08 Maret 2017

Coretan Di Dinding


Sepi sekali. Tak ada suara anak-anak. Biasanya mereka akan berteriak-teriak hingga seisi rumah seperti sedang konser. Ditambah mainan yang berantakan, maka benar-benar mirip seperti kapal pecah.

Aku melangkah pelan ke ruang keluarga. Itu tempat terakhir aku melihat mereka. Tadi mereka sibuk menggambar di atas meja kecil masing-masing. Karena mereka anteng, makanya aku lari ke ruang kerja suamiku, meminjam laptopnya untuk berseluncur di dunia maya.

Seperti biasa, kalau anak-anak sibuk, aku juga sibuk. Sekedar meng-update status, membalas komentar atau bahkan browsing berita-berita terbaru. Ada sih ponsel, tapi tak enak membaca di layar kecil itu. Lebih enak pakai laptop, besar dan jelas.


Saat aku masuk, anak-anak sudah tak ada di depan meja mereka. Mataku justru melihat keduanya sedang berdiri menghadap dinding. Terkikik-kikik pelan sekali. Aku maju dengan dua langkah lebar dan… astaga! Mereka mencoret-coret dinding!


“Rian! Roni! Apa-apaan ini hah?” teriakku emosi. Aku langsung merampas crayon mereka dan mendorong keduanya hingga mundur bersandar di dinding. Kupandangi dinding yang sudah penuh dengan aneka gambar. Gambar rumah, jendela, pintu, berbagai jenis hewan. Sementara yang lain berupa lingkaran, kotak dan tali kusut yang tak bisa kupahami maksudnya.

Roni, putraku yang baru berumur 3 tahun kontan menjerit dan menangis keras mendengar suara bentakanku. Sementara Rian, putra tertuaku yang baru lulus TK itu beringsut mundur lebih jauh, menghindariku. Tatapan takut sekaligus bingung terlihat jelas di matanya. Tapi aku telanjur marah. Dengan kesal aku menarik tangan Rian.

“Kamu ini ngajarin adikmu yang enggak-enggak ya, sekarang bersihkan! Cepat bersihkan!” perintahku. Rian berbalik menghadap dinding, berdiri diam dan mulutnya mulai melengkung. Ingin menangis. Tanganku menyambar kain lap bekas yang ada di dekatku. Tadi lap itu dipakai untuk mengelap air putih yang tumpah dan kulemparkan pada Rian. “Bersihkan cepat!”

Meski terlihat takut, Rian mengambil lap itu dan mulai mengelapnya. Tapi makin dilap, warna crayon itu justru makin berpencar. Aku jadi kesal, dan menyambar lap itu kembali. Dengan kesal, kulap dinding keras-keras agar Rian dan Roni tahu kalau aku benar-benar sangat marah.

“Awas ya kalau besok-besok kamu berdua nyoretin dinding lagi! Nanti Mama jewer kupingnya! Rian apalagi. Kalau masih nyoret di dinding, nanti Mama gak sekolahin lagi! Tinggal di rumah aja, bersihin dinding sampe coretannya ilang. Ngerti!”

“Huhuhu, iya, Ma… huhuhu… Ngerti!”gumam Rian terisak-isak. Akhirnya ia menangis juga.

“Mbok ya kalau negor anak jangan segalak itu, Lis!” suara teguran di belakangku membuat aku menoleh. Ada kakakku berdiri di depan pintu bersama putrinya. Matanya yang ditutupi kacamata minus melotot padaku. Melihat Uwak dan kakak sepupu mereka datang, anak-anakku langsung berlari. Menangis terisak-isak dalam pelukan Uwaknya.

Aku menghela napas. Repot deh kalau dia sudah ikut campur. Kakakku paling tidak suka kalau aku memarahi anak-anak dengan kasar. Dia juga keras, tapi tak pernah memukul putra-putrinya. Anehnya, anak-anaknya tidak ada yang nakal seperti anak-anakku. Malah, anaknya yang paling bungsu justru berjiwa keibuan sepertinya. Anak yang kini berdiri bingung di sampingnya.

Tanpa mempedulikan kakakku yang menggiring anak-anakku keluar menuju kamar mereka, aku terus membersihkan dinding dan syukurlah… tak sekotor tadi. Tapi memang, tetap saja ada noda yang tersisa dan masih terlihat jelas di dinding berwarna putih itu. Aku membanting lap dengan kesal dan berbalik. Kepalaku makin sakit saat melihat pemandangan kapal pecah khas anak-anak. Buku gambar, crayon, meja yang sudah jungkir balik, mainan yang bertebaran, kertas-kertas. Duh!

Putri Kakakku, gadis kecil berumur 8 tahun yang tadi bersamanya sudah berjongkok dan mulai memunguti mainan-mainan itu. Ia memisahkan crayon dan memasukkan ke kotaknya dengan rapi. Enaknya punya anak perempuan semanis ini, tidak disuruh pun dia sudah bergerak membantuku.

“Bibi jangan marah sama Rian dan Roni! Kata Mamah, kalo dimarahi nanti anaknya makin bandel.”

Aku tertawa miris. “Mereka itu gak kayak kamu, Ra. Anak laki mah di mana-mana bandel!”

“Abang Ara enggak!” tegas keponakanku dengan suara santai.

Ah ya dia benar. Abangnya memang tidak nakal. Malah pendiam seperti Ayahnya. Sama seperti Ara, Abang juga anak yang amat teratur. Aku menelan ludah. Anak-anak kakakku memang beda dari yang lain. Mana bisa disamakan! Kakakku kan memang kerjanya mendampingi anak-anak bermasalah, wajar kalau dia lihai menghadapi anak-anak. Itu sebabnya tidak heran kalau anak-anaknya tidak ada yang bandel.

“Bibi tanya gak kenapa Rian ama Roni gambarnya kok di dinding?”

“Hah?” Aku terperangah. Tersadar dari lamunan. Pertanyaan Ara menggelitik hatiku.

Ara tersenyum padaku, berdiri dan meletakkan kotak krayon di atas meja belajar Rian. “Iya, kalo kita di rumah lagi bandel dan bikin Mama marah, Mama biasanya selalu tanya dulu kenapa begitu?”

“Nanya kenapa Ara atau kakak nakal?”

Ara mengangguk. “Iya! Bibi tadi udah tanya sama Rian?” tanya gadis kecil itu lagi dengan mata besarnya.

Aku terdiam dan menggeleng pelan.

“Kalau begitu, Ara tanyain ya!” Gadis kecil berambut panjang itu pun berlari keluar menuju kamar Rian. Meski ragu, aku menyusulnya.

Di kamar, kakakku duduk sambil memangku kedua anakku di atas tempat tidur Rian. Rian di sebelah kanan dan Roni di sebelah kiri. Keduanya sudah berhenti menangis. Ara yang baru masuk langsung berdiri di depan mereka. Aku memilih berdiri di pintu saja, memandangi mereka. Ada rasa penyesalan terselip di dadaku melihat mata sembab kedua putraku.

“Tadi kenapa Rian gambarnya di dinding? Kakak liat ada buku gambar kosong di meja,” tanya Ara sambil mengelus pipi Rian. Rian menggeleng, menolak menjawab.

“Iya Rian, kenapa gak di buku gambar?” tanya Kakakku juga dengan suara lembut.

Kali ini Rian melirikku sedikit. Aku pura-pura melihat ke arah lain. Aku juga ingin tahu jawaban jujurnya, dan bukan karena takut padaku.

“Supaya bisa dilihat Mama, Kak… “jawab Rian setengah bergumam, menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Ara menggaruk-garuk kepalanya. “Kan di buku gambar juga bisa dilihat sama Bibi!” kilah Ara.

Rian menggeleng, “Mama gak pernah mau lihat gambar Rian yang di buku gambar.”

Roni, adiknya mengangguk-angguk setuju. Kepalaku seperti disiram air es mendengar jawaban polos putraku.

Iya, benar. Aku tak pernah mau menggubris apapun gambar yang mereka hasilkan di buku-buku gambar besar yang kuberikan. Begitu selesai digambar, aku membereskan dan menyusunnya di lemari. Nanti saja. Selalu nanti saja… hingga akhirnya aku hampir tak pernah melakukannya.

“Jadi Rian gambar di dinding, supaya bisa dilihat dan dinilai sama Mama?” tanya Kakakku sekali lagi, sambil melirikku dengan pelototan yang lebih mengerikan daripada ibu kami dulu. Aku menunduk malu saat kedua putraku mengangguk bergantian.

Kakakku memutar wajah Rian agar melihat padanya. “Rian sayang, besok dan besoknya lagi, kalau Mama gak mau lihat dan gak mau kasih nilai sama gambar Rian yang di buku gambar, Rian boleh coret dinding lagi. Gambar jendela sama pintunya yang guedeee, biar Mama capek bersihin dindingnya. Biar Mama gak onlen melulu sama medsosnya dan perhatiin Rian sama Roni ya! Ngerti pesan Uwak kan?”

Roni turun dari tempat tidur, “Segini boleh, Wak?” tanyanya polos sambil membentangkan tangannya lebar-lebar. Kakakku mengangguk tegas, dan sekali lagi melemparkan tatapan awas-kalo-berani-marahi-mereka padaku.

Malam itu, kakakku mengirim pesan Whatsapp yang sangat panjang. Mengomeliku habis-habisan. Tapi aku ikhlas menerimanya, penyesalan karena memarahi putra-putraku tanpa bertanya membuatku bersedia menerima hukuman apapun, termasuk omelan dari kakak yang menggantikan posisi almarhumah ibuku. Ada pesan kakakku yang tak bisa kulupakan.


Sebelum marah, tanya dulu sebabnya. Karena anak-anak pra sekolah selalu memandangi ibunya bagai malaikat atau ibu peri dalam cerita dongeng, dan mereka akan selalu memuja ibunya. Ibu adalah kiblat mereka. Jadi semua perbuatan nakal pasti karena alasan yang sama… ibunya. Jangan buat mereka berhenti mengagumi ibunya hanya karena dia tak mampu menahan emosi. Tak ada ibu yang paling sedih di dunia, selain dia yang kehilangan rasa hormat dari anaknya sendiri.


*****

Tidak ada komentar: