunakan saat menghadap raja. Kalian yang berpakaian bagus pasti akan malu karena tak bisa menjawab pertanyaan sang raja, dan malah seseorang berpakaian usanglah yang mampu menjawabnya.”

Kepala para murid menunduk dengan malu.

“Al Qur’an itu dibaca tidak pada bulan Ramadan saja, Nak. Setiap hari, usahakanlah membaca Al Qur’an. Tak mampu satu juz, maka bacalah selembar, tak bisa baca selembar, bacalah sepuluh ayat. Tak mampu sepuluh ayat maka bacalah satu ayat. Karena dengan begitulah iman kalian terasah.”

Salah satu murid mengangkat tangan. “Satu juz satu hari kan sedikit tidak mungkin ya Ummi. Ummi bisa ajari caranya?” tanya Alya.

Ummi tersenyum. Ia menoleh pada Zahra. “Zahra, kamu dulu melakukannya kan? Bagaimana caranya?”

Zahra mengangguk. “Satu juz itu ada 12 lembar, Mi. Satu hari ada 5 kali sholat wajib. Sesudah sholat wajib saya membaca dua lembar dan sesudah magrib saya membaca empat lembar sebelum sholat isya’. Insya Allah 30 hari bisa tamat.”

Masya Allah. Rasa kagum teman-teman Zahra semakin terlihat, namun gadis itu hanya tersenyum kecil. Senang hatinya bisa berbagi tips seperti itu. Kini kekuatirannya telah lenyap, setelah Ummi membantunya. Al Qur’an usang di hadapannya tak lagi membuatnya malu, tapi justru merasa bangga. Betapa malu hatinya mengingat tadi pagi sempat ingin bolos sekolah karena takut diejek teman-temannya. Sekarang seluruh kekuatirannya telah hilang.

“Baiklah, jam hampir berakhir. Sekarang masukkan kembali Al Qur’an kalian. Ummi pesan, kalian harus belajar mengaji. Sekarang banyak sekali media untuk belajar mengaji. Ada mesjid yang bisa kalian datangi, ada ponsel yang bisa kalian upload aplikasi membaca Qur’annya dan bahkan ada orangtua kalian yang bisa mengajari kalian mengaji. Taddarus itu kewajiban ya, Nak. Tidak dilakukan di bulan Ramadan saja tapi setiap hari. Tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga nanti untuk keluarga yang akan kalian bentuk setelah dewasa. Mengerti?” Anak-anak mengangguk bersamaan.

Ummi menatap anak-anak muridnya. “Sekarang, Ummi ingin berpamitan. Semoga kalian semakin rajin belajar dan selamat berlibur. Semoga puasa kalian lancar dan penuh. Nanti setelah bagi raport, jangan lupa untuk tetap belajar walaupun libur ya. Ummi juga mohon maaf lahir dan batin kalau melukai perasaan kalian selama kita belajar selama ini. “

“Kami juga mohon maaf lahir dan batiiin, Ummi... “ jawab anak-anak dengan kompak. Ummi mengangguk. Lalu ia mendatangi anak-anak satu persatu, bersalaman dengan mereka. Walaupun heran, anak-anak membalas dengan sayang namun hormat.

Saat berjalan keluar, kaki Ummi Syifa terasa berat luar biasa. Namun ia menguatkan hatinya untuk terus melangkah. Hari ini, hari terakhirnya mengajar di sekolah ini karena SK kepindahannya telah keluar dan itulah penyebabnya mengapa Kepala Sekolah memanggilnya tadi. Di sekolah barunya, Ummi berharap bertemu murid seperti Zahra, gadis muda yang akan memudahkannya memberi contoh bahwa menghafal Al Qur’an bukanlah hal mustahil. Anak-anak yang telah diajarkannya selama setahun ini mungkin tak menyadari kalau tadi adalah salam terakhirnya. Tapi Ummi tak suka berpisah dengan kesedihan. Biarlah, ia ingin anak-anak mengingat pesan terakhirnya saja, bahwa membaca Al Qur’an adalah kewajiban yang harus mereka jalankan. Ummi tak ingin dikenang sebagai seorang guru agama Islam biasa, tapi ia hanya ingin pesannya dikenang dan dikerjakan oleh murid-muridnya. Semoga.

********

Tidak ada komentar: