“Boleh, Mak?” waktu Adek nanya itu, matanya sungguh memelas.
Seperti anak kucing yang minta dielus, maka tak tegalah mengucapkan kata tidak
pada putri kecil yang satu ini. Akhirnya jawaban saya hanyalah satu…
mengangguk.
Adek melompat-lompat kegirangan, tak bisa menyembunyikan
kesenangannya bisa punya ponsel sendiri. Walaupun ponsel bekas, yang hanya
punya fitur telepon, sms, dan radio itu. Ponsel itu memang bekas Abang, selama
dia di SD. Waktu Abang pakai memang mulai kelas 6 SD, tapi untuk Adek yang
punya kecerdasan luar biasa, rasanya sulit untuk mempertahankan pola asuh
seperti kedua kakaknya.
Mungkin tidak seperti anak-anak lain, tapi buat saya memberi
ponsel itu harus melihat kebutuhan anak dan kemampuan dia mengatur
pemakaiannya. Karena itu, walaupun sempat dikomplin oleh guru dan teman-teman,
saya tetap dengan pendirian untuk tidak memperkenalkan gadget sampai mereka
benar-benar siap. Saya kuatir, perkembangan mata dan otak mereka terganggu
karena keasyikan bermain dengan gadget. Saya pun dibilang kolot. Tapi setelah
melihat perbedaan dengan teman-teman Abang yang rata-rata mengenal gadget di
usia dini dan kini saat di SMP sudah pakai kacamata, saya bersyukur tidak
mengikuti arus tersebut.
Tapi berbeda dengan Adek. Seperti yang disebutkan dalam tes
psikologi yang ia lakukan berulang kali, Adek punya kelebihan yang tidak
dimiliki oleh kedua kakaknya. Jadi walaupun ia hanya berdiri di belakang orang
yang pakai ponsel, otaknya bisa dengan baik dan cepat menyimpan memori itu. Kata
Ayah dan Kakeknya, Adek memang sangat mirip dengan saya (Uhuk!)
Karenanya, melarangnya dan menunda hingga kelas 5 SD jelas
mission impossible. Semua orang di rumah sudah punya ponsel masing-masing, dan
kemampuan merayu Adek yang luar biasa bisa membuat kakak-kakak dan Ayahnya
merelakan ponsel mereka untuk dimainkan. Itu sebabnya, setelah berpikir
panjang, akhirnya ponsel warisan Abang itupun menjadi milik Adek.
Saya pikir, akan perlu waktu baginya untuk mempelajari
fitur-fitur ponsel itu walaupun cukup sederhana. Dia kan baru kelas 2 SD, dan
semua ponsel di rumah selain ponsel Abang berjenis Android, jadi dia pasti
kesulitan mempelajarinya. Setidaknya saya bisa meredam sejenak keingintahuannya
atas gadget seperti tablet atau Ipad yang harganya lebih mahal.
Tapi… tapi…
Baru 2 jam dia memakai ponsel itu, kupingnya sudah dipasang
headset kemana-mana. Ketika saya tanya, katanya lagi mendengarkan musik dari
radio. Apaaa? Sudah bisa? Dan sepanjang hari itu, mendadak kami punya penyanyi
dadakan yang bikin orang jantungan. Kita lagi pada nonton tipi, sunyi senyap
mengikuti drama atau film yang sedang main di televisi, tiba-tiba Adek
berteriak mengikuti lagu di headset. Duh, Dek…
Hari berikutnya, giliran kami yang dibuat sibuk oleh Adek.
Begitu pulang sekolah, Adek langsung sibuk dengan ponselnya. Untungnya setiap
pulang sekolah, saya juga pulang dari kantor dan meneruskan pekerjaan di rumah
jadi tidak ikut menjadi korban Adek. Tapi Ayahnya… harus berulang kali menjawab
sms-sms beruntun dari Adek yang menurutnya sama miripnya seperti orangnya.
Bawel banget. Adaaaa aja yang ditanyain, ada saja yang diobrolin.
Tidak hanya itu, Kakak dan Abangnya juga jadi korban. Memang
benar kedua sekolah kakaknya tidak melarang adanya ponsel, tapi biasanya mereka
tidak menghidupkan ponsel sampai usai sekolah untuk memesan ojek online atau
meminta saya menjemput mereka atau meminta izin untuk melaporkan tujuan mereka.
Karena Adek pulang lebih dulu, maka diapun sibuk meng-sms kakak-kakaknya.
Karena tak ada jawaban, ia mengulang sms itu dengan beragam pertanyaan yang
isinya sebenarnya sama saja.
Maka saat kedua kakaknya menyalakan ponsel mereka, bukan
main terkejutnya mereka menerima sms beruntun dari si Adek. Ga salah-salah!
Sampai 10-15 sms!!
Begitu sampai di depan pintu rumah, bukannya ber-Assalamualaikum, mereka langsung
ngejogrok bersimpuh sambil mengeluh, “Emaaaaak!!! Ponsel Adek ambil aja lagi!!!
Masak sms kayak teroris sih?!?!”
😂😂
😂😂
Dan saat Ayah pulang, hal pertama yang diadukan Ayah juga
sama… SMS Adek udah kayak di rumah aja katanya. Hahaha….😄😄 Saya jadi ketawa
sendiri melihat wajah mereka bertiga yang seperti kalah perang.
Sementara si pelaku senyam-senyum sendiri. Lalu malam itu,
saya memberinya nasihat kalau SMS hanya dilakukan kalau ada perlu saja, bukan
untuk mengobrol seperti di rumah. Mengobrolnya di rumah saja saat istirahat,
kalau diSMS semua nanti mulut Adek lupa cara mengobrol. Waktu saya ajak ngobrol
begitu, Adek hanya mengangguk-angguk.
Untunglah, Adek mau dengar. Besoknya dia tidak lagi mengirim
SMS ala teroris itu. Tapi… dia meneror saya…
“Mak, ada yang mau ditanyain ke Ayah gak? Adek bantuin
nanyain ke Ayah pake sms deh.”
“Mak, Abang kok belum pulang? Adek sms ya?”
“Mak, Kakak kan harusnya sudah di rumah. Adek SMS ya Kakak
lagi ada dimana?”
>__<
Duh, Adek… gimana kalau ponsel itu yang jenis Android?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar