Sudah lama sejak ia datang tadi sore, duduk di ruang tamu sendirian setelah sholat magrib. Tak ada yang aneh. Seperti biasanya, ia duduk di situ sambil menunggu waktu Isya' tiba. Hari ini juga sama. Aku membiarkannya, sama seperti biasa. Anak-anak mendekatinya, mengajaknya bicara dan melaporkan kegiatan mereka.
Dan ia menyahutinya dengan sabar, sesekali mengangguk, mengiyakan lalu memberikan pujian.
Tapi... wajah itu berbeda. Aku tahu ada yang salah. Tapi aku juga tahu, kami telah sepakat dalam satu hal. Ada hal yang bisa dibicarakan bersama atau di depan anak-anak, ada yang tidak. Kali ini, pasti tidak karena berulang kali matanya bertemu dengan mataku, sesaat sebelum berpaling dan memasang senyum tipis.
"Makan sekarang?" tanyaku.
Ia mengangguk, dan balik bertanya. "Anak-anak?"
Aku masuk ke ruangan anak-anak beraktivitas, dan mereka langsung menggeleng. Tayangan reality show komedi terlalu menarik untuk ditinggalkan. Jawaban kompak "Mama aja duluan!" menjawab pertanyaannya. Aku hanya bisa mengangkat bahu.
Ia diam seribu bahasa. Aku berusaha memancing tawa kecilnya atau setidaknya senyuman tipis. Muncul tapi sedikit sekali. Ia menjawab dan merespon semua yang kukatakan, tapi singkat sekali. Aku menghela napas. Kapan ia akan bilang apa yang ia pikirkan?
Akhirnya anak-anak keluar. Celoteh dan permintaan mereka membuatku sejenak lupa padanya. Kami mengobrol seperti biasa. Tak ada yang aneh. Kecuali aku yang menyadari dengan baik sesuatu sedang terjadi.
Waktu terasa lambat saat ini. Makanan di hadapanku seperti dipaksakan. Tangannya memang sibuk menyuapkan makanan, hanya saja terlalu lambat dan terlalu sedikit.
Aku tak lagi bisa menahan diri dan mengucapkannya. "Bapak?" Satu kata, satu pertanyaan, dan satu hal yang dijawabnya dengan satu kali anggukan. Ia menatapku, bibirnya tersenyum tapi matanya...
Aku menghembuskan napas. Bukan lega, tapi karena dada terasa sesak. Suara anak-anak langsung lenyap. Mereka makan lebih cepat. Meja makan kini senyap tanpa suara.
Dalam keheningan, makan malam pun selesai dan kami membersihkan bersama. Seakan memahami kebiasaan kami, anak-anak pun memilih masuk ke kamar tidurnya. Televisi yang masih menayangkan bagian akhir reality show komedi itu mereka matikan dan berpamitan pada kami berdua.
Kini, kami hanya berdua. Duduk berhadapan di meja yang baru selesai kubersihkan. Tak ada apa-apa. Tidak ada secangkir teh atau segelas minuman dingin yang biasa kusajikan di malam hari saat kami tinggal berdua. Kami hanya duduk berhadapan, dalam kebisuan.
"Pulang atau tidak?" tanyaku lirih. Ia menggeleng. Lirih berucap bahwa semuanya hanya bisa menunggu.
Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Pengetahuan di masa lalu membuatku sangat tahu situasi yang harus ia hadapi. Aku tak perlu bertanya karena setiap hari laporannya selalu berindikasi berita buruk. Malah seringkali aku mendengarnya begitu gembira menyampaikan sesuatu, tapi pengetahuan membuatku mengerti kalau yang terjadi justru sebaliknya. Aku ingin bilang yang sebenarnya, tapi aku tak tega. Belakangan ini, aku jarang melihat senyumnya. Keajaiban mungkin saja terjadi kalau semua orang berpikir positif. Itu pikiranku yang membuat aku tak pernah mengeluarkan pendapat kecuali ditanya.
Seumur pernikahan kami, baru ini aku melihatnya sedih begitu lama. Baru ini aku melihatnya seperti orang ketakutan. Baru ini aku melihat punggungnya seringkali bergetar saat sholat. Tapi ia tak pernah mengeluhkan apapun. Ia hanya tersenyum dan menggeleng tiap kali aku bertanya. Kata-kata yang keluar justru pertanyaan, nama obat, keluhan ini maksudnya apa, atau apa yang harus dilakukan.
Ia tak beranjak dari kamar itu setelah melihat sendiri kenyataan yang ada. Kepanikan memaksanya membuat keputusan besar. Tapi aku tahu, itulah caranya menghadapi ujian. Ia harus tahu penyebabnya, meski hal itu perlahan membuatnya menyesal. Aku hanya bisa menguatkannya, memberinya semangat untuk terus berusaha. Aku tahu, tak ada yang bisa mengubah takdir. Tapi aku tahu, usaha dan doa adalah kunci mengubah nasib. Bahkan ketika kesempatan itu hanya tambahan satu hari.
Aku tahu, ia takut dan sedih. Dua hal yang membuatnya mendadak sering marah dan tiba-tiba kesal. Berulangkali aku melihatnya tampak bingung, tapi ia hanya diam saja. Aku memaksa untuk menemani kemanapun ia pergi, karena aku takut, kebingungan akan membuatnya menutup mata pada kebodohan.
Airmatanya tak pernah menetes sekalipun. Tidak juga malam ini. Ia memilih diam dan aku berterimakasih padanya. Ketabahannya mengajari anak-anak kami. Kelak aku ingin seperti inilah anak-anak menerima ujian terberat dalam hidup mereka nanti. Hanya tangan kami saling menggenggam, saling menguatkan. Tak perlu ada kata-kata. Tak perlu ada airmata yang menetes. Hanya satu pengertian dalam tatapan yang saling bertemu. Kami bersama, dan akan menghadapi apapun yang akan terjadi pun bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar