“Ma, apa itu dijewer?”
Aku termangu mendengar pertanyaan aneh itu keluar dari bibir polos gadis kecilku. Si tujuh tahun yang bercita-cita jadi artis itu.
“Loh, emang Ara gak tahu apa itu dijewer?” tanya temanku yang juga sedang menjemput putrinya yang sekelas dengan Mutiara, putriku. Ara menggeleng.
Entah apa aku harus merasa senang atau malah sedih. Seumur hidup Ara, aku tak pernah sekalipun menyentuh telinganya dengan kasar. Jangankan menjewer, mencubit atau memukulnya, membentaknya saja aku tak tega. Aku tak pernah mau menggunakan kekerasan untuk mendisiplinkan putriku. Apalagi selama tujuh tahun mengasuh Ara, aku tak pernah kesulitan mencegah atau memintanya melakukan sesuatu.
Tentu saja, seperti anak-anak lain, Ara juga sering membantah atau sesekali ngambek. Aku juga bukan ibu sempurna yang sabar. Hampir tiap hari, selalu ada masalah di rumah. Penyebab paling sering tentu karena anak-anak, Ara beserta kakak-kakaknya. Hampir tiap hari pula, aku marah dan kesal karena mereka.
Tapi, marah dan kesalku hanya sebatas mulut. Aku berusaha tak menggunakan tangan untuk mengungkapkannya, dan aku terbiasa setelah melakukannya bertahun-tahun. Marah bagiku, adalah menjelaskan apa yang salah, dan alasannya. Kalau kekesalan itu memuncak dan kesalahan anak-anak sampai pada batasnya, aku juga menghukum anak-anak, termasuk Ara.
Saat Ara balita, aku meniru hukuman setrap yang kupelajari di kampus. Hukuman yang hanya meminta seorang anak untuk duduk diam selama beberapa menit sesuai usianya (3 menit untuk batita 3 tahun dst.) tadinya kuanggap sebagai sesuatu yang tak mungkin. Tapi kenyataannya, hukuman itu sangat efektif untuknya… bahkan kedua kakaknya.
Setiap kali bermain, kuselipkan pesan-pesan khusus yang diambil dari peristiwa yang belakangan terjadi di rumah kami. Semisal Ara sedang sulit makan, kudongengkan cerita tentang para tentara di dalam tubuhnya. Atau saat ia tak mau membereskan mainan, kuceritakan tentang kisah Toy Story yang terkenal itu bahkan menonton bersamanya. Dan Ara besar dalam pola pengasuhan seperti itu. Bahwa semua larangan dan permintaan kami padanya selalu memiliki alasan.
“Kenapa tadi Ara tanya soal dijewer di sekolah?” tanyaku saat kami sudah ada di rumah.
“Habis Ara heran, kok teman-teman Ara semuanya langsung diem kalo Mamanya bilang mau dijewer atau dicubit gitu,” jawabnya polos. Hatiku tercekat. Aku ingat betapa seringnya aku mendengarnya teman-temanku sesama Mama mengancam akan menjewer atau mencubit kalau anak-anak mereka menunjukkan kenakalan.
Aku mengelus kepalanya dengan lembut. Duh, Nak! Seandainya semua Mama itu tahu kalau semua anak-anak itu berharga sepertimu. Mungkin mereka takkan membuatmu bertanya seperti sekarang.
Tiba-tiba, kakak-kakak Ara masuk ke ruang keluarga. Mereka segera menjatuhkan diri ke sofa dan melirik adiknya.
“Dijewer itu artinya telinganya diputer, De… sampai putus!” kata Uza, anak lelakiku. Matanya berputar jenaka, memberi kode pada kakaknya.
“Trus kalau dicubit itu artinya dicabut kulitnya ampe berdarah! Mau coba De?” sambung Aya, anakku yang tertua. Lalu keduanya tertawa terbahak-bahak.
Ara, dengan kening berkerut, langsung menutup telinganya dan tampak ketakutan. Tawa kedua kakaknya makin menjadi melihat adiknya ketakutan.
“Husssh! Sembarangan kalian berdua ini!” kataku setengah tersenyum, lalu berbalik menatap putri terkecilku, “jangan takut, sayang! Itu kakak-kakakmu hanya becanda. Sini, duduk di sini!” Ara menyongsongku dan duduk di dekatku. Kakak-kakaknya masih tersenyum-senyum tapi mereka tahu kalau ini saatnya mereka diam.
Perlahan kujelaskan maksud semua kata-kata itu. Apa itu dicubit, dijewer dan bahkan dipites? Kutirukan gerakannya, tapi dengan perlahan agar ia tahu maksudku. Lalu kukatakan kalau hal itu tidak baik untuk dilakukan siapapun karena menyakitkan. Aku berjanji padanya, takkan pernah melakukan itu padanya dan kuminta ia berjanji untuk selalu mendengarkanku. Gadis kecilku mengangguk penuh semangat.
Hari itu aku belajar bahwa anak yang tak pernah mengalami kekerasan, tidak akan pernah melakukan kekerasan pada siapapun. Tapi itu akan terjadi sebaliknya jika ia mengalami kekerasan. Satu hal lagi yang kutemukan dari pengalaman Ara, ia tak tahu seberapa sakit dijewer atau dicubit, karenanya belum lagi kami melakukannya, ia sudah ketakutan duluan dan lebih suka menghindarinya. Sementara saat kubandingkan dengan teman-temannya yang terbiasa diperlakukan seperti itu, mereka tak lagi takut dengan ‘porsi’ cubitan atau jeweran yang standar, tapi harus sampai teriak kesakitan baru mau menurut.
Memang perlu waktu untuk melakukan sesuatu dengan benar, tapi tidak sulit ketika kita telah terbiasa menjalaninya. Semoga pengalaman ini membuat para orangtua membuka mata dan memahami alasan anak-anak yang terbiasa melakukan kekerasan pada orang-orang di sekitarnya. Jika engkau menjewer atau mencubit, anakmu akan menjewer atau mencubit.
Saya juga menyadur salah satu pesan dari seorang wanita yang saya hormati kalau menjadi orangtua yang menyakiti anaknya mungkin mudah, tapi menjadi kakek dan nenek dari cucu yang disakiti oleh anak sendiri sangat tidak mudah.
Jadi, stop kekerasan pada anak, sekecil apapun, sesepele apapun bentuknya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar