08 Februari 2017

Strategi Berbicara Dengan Anakku



Jauh dari anak-anak itu selalu menjadi cerita yang tak pernah habis.
Mungkin karena saya jarang ngobrol by phone dengan anak-anak remaja saya di rumah, makanya saat jauh begini justru bingung sendiri apa yang mau dibicarakan. Maklum saja, anak-anak remaja di rumah saya itu lebih suka bicara langsung daripada mengirim pesan.

Tapi sebagai emak yang dipaksa harus cerdik dan cerdas, karena terlalu butuh suara putra-putrinya untuk sekedar melepas kerinduan, saya pun mengatur strategi.

Hari ini, saya bertanya tentang teman-teman Kakak. Cerita Kakak sebenarnya ringan saja. Hanya bicara tentang obrolan bertema 'teroris' di grupnya. Duh, jangan mikir yang tidak-tidak ya... sama sekali gak ada. Ceritanya hanya seputar candaan anak-anak yang mungkin sedang stress menghadapi UB. Hanya obrolan ringan becandaan anak remaja, tapi sanggup mencairkan suasana kaku yang dibuat oleh jarak ribuan kilometer antara saya dan Kakak.

Begitupun dengan Adek, ketika ia berkeluh tentang ulangan pembagiannya yang diisinya asal-asalan karena tidak hafal perkalian. Saya menghiburnya dengan lagu yang saya nyanyikan pelan-pelan. Adek tertawa, bukan karena suara saya merdu, tapi justru karena saya sengaja menyanyikannya dengan aneka suara yang aneh-aneh.

Yang agak sulit tentu saja Abang. Di rumah saja dia lebih suka mendengarkan saya bicara dibandingkan bicara. Sama seperti Ayahnya yang hemat bicara. Akhirnya saya bertanya tentang sudah berapa rumah yang dibangunnya di Minecraft, dan yaah... begitulah, baru terdengar suaranya yang mahal itu penuh semangat memberitahukan progress games-nya.

Emang tak terlalu sulit buat para emak yang udah biasa bicara di telpon. Tapi saya dan anak-anak itu lebih banyak bicara secara langsung, dan kalaupun bicara di telpon tak pernah sampai 3 menit. Isinya pun hanya hal-hal penting. Kami lebih banyak bicara dengan emoticon, stiker atau karakter bergerak di chat room. Itupun nanti dibahas saat sedang berkumpul di rumah, dengan obrolan ringan yang biasanya lebih banyak bercanda.

Obrolan serius hanya ketika saya atau Ayah merasa perlu membahas perbuatan atau tingkah laku anak-anak yang salah atau kurang tepat. Kami jarang berbicara panjang lebar, paling lama setengah jam, Itupun hanya poin-poin penting, bagian yang kami tidak suka, alasan mengapa hal itu tidak benar, bagian yang harus diperbaiki anak dan konsekuensi di masa mendatang kalau mereka tetap melakukannya.

Mengapa saya dan Ayah anak-anak lebih suka hemat bicara?

Karena anak-anak harus dididik untuk berbicara dengan berkualitas. Lagipula kalau terlalu banyak yang dibicarakan, anak-anak akan bingung arah pembicaraan itu. Mereka hanya akan merasa dimarahi, bukan diarahkan.

Strategi saya mungkin terbilang sederhana, ya. Tapi untuk melakukannya tak semudah itu loh. Banyak teman-teman sesama Ibu yang heran melihat cara saya yang dianggap terlalu soft-kindhearted terhadap anak-anak saya. Dan sejujurnya, mengontrol emosi itu sangat sulit. Janganlah tanya bagaimana caranya saya mengendalikan emosi karena itu menjadi bagian yang ingin saya rahasiakan. Sebagai seorang keturunan Bugis, saya diwarisi darah 'panas' yang gampang meledak. Tapi, jika saya saja bisa, saya yakin para ibu lainnya tentu lebih mampu melakukannya.

Jangan pernah menyerah mengasuh anak. Kita bukanlah ibu sempurna, karena tak ada yang akan bisa menjadi sempurna. Tapi kita bisa menjadikan seorang anak tumbuh dengan baik, selama ia merasa bahagia memiliki ibu yang memahaminya dengan baik.


*****