“Sebentar, saya masukkan dulu nomornya? Berapa tadi, San?” tanya Pak Hendra, sambil menekan-nekan tombol ponsel.
Aku mengulang sekali lagi sambil tertawa kecil. Kulirik ponsel kecil mungil berwarna putih kusam di tangannya. Heran sih, kenapa ponsel keluaran sepuluh tahun lalu itu masih dipakai seorang Direktur Marketing. Ponsel yang hanya bisa dipakai untuk menelepon, menerima telepon, dan sms saja.
Padahal gara-gara ponsel kunonya aku sering kerepotan. Beberapa kali aku bilang pada Pak Hendra, untuk menggunakan ponsel pintar. Setidaknya dia tidak perlu repot mencatat informasi penting yang disampaikan klien via telepon, tinggal rekam dan masalah selesai. Ia bisa menerima telepon dalam keadaan apapun. Yang terjadi sebaliknya, saat menyetir dan tiba-tiba ada klien menelpon, Pak Hendra terpaksa meminggirkan mobil dan sibuk mencari kertas. Itu kalau kliennya sabar, kalau tidak…. Yah hilanglah kesempatan besar.
Jangan tanya berapa kali aku terpaksa mengambil inisiatif menggunakan ponselku sendiri untuk memotret sesuatu yang penting. Dan entah berapa kali pun aku harus repot-repot mencetak foto hanya karena Pak Hendra ingin melihatnya dan memerlukannya. Coba kalau dia punya ponsel pintar, aku kan tinggal mengirimkannya via aplikasi pesan.
Alasan terakhir yang sering bikin aku kesal sendiri adalah sms. Pak Hendra sih enak tinggal kirim sms berapapun padaku, lah aku… kalau hanya satu dua kali membalas sms sih tak apa-apa, tapi kalau tiap hari dan tiap kali bicara via sms harus kujawab maka stok pulsaku pun harus tersedia dengan cukup. Padahal, akan lebih hemat kalau menggunakan aplikasi pesan dibandingkan sms. Pulsa yang harusnya cukup sampai akhir bulan, selalu habis sebelum waktunya.
Jangan tanya berapa kali aku menyarankan si Bos beli ponsel pintar. Tapi dia selalu menggeleng. Dan ternyata bukan aku saja yang merasa ponsel tuanya itu sebagai masalah. Putri Pak Hendra yang sudah bekerja sebagai seorang dokter bahkan pernah datang dan menitipkan kantung tas bertulis nama merek ponsel ternama yang harganya sama dengan 5 buah ponsel milikku. Bukan main senangnya aku membayangkan kemudahan yang bakal kudapat.
Tapi, Pak Hendra malah memasukkan kantung itu tanpa mengeluarkan kotak kardus ponselnya ke dalam lemari. Menguncinya dan kembali tafakur membaca satu demi satu sms di ponsel tuanya. Putri Pak Hendra yang kulapori via telepon hanya menghela napas dan bergumam, “biarlah, Mbak Santi. Nunggu aja sampe Bapak siap.”
Akhirnya aku juga menyerah. Kalau anaknya yang kenal sejak dia lahir saja menyerah, apalagi aku yang belum setahun bekerja menjadi sekretarisnya. Toh, setelah tanpa sengaja keluhanku tercetus soal pulsa pada rekan kerja, tiba-tiba saja di slip gajiku muncul anggaran pulsa yang jumlahnya lumayan.
Sampai, suatu ketika, di tengah malam menjelang pagi seseorang menelpon kamar kosku.
“Halo?” sahutku dengan mengantuk. Mungkin dari Ayah atau Ibu di kampung, mungkin dari kakak-kakakku yang tinggal di negara lain. Wajarlah mengingat perbedaan waktu.
“San! Santi! Ini Pak Hendra, kamu lihat ponsel saya gak?”
Telingaku langsung mengenal dengan baik. Tiba-tiba mataku jadi terang benderang. Dengan sigap aku duduk. “Ponsel? Maksud Bapak?”
“Ponsel saya hilang, San. Gak tahu saya taruh di mana? Semalaman saya cari di rumah dan di kantor ponsel itu tidak ada. Kira-kira kamu lihat tidak?”
Setelah aku menjawab kalau aku tak bisa ingat di mana, telepon ditutup.
Esok paginya, Pak Hendra bekerja dengan wajah kuyu, memberitahuku bahwa ponselnya hilang. Ia memintaku mengurus nomor ponselnya agar tetap bisa dipakai dan nanti ia akan memakai ponsel baru hadiah dari putrinya.
Sejujurnya aku senang sekali mendengarnya. Rasa syukur kupanjatkan pada Tuhan yang akhirnya mendengar doa-doaku selama ini.
Setelah selesai mengurus permintan Pak Hendra dan kiriman kartu nomor ponselnya sudah datang, aku masuk ke ruangan Pak Hendra. Ia duduk melamun, memandangi foto almarhum istrinya yang ada di atas meja.
“Pak, saya masukkan ya kartunya,” kataku dengan riang. Pak Hendra hanya mengangguk.
“San, kalau bisa bantu cariin ponsel saya ya. Kemarin saya meeting dengan klien di Hotel A, tolong kamu hubungi mereka, barangkali kececer di sana. Saya akan ganti berapapun yang diminta orang yang menemukannya.”
Mendengar kata-katanya, aku makin tidak mengerti. Ponsel tua itu kalaupun dijual harganya takkan lebih dari 100ribu. Ditambah dengan kondisinya yang sebagian besar sudah lecet di mana-mana, harga segitu pun sudah terlalu mahal.
“Tapi, Pak… Ponsel tua begitu…”
Mungkin Pak Hendra membaca isi pikiranku saat itu. Ia berbisik pelan, “Ponsel itu dari almarhum istri saya, San.” Dang! Tiba-tiba seluruh pertanyaanku terjawab sudah…
Pak Hendra menunduk, seperti terkenang sesuatu. “Dulu saya gak seperti ini, San. Jangankan punya ponsel, kerja saja saya harus naik bus. Istri saya selalu menyupport saya, selalu mikirin kepentingan saya. Dia benar-benar istri yang baik, bahkan rela ditinggal-tinggal saat saya harus keluar kota bahkan negeri lain untuk jualan. Dia selalu memberi saya hadiah… macam-macam dan semuanya untuk memudahkan kerja saya. Sampai saya lupa diri. Saya lupa kalau istri saya itu juga manusia.”
“Saya bahkan tak tahu kalau dia sakit jantung. Saya terlalu sibuk untuk sadar kalau istri saya sakit. Waktu saya sadar, istri saya sudah gak ada. Dia membelikan saya ponsel agar tetap aman dalam situasi darurat, tapi saat ia sendiri dalam kondisi itu, ponselnya malah tak berguna.”
Pak Hendra mengangkat wajahnya, matanya tampak berkaca-kaca dan ia masih berusaha tersenyum, “Karena itulah saya tak pernah bisa ganti ponsel, San. Itu hadiah terakhir istri saya. Di dalamnya ada banyak sms darinya yang sampai sekarang belum bisa saya hapus. Suaranya saja masih terekam di situ.”
“Bapak…” suara sapaan di belakangku membuat kami sama-sama menoleh. Ada Mbak Nola, putri Pak Hendra berdiri di depan pintu. Ia masuk dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Ponsel tua milik Pak Hendra!
“Maafin Nola, Pak. Semalam Nola sembunyikan karena Nola ingin Bapak ganti ponsel.”
Pak Hendra hanya tersenyum pada putrinya, kemudian ia melirikku. “Sudah diganti?” Aku langsung mengangguk.
“Kalian ini… ya baiklah, mulai sekarang saya akan pakai ponsel yang baru itu aja deh. Tapi jangan disembunyikan lagi. Ini sama seperti ngambil kenangan Ibumu dari Bapak.”
Nola melirikku. “San, maaf. Harusnya tadi aku kasih kamu dulu, biar Bapak naikin gajimu 100%.”
Pak Hendra terbahak-bahak mendengar canda putrinya. Kabut sedih di wajahnya sudah menghilang.
Aku dan Nola saling pandang. Melemparkan senyum pengertian. Sebenarnya ini memang cara kami menuntut Pak Hendra mengganti ponselnya. Tapi sungguh tak disangka ada cerita di balik ponsel tua itu. Pak Hendra memang tak marah tapi rasa bersalah di hati kami terlalu besar untuk tetap meneruskannya.
Istri Pak Hendra pasti sedang tersenyum di alam sana. Dicintai oleh seseorang sedalam itu, bahkan dikenang dengan baik setelah pergi bertahun-tahun adalah hal terbaik bagi seorang istri. Bu, ponsel tua hadiah darimu bukti cinta yang tak pernah padam dari hati seorang suami.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar