21 Januari 2016

Anak-Anak Kalong

"Gagahnya bapakmu, In!"


"Kereen! Bapakmu nangkep maling ya? Hebat!"


Pujian seperti itu sering terdengar di telinga saya. Sedari kecil. Pujian yang membuat saya merasa bangga. Pada seragamnya, pada titelnya, pada dirinya. Gagah, berani, dan sudah pasti disiplin. Di Asrama, pemandangan pria berseragam adalah hal biasa bagi anak-anak kalong, sebutan untuk anak-anak polisi seperti kami.


Kami terbiasa dengan lingkungan komando. Artinya patuh pada perintah. Tapi bukan berarti kami jadi takut. Anak-anak kalong justru pemberani, atau bisa dibilang sedikit bandel. Kami bermain di samping tembok penjara, berlari-lari di antara selasar mako ketika jam kantor usai, menyeberangi sungai pembatas asrama bahkan melintasi jalan raya dan menyetop mobil untuk sekedar menumpang ke sekolah.


Kata teman-teman saat saya dewasa, teman-teman yang bukan anak kalong merasa kalau kami itu dari kecil sudah dibiasakan untuk 'korupsi' karena kalau naik bis atau angkot tak mau bayar. Saya tertawa geli. Itu bukan karena kami tak mau membayar, tapi si supir bis atau angkotlah yang tak mau dibayar. Saat kami turun hendak membayar, mereka langsung kabur. Seringkali sebelum naik, kami sudah meminta agar dibiarkan membayar. Tapi tetap saja hal itu terjadi. Padahal sampai di rumah, kami juga dimarahi orangtua. 


Banyak yang tak tahu, punya Bapak seorang polisi itu tak berarti memudahkan segalanya. Tidak! Itu sangat sulit. Kami malah selalu diwanti-wanti. Do not make any mistake! Even as small as the sand. Kalau tetap terjadi, hukumannya menyerupai hukuman tahanan. Karena saat itu kami tak tahu kalau nama baik dan masa depan seorang polisi tak hanya bergantung pada dirinya, tapi juga putra-putrinya.


Biar bagaimanapun, kami anak-anak biasa, yang ingin membanggakan orangtua pada teman-temannya yang mungkin punya Bapak pengusaha, pilot, dokter, insinyur bahkan menteri. Sesekali kami pamer, tapi bukankah anak-anak lain juga begitu?


Bapak, seperti bapak-bapak lain, mencoba untuk menjadi contoh bagi kami. Dia mencoba untuk tetap bisa meluangkan waktu untuk putra-putrinya. Walaupun terikat dengan waktu kerja yang tak kenal jam tetap saat diminta untuk selalu siap. 


Kalau ia datang ke sekolah dengan berseragam, bukanlah untuk membuat para guru atau kepala sekolah ketakutan. Ia mungkin hanya ingin bertemu putrinya setelah berhari-hari dinas di luar kota.  Tahukah betapa ribetnya membuka sepatunya yang selalu terlihat licin, rapi dan mengkilat itu? Itu sebabnya mereka lebih suka menunggu di depan pintu dibandingkan masuk dan mengotori rumah orang, atau duduk membuka sepatu yang akan membuat penjahat buruan lebih cepat melarikan diri.

Anak-anak kalong seperti kamilah yang sering menahan iri. Saat hari raya tiba, kami terpaksa membiarkan bapak-bapak kami bertugas menjaga. Tugas mereka tak mengenal agama. Semua sama, semua harus dilindungi. Sesuatu yang membuat orang lain merasa aman di hari penting mereka, tapi tangisan tertahan di hati keluarga para polisi itu. Kalau beruntung, kita masih bisa sholat ied bersama atau setidaknya sorenya masih bisa berlebaran bersama. Jika tidak, tak jarang kami hanya terdiam iri melihat Bapak-bapak kami bertugas di tempat-tempat rekreasi untuk umum sementara keluarganya duduk diam menungggu di rumah.

Sejak kecil pula kami disiapkan, suatu hari, suatu saat, suatu kali... mungkin saja bapak kami gugur dalam tugas. Bahkan pamit dengan kata-kata sangat sedikit pun sudah menjadi hal biasa. Tapi tetap saja, kami tahu... ibu-ibu kami menangis di dalam kamar mereka setelah melepas suaminya bertugas. 


Saat Bapak sedang nge-pam, atau menjalani misi khusus... itu bukan berarti kami bebas melakukan apa yang kami mau. Itu adalah saat di mana seluruh langkah kami dijalankan dengan lebih hati-hati. Kami diwajibkan menanggung tanggung jawab lebih, membantu dan menenangkan ibu. memastikannya agar satu-satunya yang ia pikirkan hanyalah bapak kami. 


Kami tak bisa memilih. Ketika Bapak dimutasi, kami hanya bisa patuh dan ikut. Entah berapa kali saya harus menahan kesedihan karena meninggalkan sahabat-sahabat saya. Perlahan itu pula, semakin sering pindah, hati saya mulai dibekukan oleh perpisahan. Saya tak suka bersahabat dengan satu atau orang atau terlalu terikat pada suatu tempat. Bahkan akhirnya lupa caranya, karena terbiasa untuk tak memilih teman. Selama ada waktu, selama masih sempat, selagi Bapak belum pindah tugas, siapa saja, di mana saja, saya harus segera beradaptasi menemukan teman dan menikmati tempat tersebut.


Satu dua kali pindah, emosimu mungkin masih terbaca. Tapi setelah lebih dari lima kali, maka kau akan belajar untuk tak mencintai sesuatu terlalu dalam. Saya belajar melupakan segalanya, dua kali lebih cepat dari orang lain. Agar tidak sedih, agar tidak memberatkan orangtua.


Kami juga saksi dari berbagai peristiwa besar yang terjadi saat kami masih kecil. Saya menyaksikan bagaimana bapak dan rekan-rekannya berkisah tentang apa yang dirasakan saat berada dalam hutan lebat mencari pesawat hilang. Seribu satu kemungkinan terjadi juga pada mereka, tapi yang mereka pikirkan bagaimana perasaan keluarga korban pesawat yang kebingungan. Saat saya mendesaknya untuk pulang dan digantikan rekannya yang lain, Bapak bilang, "Andaikan yang hilang itu bapakmu ini, maukah kau meminta orang yang mencarinya pulang dulu?"


Ketika pulang, bapak bercerita lebih banyak. Tentang pengalamannya berada dalam kegelapan total karena tak ada lampu atau senter yang bertenaga, ransum sehari dipakai untuk tiga hari, pakaian yang tak berganti sampai haus meminum embun. Kami tak menangis mendengarnya, karena bapak bercerita dengan gembira. Setidaknya kesulitannya berbayar, nasib pesawat hilang yang jatuh itu sudah bisa dipastikan dan keluarga korban lepas dari kegundahannya.


Di era 1990 akhir, ketika kami mulai dewasa dan mencari peruntungan sendiri. Bapak mengira ada di antara kami tertarik menjadi polisi sepertinya. Tapi kami semua memilih jalan berbeda. Bukan karena kami takut mengalami hal-hal seperti bapak, tapi kami tak ingin keluarga kami nanti akan mengalami perasaan yang sama. Saya memilih menjauh dari lingkungan kerja bapak bahkan sebelum bapak menyadari kalau saya tak suka pada profesinya.


Saya ingin memiliki suami yang hadir di saat-saat penting keluarga. Saat melahirkan, saat merayakan hari jadi, saat putra-putrinya dianugerahi penghargaan, saat keluarga berprestasi, saat mereka sedih dan memerlukannya, saat mereka gembira dan ingin berbagi kebahagiaan, dan tentu saja... saat hari raya tiba. Sebagai anak kalong, saya menyaksikan bagaimana ibu-ibu tegar dan kuat di lingkungan asrama menjalani semua itu sendirian. Tinggal di tempat di mana pria-pria berseragam itu melihat saya sebagai seorang perempuan dan bukan anak kalong lagi, akan membuka kesempatan saya menjalani hidup seperti ibu-ibu tersebut.


Saya anak kalong, dan saya memilih melepaskan titel itu. Saya tak mau putra-putri saya menjadi anak-anak kalong. Awalnya untuk memberikan kestabilan untuk anak saya nanti, sampai kemudian saya memahami betapa berbedanya hidup seorang anak kalong dibandingkan anak biasa.


Saya beruntung pernah mengenal, mengetahui, merasakan dan mengalami apa saja di balik panggilan itu. Segudang tanggung jawab, sepenggal kegembiraan, setumpuk kesedihan sebanding dengan berbagai pengalaman yang didapatkan. Pengalaman berkeliling daerah dan kota mengikuti tugas bapak, bertemu bermacam ragam orang dengan budayanya dan banyak hal yang hanya dipahami sesama anak kalong lainnya. 


Terlepas dari apapun yang terjadi, saya dan kami yang pernah menjadi dari bagian keluarga besar kepolisian akan berdoa dan berharap yang terbaik untuk mereka yang sekarang sedang bertugas. Tetaplah tegar dan selalu menjadi kebanggaan negeri ini. 


 


*****

Tidak ada komentar: