Aku mengeluh dalam hati saat mobil berbelok dan terhenti. Macet. Cukup panjang pula. Aku menghela napas lagi, tidak tahu harus melakukan apa kalau sudah seperti ini. Tak mungkin berbelok atau memutar mengambil jalan lain. Jalan ini terlalu sempit dan dari arah berlawanan pun sama macetnya. Mau tak mau mobilku hanya bisa berjalan mengikuti antrian kemacetan itu.
Suara teman-teman Kakak, panggilan sayang untuk putriku, yang sedang berbincang membuatku tersenyum. Mataku melirik mereka. Untunglah aku tak sendirian. Mendengarkan mereka berbincang, bercanda bahkan tertawa-tawa seperti itu membuatku ikut terhibur.
Tapi mendadak Kakak terdiam sesaat setelah ia tergelak karena candaan temannya. Ia memandang keluar jendela mobil seperti orang kaget. Dengan perasaan tak enak aku kembali melihat ke belakang.
“Kenapa Kak? Sakit perut?” tanyaku kuatir. Mobil masih berhenti jadi aku tak perlu terburu-buru.
Kakak menggeleng tanpa melihatku dan hanya menyunggingkan senyum. Tawar dan tampak sekali kalau ia terpaksa.
Teman-teman Kakak juga terdiam lalu menatapnya. “Kenapa, Cin? Kamu marah ya? Kan lagi ultah? Harus hepi doong…“ anak-anak itu mulai menggelitiki putriku, kini ia tak lagi bisa menahan tawanya. Hatiku sedikit tenang melihat tawanya lagi.
Hari ini putriku berulang tahun. Sebenarnya tak ada pesta yang kami rencanakan. Tapi saat pulang sekolah tadi, anakku menelpon dan memberitahu kalau ia didesak untuk menraktir teman-temannya. Kakak tak keberatan untuk menolak permintaan itu, tapi ia ingin tahu pendapatku dulu. Aku mengiyakannya dan meminta mereka menunggu di sekolah. Aku akan mengantarkan mereka ke restoran pizza di sebuah mal yang tak jauh dari tempat tinggal teman-temannya agar mereka bisa pulang setelahnya. Tak lupa kuingatkan agar mereka meminta izin dulu pada orangtuanya.
Sebagai ibunya, aku tahu ada sesuatu yang dirasakan putriku. Selama makan siang bersama, aku melihat matanya yang terkadang tampak sedih. Dia memang ikut tertawa, ikut bercanda bahkan saling menggoda dengan teman-temannya. Hanya sekilas memang, tapi perasaan keibuanku membaca ada yang tidak beres.
Usai acara, teman-teman Kakak berpamitan dengan menyalamiku dan menolak diantar pulang. Sudah dekat rumah, itu alasannya. Mereka pun pergi dengan senyum lebar, meninggalkan putriku yang langsung berjalan menuju tempat parkir. Ia diam saja. Berbeda sekali dengan kebiasaannya yang banyak bicara apalagi kalau aku menuruti keinginannya seperti sekarang.
Saat mobil mulai berjalan kembali ke rumah, aku membiarkan putriku tetap diam. Apalagi jalan di depan mal ini cukup ramai, membuat siapapun pasti terpaksa berkonsentrasi penuh untuk menyetir. Kami hampir tiba di jalan tadi, yang ternyata masih macet. Mumpung belum telanjur lewat jalan itu, aku tak berniat berbelok.
“Loh mau lewat mana, Mak?” tanya putriku saat melihat mobil tetap berjalan lurus.
“Lewat perumahan saja, lewat sini macet banget,” jawabku bersiap menginjak gas.
“Jangan!!! Aku mau lewat situ, lewat situ, Mak. Cepat!” Meski tak memahami maksudnya, tapi lagi-lagi kuturuti permintaannya, cepat-cepat aku memberi kode lampu sein kiri pada mobil di belakangku. Klakson bersahutan terdengar di belakang kami.
“Tuh kan, Kak! Emosi deh orang di belakang itu jadinya,” keluhku, sambil menurunkan kaca dan melambai meminta maaf pada para supir mobil-mobil di belakang kami.
Kakak diam saja, ia seperti berada di alam lain. Entah apa yang sedang terjadi, tapi hari ini dia sudah empat belas tahun. Dari kecil, ia selalu berpikiran lebih dewasa dibandingkan anak seusianya. Sebagai ibunya, banyak yang memujiku karena sikapnya itu. Padahal justru Kakak-lah yang sering mengajariku untuk bersikap selayaknya seorang ibu. Karena itulah, aku jarang melarangnya melakukan sesuatu. Ia pasti sudah memikirkannya masak-masak.
Seperti saat lewat sebelumnya, kami kembali terjebak macet. Tapi Kakak tak lagi tercenung seperti sebelumnya. Ia yang kini duduk di sampingku, sibuk celingak-celinguk mencari sesuatu. Aku berusaha mengikuti arah tatapannya, tapi tetap tak mengerti.
Mobil kami terus berjalan, seperti kura-kura. Lambat sekali. Macet semakin parah dari hari ke hari. Jam pulang sekolah, saat pulang kerja perlu perjuangan yang amat sangat untuk menyabarkan hati. Aku jarang membawa mobil. Boros dan tak suka terjebak macet. Kalau bukan karena ingin mengajak teman-teman Kakak, aku pasti lebih memilih memakai motor mungilku.
“Mak masih ada uang cash gak?” Suara putriku yang tiba-tiba membuatku tercengang. Secara otomatis aku mengangguk.
“Minta seratus, Mak!” pinta Kakak sambil menengadahkan tangannya. Wajahnya tampak tegang.
“Hah?” Seumur hidupku, baru kali ini putriku meminta uang sebesar itu. Ia memang sering kutitipkan uang untuk membayar sesuatu, ia juga sering mengambilkan uang belanja melalui atm bahkan sering membantuku membayarkan belanjaan saat kami di mal. Tapi semua itu untuk kepentingan keluarga. Untuk keperluan pribadinya, ia tak pernah meminta lebih dari angka dua puluh ribu rupiah. Tentu saja aku kaget luar biasa.
“Ayo, Mak! Nanti dia keburu pergi,” desak Kakak kuatir sambil menunjuk dua remaja laki-laki di luar mobil kami. Itu pengamen!
Bibirku terkunci, benar-benar tak bisa berkata apa-apa. Aku tahu di balik sifat super cueknya, putriku sangat peka terhadap segala sesuatu di sekitarnya. Tapi… memberi uang seratus ribu pada dua remaja pengamen itu!?
Tanpa menungguku lagi, Kakak membuka kaca mobil dan salah satu remaja itu mendekatinya. Aku tak sempat mencegahnya. Kakak, tak tahukah kau betapa bahayanya membuka jendela mobil sampai habis seperti itu?!?
“Apa kabar?” sapa Kakak dengan ramah.
Pengamen itu tampak terkejut, diam sejenak mengamati wajah putriku lalu tersenyum lebar, “Cindy ya?” tebaknya.
Aku semakin terkejut. Bagaimana mungkin anakku mengenal pengamen? Dia itu tak seperti adik bungsunya, dia bukanlah anak yang mudah bergaul atau menyapa orang sembarangan. Kakak selalu menjaga jarak, sampai ia benar-benar mengenal orang. Tapi ini…
“Lo di mana sekarang?” tanya pengamen remaja itu lagi. Ia melirikku dan tersenyum penuh hormat. Tapi aku hanya membalas seadanya. Dengan sengaja, aku memajukan mobil sedikit. Pengamen itu tetap berjalan mengikuti mobil kami.
“Gue di 7*, lo di mana?” Eh, Kakak kenapa kamu kasih tahu sekolahmu sama orang, Nak!! Duh, sepertinya aku harus memberikan pelatihan khusus untuk perlindungan diri pada anakku yang satu ini.
“Di sini, dekat sini. Gue di 2**. Nih gue baru pulang juga. Kerja dulu.”
Aku mulai memahami sesuatu. Apa mungkin pengamen itu teman sekolahnya? Tapi mereka berbeda sekolah. Aku melirik putriku.
“Emak lo sehat kan, Don?” Pertanyaan itu dijawab anggukan ringan oleh si Don. Putriku menoleh padaku, tangannya masih menengadah. Kali ini aku tak lagi banyak bertanya. Kuambil uang seratus ribu yang memang kuletakkan di dasbor. Tadinya untuk mengisi bahan bakar mobil itu. Tapi sudahlah…
“Don, maaf ya. Gue hanya mo nitip buat Mak lo nih!” kata Kakak. Ia menyodorkan tangannya yang menggenggam uang pemberianku tadi.
“Apaan?” Pengamen yang dipanggilnya ‘Don’ itu mendekat lalu Kakak meletakkan uang seratus ribu itu ke tangannya. Don tampak kaget. “Cin, apa-apaan nih!”
“Buat Mak lo yee… salam sayang buat Emak lo!” kata Kakak sambil menutup kaca mobil terburu-buru. Ia memberi kode untukku segera memajukan mobil. Jarak mobil kami dengan mobil di depan sudah cukup jauh, sehingga membuat Don si Pengamen berhenti mengejar.
Mobil kami berhenti lagi, tapi dari kaca spion samping aku masih bisa melihat Don. Ia tampak tercenung memandangi uang pemberian putriku, lalu berjalan sedikit ke dekat pohon di tepi jalan dan duduk di bangku kayu yang dibuat asal-asalan. Ia melihat mobil kami dari kejauhan. Entah apa yang ia pikirkan.
“Itu Doni teman SD Kakak, Mak.” Suara Kakak memecah kesunyian dalam mobil. Rupanya ia juga sedang memperhatikan Doni dari kaca spion. “Yang Ayahnya meninggal waktu Kakak kelas lima itu loh… Mak gak inget?”
Ingatanku kembali pada kenangan lima tahun lalu. Tentu saja aku ingat. Pada Doni kecil, anak laki-laki yang ramah dan pintar. Ia bukan hanya teman sekolah Kakak, tapi juga teman mengajinya. Setiap hari, entah saat pulang sekolah atau pulang mengaji, Doni selalu mengantar Kakak pulang ke rumah sambil menuntun sepedanya. Lalu setelah mengantar Kakak, barulah ia pulang mengayuh sepeda. Karena anak itu, aku merasa tenang. Sayangnya, setelah Ayahnya tiada, keluarganya pindah rumah dan Doni pindah sekolah. Kini aku mengerti mengapa wajah Kakak mendung seperti itu, ia merasa bersalah. Dan aku kini tahu mengapa tadi Doni memandangi mobil kami yang menjauh dengan wajah murung, perasaannya pasti tidak enak dan mungkin juga… malu. Pertemuan dua sahabat baik, dalam keadaan yang terbalik seperti itu pastilah tidak menyenangkan. Aku jadi ikut merasa bersalah. Harusnya tadi aku bersikap lebih ramah pada anak itu.
“Kakak salah hari ini, Mak.”
Aku menoleh cepat. Salah apa? Kau justru telah melakukan hal yang baik, Nak.
“Harusnya Kakak tak boleh berpesta-pesta ulang tahun lagi. Banyak orang susah, teman sendiri lagi, Kakak malah senang-senang begitu,” keluhnya pelan.
Aku mengerti mengapa Kakak seperti itu. Sambil membelokkan kemudi, aku berucap pelan. “Pesta, itu berdosa kalau niat kita memang berpesta untuk pamer dan sekedar bersenang-senang. Tapi kalau niatmu berbagi kebahagiaan, berbagi rezeki, apalagi bisa memberi pada orang lain, itu adalah sesuatu yang baik untuk dilakukan. Tadi pun niat Mak hanya ingin mengajarimu arti berbagi di hari lahirmu, Nak. Kan setahun sekali. Hanya makanan juga. Biarlah… harus ikhlas.“
Kakak menunduk, menyeka sesuatu di wajahnya. Ah, dia pasti menangis. Yah, siapa yang tak terkejut dan sedih melihat nasib teman baiknya menjadi seperti itu. Aku bisa membayangkan perasaan Kakak yang pasti campur aduk saat itu. Dulu dia bermain dengan Doni, terkadang meminjam sepedanya karena aku belum mampu membelikan untuknya saat itu. Dulu Doni yang lebih sering meminjamkan mainan-mainannya. Dulu Doni juga sering berbagi potongan pizza dengan Kakak. Sekarang Kakak pasti sedih sekali, hidup temannya telah berbalik dengan drastis.
“Kakak yang ulang tahun, tapi kok ya Mak yang ngerasa dapet hadiahnya ya?” kataku sambil tersenyum-senyum. Aku hanya ingin mengubah topik. Masalah Doni sekarang menjadi masalah kami bersama. Nanti di rumah tinggal melaporkannya pada Ayah, yang selalu tahu harus berbuat apa. Aku tak ingin Kakak terbebani oleh rasa bersalahnya.
Putriku menatapku bingung, “Kenapa begitu Emak?”
“Hehehe… Emak ngerasa dapat kado besar hari ini. Kado karena udah ngelahirin anak empat belas tahun yang lalu dan ternyata Allah ngasihnya anak yang baik kayak Kakak. Anak baik yang hatinya peka. Benar-benar kado yang indah,” pujiku sambil melempar isyarat cium jauh padanya.
Otomatis Kakak membalasnya dengan senyuman mencibir seperti orang mau muntah. Ia selalu begitu. Bukan karena tak suka, tapi karena merasa Emaknya terlalu lebay. Ah tak apa, demi menghapus mendung di wajah polosnya itu. Buktinya sekarang wajah itu mulai cerah kembali, meski aku tahu hatinya masih sedih.
Sayang, hari ini kau boleh kecewa karena merasa tidak bisa melakukan apapun untuk menolong sahabatmu, tapi pelajaran hari ini pasti memacumu untuk selalu bisa membantu orang lain nanti.
Saat itu tanpa sengaja mataku menyapu dasbor mobil, aku teringat sesuatu. “Gawat, Kak! Berdoalah supaya kita bisa sampe rumah.”
Kakak menoleh kaget, “loh memangnya kenapa lagi, Mak? Kan udah gak macet.”
“Bensinnya habis, Emak lupa ngisi!” kataku panik.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar