18 Januari 2017

Hidup di Balik Ilusi

Hidup di Balik Ilusi


Sering kita melihat ada banyak orang yang sama pendapatannya, tapi hidupnya jauh berbeda. Kadang yang satu lebih sederhana daripada yang lain. Mereka yang melihat mungkin saja beranggapan bahwa gaya hidup mereka yang membuat perbedaan itu.

Sebenarnya pemikiranlah yang membuat perbedaan gaya hidup tersebut. Gaya hidup terbentuk karena pemikiran yang berbeda.

Sebagian besar orang berpikir bahwa hidup senang, kaya tujuh turunan, bisa dapat semua kegembiraan adalah kebahagiaan. Tapi sebenarnya, masih banyak pula yang berpikir bahwa hidup dengan apa adanya, secukupnya, sesuai dengan pendapatan adalah kebahagiaan yang nyata. Tidak di balik ilusi, di bawah bayang-bayang khayalan tentang makna hidup yang melenakan.

Anda tergolong yang mana?


Gaya Hidup


Ada faktor penentu seseorang memutuskan memilih gaya hidup sendiri. Lingkungan, orang-orang di sekitar, pola dan kebiasaan hidup sejak kecil, perubahan-perubahan seperti teknologi yang berkembang, pekerjaan yang berganti menjadi lebih baik atau lebih buruk atau mungkin tanggung jawab yang bertambah. Semua itu bisa mengubah pola pemikiran yang sederhana, menjadi jauh lebih luas. Cakupan impian yang tadinya seputar diri sendiri, mungkin saja berubah hingga anggapan orang-orang sekitar.

Sebagai contoh, sebut saja Ari, pekerjaan tukang ojek sambil kuliah. Masih lajang dan tinggal di rumah kost. Impiannya sederhana saja, ingin beli motor karena motor yang ada sudah tua dan membahagiakan orangtua di kampung. Kemudian Ari selesai kuliah, ia melamar pekerjaan dan diterima sebagai karyawan di perusahaan tambang minyak. Gajinya lumayan besar, walaupun masih dalam percobaan. Ia pun pindah ke tempat penambangan itu dan bekerja.

Selang beberapa waktu, uang bukan lagi beban Ari. Apapun yang ingin ia beli, ia mampu. Berapapun yang ingin ia kirimkan ke ibunya, ia bisa. Ia tak hanya mampu membeli motor, tapi juga mulai membeli mobil dan rumah. Hidupnya semakin lengkap ketika setahun setelah itu bertemu dengan jodohnya.

Jabatan Ari semakin menanjak, istrinya pun hamil anak kembar dan kini rumahnya terasa sempit. Ia mulai mencari rumah lebih besar, mobil lebih bagus dan gaya hidup yang semakin sulit terlepas dari gadget mahal. Ia terbiasa selama bertahun-tahun. Ketika anak-anaknya lahir, ia meneruskan gaya hidup itu pada mereka. Makan selagi bisa, beli selama kamu mampu, dan lakukan apapun yang dimau.

Tapi, Ari merasa belum puas. Terus bekerja, hingga lupa pada kesehatannya. Suatu hari, ia jatuh sakit dan kali ini dokter memvonisnya sebagai penyakit kanker. Uang tabungannya yang bergunung-gunung, seketika surut seperti ditelan air laut. Anak dan istrinya meradang, teman-temannya menghilang. Hingga akhirnya Ari meninggal dalam kemiskinan, kesendirian dan kesakitan serta penyesalan.

Contoh itu seperti dongeng kan? Tapi ada banyak cerita nyata di luar sana yang menggambarkan dengan jelas betapa berbahayanya sebuah pemikiran.

Tak bisa disangkal, lingkungan dan teknologi telah membentuk pemikiran seseorang. Televisi misalnya, penuh dengan iklan-iklan menggoda yang membuat semakin konsumtif. Belum lagi, perubahan pemikiran bahwa hidup dengan teknologi terbaru adalah sebuah kebutuhan wajib, bukan sekunder lagi. Kehidupan yang membawa pendapatan sebesar apapun takkan pernah cukup untuk memuaskan hawa nafsu manusia yang melebihi air laut.

Masih untung kalau bergaji besar seperti si Ari, contoh di atas, masih bisa merasakan nikmatnya hidup dalam ilusi meski tak selamanya. Tapi bagaimana kalau pendapatan tak sesuai dengan gaya hidup yang diinginkan? Inilah saat seseorang akhirnya hidup dengan meminjam uang atau membeli barang dengan cicilan. Anggapan bahwa membeli barang dengan cicilan adalah solusi untuk bisa hidup dengan gaya hidup mewah, sungguh menyedihkan.


Besar Pasak Daripada Tiang


Pendapatan, diperhitungkan berdasarkan kemampuan kerja dan kebutuhan seseorang. Ada banyak kebutuhan wajib untuk masa depan yang terselip di dalamnya selain kebutuhan saat ini, sebelum seseorang bebas menggunakan untuk kelebihan. Biaya kesehatan misalnya… meski ada berbagai jenis asuransi, tapi ada beberapa jenis perawatan dan pengobatan yang tidak di-cover oleh asuransi. Lalu ada dana pensiun yang harus disiapkan.

Perlu diketahui, usia pensiun ditentukan berdasarkan penelitian ilmiah umum mengenai masa aktif manusia bekerja. Jika menganggap diri kita kelak masih bisa beraktivitas meski sudah pensiun, tapi belum mengalaminya sendiri, ini jelas salah besar. Siapkanlah kemungkinan terburuk, bahwa saat pensiun, mungkin saja tubuh sudah terlalu lelah untuk terus bekerja.

Bukan hanya dana pensiun yang harus dipikirkan, tapi juga dana cadangan. Tak ada yang bisa meramal apa yang akan terjadi kemudian. Karenanya memiliki dana cadangan merupakan salah satu kewajiban masa depan yang harus tersedia.

Baru menyebutkan 3 hal ini saja, sudah banyak yang menganggap pendapatannya takkan cukup untuk semua itu bahkan untuk sekedar makan. Keluhan yang pasti sering didengar. Padahal itu belum termasuk perhitungan biaya pendukung keluarga seperti biaya pendidikan anak.

Itu semua karena hidup selalu dipenuhi khayalan. Kalau tak mampu membeli makanan yang mahal, belilah yang murah. Apalagi puasa itu menyehatkan. Sesekali ketika uang di kantong sudah menipis, tak ada salahnya sekalian saja puasa. Melatih diri menahan hawa nafsu, menekan khayalan dan memahami makna kelaparan sebagai bentuk mawas diri.


Mawas Diri


Tapi, kenyataan sering berbeda dari harapan. Masih banyak orang yang hidup di bawah bayang ilusi. Makanan dan minuman harus berkualitas, tak jarang keluar rumah dan nongkrong di restoran mahal menjadi suatu kewajiban, liburan miniman 2-3x setahun dan update kepemilikan gadget terbaru tiap beberapa bulan. Menurut mereka, semua itu bisa dicicil, tenang saja…

Tenang saja, tenang saja dan terus tenang-tenang saja meskipun pinjaman mulai menggunung. Total utang 5 juta, tapi dibayar hanya 500 ribu. Bulan depannya utang lagi 3 juta, dibayar hanya 800 ribu. Hingga perlahan-lahan utang menumpuk dan terus menumpuk. Usia semakin tua, tapi semua yang dimiliki ternyata ilusi kepemilikan hidup sempurna saja. Ponsel masih dicicil 10 bulan lagi, biaya perjalanan travel kemarin masih separuh yang sudah dilunasi bahkan pakaian di badan yang sudah tak pantas dipakai jalan-jalan keluar rumah masih belum lunas cicilannya.

Ilusi ini sangat menghancurkan. Tanpa sadar, seseorang bekerja setiap hari dengan keringat dan airmata ternyata tak membuatnya bisa memiliki sesuatu yang benar-benar miliknya. Ada utang yang terus membayang sehingga pendapatan belum diterima pun sudah bukan milik sendiri lagi.

Ilusi ini membahayakan. Tanpa sadar, seseorang akan mengembangkan rasa malu yang aneh. Bukannya malu terhadap utang yang begitu besar, tapi malu ketika gaya hidupnya tak bisa terlihat lebih baik dari orang lain. Bukannya memperbaiki diri, justru semakin memperbudak diri menjadi abdi ilusi kehidupan yang mengerikan itu.

Sampai kapan?

Pertanyaan sederhana ini, tanyakan pada diri sendiri. Apakah sebegitu sulitnya hidup sesuai dengan pendapatan? Ketika kita terlihat kaya dan mampu, apakah perlakuan orang lain berbeda? Kalau tahu pasti berbeda, kenapa harus peduli? Bagaimana kalau orang-orang tahu bahwa semua kehidupan itu ilusi, lalu meninggalkanmu saat benar-benar membutuhkan bantuan?

Kita memang makhluk sosial, tapi bukan berarti harus hidup sesuai dengan keinginan masyarakat secara sosial. Semua orang memahami bahwa setiap orang berbeda. Karenanya, setiap orang pasti punya kehidupan yang dianggap ideal.

Pikirkanlah gaya hidup yang memang benar-benar sesuai dengan apa yang kita perlukan, apa yang kita hasilkan dan apa yang ingin kita capai di masa mendatang. Hidup itu hanya sekali, jangan sampai menyia-nyiakan tanpa melewatinya dengan kebahagiaan yang nyata.

****

Tidak ada komentar: