Miris rasanya melihat zaman di mana banyak anak, anggota keluarga bahkan sanak dan kerabat jauh menggunakan nama pejabat tertentu. Padahal ketemu langsung pun mungkin baru sekian tahun sekali, atau bahkan hanya tahu dari namanya saja. Tak sekedar ikut bernaung di bawah nama besar itu, terkadang mereka ikut menikmati fasilitas yang seharusnya digunakan pejabat itu untuk kepentingan melayani masyarakat. Permintaan dengan alasan keluarga si A, teman si B atau saudara si C sudah bukan pelayanan yang aneh di negeri ini. Dari zaman Indonesia baru merdeka, sampai sekarang.
Sangat wajar sekali ketika kita membanggakan menjadi keluarga dari seseorang yang ternyata seorang petinggi negeri. Bayangan kemudahan, fasilitas yang menyertai dan kepopuleran langsung muncul bersamaan dengan hal itu. Sesuatu yang sangat diinginkan siapapun untuk mencapai keinginan dan impiannya sendiri.
Kata almarhumah Nenek, seorang guru dan pengasuh terbaik saya, ada dua arah yang dituju seseorang saat ia terjun ke dunia “kopi hitam” (istilah alm. untuk politik) yaitu ke istana yang berakhir di penjara atau rumah biasa yang berakhir dengan sia-sia. Seorang politikus ibarat gula yang didekati para semut dan ketika manisnya berakhir, para semut akan meninggalkannya. Segudang cerita dikisahkan almarhumah di saat masa pensiun, terkadang dengan mata menerawang, terkadang dengan berkaca-kaca, membuat saya meyakini bahwa politik telah meninggalkan luka yang dalam padanya.
Ada sebuah pengalaman yang menarik ingin saya bagi. Dari seseorang yang menjadi bagian dari keluarga seorang pejabat yang cukup berpengaruh. Seseorang yang merasakan banyak nikmatnya sekaligus lebih banyak merasakan pahitnya.
Pengalaman pertamanya adalah kenikmatan menjadi keluarga inti seorang pejabat. Selalu dihormati, selalu dilayani dan selalu dilindungi apapun terjadi. Menarik baginya ketika melihat perubahan ekspresi atau tindakan seseorang saat ia menyebutkan nama besar itu. Ia juga bisa merasakan tatapan iri sekaligus takut saat ia bersama seseorang bernama besar itu. Untuknya saat itu, masa kanak-kanak adalah masa terbaik yang membuatnya sangat menikmati saat-saat itu.
Tapi akhirnya ia merasakan sesuatu yang berbeda. Ketika mulai remaja, ia tak bebas. Nama besar keluarga membuatnya terpenjara dalam kungkungan peraturan dan tanggung jawab. Ia tak boleh bersikap ini dan itu, hanya karena ingin menjaga kehormatan atas nama besar itu. Ketika remaja lain bebas berekspresi dan menjadi dirinya sendiri, ia harus menjadi bayangan dari sebuah nama.
Saat memasuki usia dewasa, nama besar itu tak juga lepas darinya. Seluruh prestasinya, dinilai sebagai hal biasa karena memang begitulah seharusnya. Saat ia bekerja susah payah dan melakukan segala hal dengan baik, dinilai sebagai keharusan yang ia bayar untuk sebuah nama besar. Ia tak bisa membedakan ketulusan penghargaan atau pujian yang ia dapatkan. Bisa saja mereka yang memberikannya karena terpaksa, karena ia berada di balik nama besar.
Beban hatinya bertambah, ketika orang mulai membandingkan, mengharapkan dan bahkan memintanya menjadi bayangan sempurna untuk nama besar pejabat itu, mengikuti langkah menuju dunia yang sama. Padahal itu bukan dunia yang ia sukai, atau impian dan cita-citanya. Ia adalah ia.
Makin ia dewasa, ia makin menyadari. Saat ia melakukan yang benar, itu adalah kewajibannya, tapi kesalahan apapun yang ia lakukan, sengaja atau tidak, besar atau kecil, adalah sebuah dosa dan aib yang harus dibayar mahal dengan kemurkaan dan hujatan orang lain. Saat ‘dosa’ terjadi, ia melihat langsung bagaimana beban itu memberi efek luar biasa pada pemilik nama besar itu. Satu kesalahan biasa, yang mungkin jika dilakukan orang lain dianggap biasa, menjadi luar biasa ketika ia yang melakukannya. Ia, seseorang di balik nama besar.
Ia memberontak, dengan melepaskan nama besar itu. Keluar dari pekerjaan yang ia dapatkan berkat nama besar itu dan keluar dari lingkungan yang selalu melindunginya karena nama besar itu. Dia kini hanya seseorang biasa, tanpa menjadi bagian dari pangkat atau jabatan, posisi atau kedudukan, selain pekerjaan yang ia pilih sendiri. Ia kaget, takut tapi sekaligus bersemangat. Meski berjuang dari bawah, sendirian. Ia memahami sesuatu. Anehnya, itulah makna kebebasan sesungguhnya yang ia pahami.
Ia tak lagi terkungkung oleh bayangan seseorang atau nama besar yang ikut disematkan pada namanya. Dia hanya dia, seseorang yang bebas mengekspresikan dirinya, bukan orang lain. Dia tak lagi merasa terbebani, karena tak berhutang budi atau tak bertanggung jawab pada apapun. Ia hanya perlu memikirkan resiko dan tanggung jawab menjadi dirinya sendiri.
Dia bahagia, menjadi dirinya sendiri dan berada dalam dunia yang ia pilih sendiri. Tapi sekaligus sedih. Karena kini ia melihat apa yang dikatakan seperti almarhumah Nenek saya. Orang-orang yang mempergunakan nama besar itu, seperti para semut yang menghilang. Seperti gula yang tak bersisa, ditinggalkan begitu saja. Meninggalkan kenangan-kenangan menyakitkan.
Sampai detik ini, masih banyak anak dari mantan-mantan pejabat yang menjual diri. Bahkan mengaku-aku keluarga entah dari ujung mana. Justru menggelikan kalau melihatnya. Ini bukan zamannya lagi menyombongkan orang lain. Ini zaman lo-lo gue-gue. Zaman ini zaman di mana Anda akan ditertawakan dan dianggap memalukan justru saat memamerkan atau menyombongkan seseorang untuk menakut-nakuti. Apalagi saat melakukan kesalahan.
Tak ada yang salah punya keluarga pejabat, bagus malah. Dengan begitu kita bisa memagari diri dengan tujuan menjaga nama besar itu. Tapi pagar diri itu adalah tanggung jawab menjadi panutan yang sesungguhnya untuk masyarakat. Kita mungkin hanyalah orang-orang yang berada di balik nama besar. Orang-orang yang tidak hanya mampu meningkatkan pamor dari nama itu, tapi juga dalam sekejap menghancurkannya hingga berkeping-keping. Begitupun sebaliknya. Bisa saja hari ini nama besar itu begitu dikagumi dan dihormati, besok mungkin saja dihujat dan dimaki. Dan sebagai bayangan di balik nama besarnya, mungkin saja kita mengalaminya.
Biasakanlah mengenalkan diri sebagai diri sendiri. Biarkan orang lain menilai kita sebagai diri sendiri tanpa embel-embel nama siapapun. Karena kita adalah kita. Kekurangan atau kelebihan benar-benar murni dinilai oleh orang lain. Kalaupun orang lain tahu, cukuplah nama besar itu hanya tambahan kecil di balik pamor nama kita sendiri. Biarkan orang lain menilai bahwa kita lebih sempurna sebagai diri sendiri, bukan sebagai bayang-bayang seseorang.
****
Quote of the day:
"Ketika seseorang tak bisa menjadi diri sendiri dalam hidupnya, lalu apa tujuan hidup yang ia capai?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar