18 Agustus 2015

Antara Indonesia Dan Korea

Semalam Ayah dan Emak berdebat (lagi). Sebenarnya semua karena televisi. Ayah ingin menonton berita televisi Indonesia, sedangkan di saat yang sama anak2 sedang menonton liputan tentang berbagai festival di Korea selama musim panas.
Karena kalah suara, Ayah sibuk mencari ‘follower’
“Mbok ya sekali-sekali ganti channel dong, peduli sedikit sama petani tomat.”
Tak ada sahutan
“Jangan nonton televisi luar terus, nonton drama korea,  nonton liputan festival di sana… Indonesia juga tidak kalah loh.”
Tetap tak seorangpun bergeming. Anak-anak malah berceloteh riang saat melihat ribuan orang berenang dalam lumpur dalam festival lumpur. Wajah mereka jelas sekali menunjukkan keinginan untuk mencoba bermain seperti itu. It looks sooo enjoyable.

Merasa tidak diacuhkan, Ayah pun bangkit dan mengambil remote lalu memindahkan channel. Kontan dengung kecewa terlontar dari bibir anak-anak.
Ade yang tidak terima pun berlari ke dapur mengadu pada Emak.
Emak datang… semua anak-anak merengut kesal sementara Ayah malah duduk tenang menonton berita.
“Ayah! Kok dipindah sih? Anak-anak kan lagi nonton.”
“Aaah… nonton luar melulu kapan nge-Indonesianya. Ayah mau lihat berita petani tomat nih!”
Emak jadi kesal.
“Untuk apa nonton berita kalau ujung2nya cuma jadi emosi sendiri? Apa ketemu solusinya? Apa dengan nonton, merasa kasihan sekaligus marah bisa menyelesaikan masalah petani tomat?”
Anak-anak diam apalagi Ayah.
“Coba kalau para petani itu disuguhi tontonan mendidik dan bukan cuma berita-berita bikin emosi begitu, pasti gak begini jadinya.”
“Yah daripada nonton korea mulu. Kan lebih ga nolong.”
“Justru Ayah salah. Ayah pernah nonton modern farmer gak? Itu drama konyolnya setengah mati. Tapi tetap ada unsur mendidiknya. Andaikan petani tomat nonton mereka mungkin bisa keluar dari masalah mereka.”
“Lah apa hubungannya?”
“Di drama itu ada cerita mirip petani tomat. Bedanya mereka nanam kubis, pas panen harganya jatuh. Bukannya berputus asa membuang hasil panen, mereka mengolahnya jadi kimchi! Itu namanya mendidik penonton.”
“Iya sih Emak ada benernya. Tapi yang ditonton anak-anak itu tadi kan festival apaan? Entar kalo mereka jadi pengen ke sana gimana? Padahal kan di sana gak ada apa-apanya.”
“Bagus itu! Biarkan mereka belajar. Bayangin Yah… orang Korea bisa bikin lumpur jadi aset wisata, lah Indonesia punya banyak lumpur melimpah…. malahan jadinya ribuuuut melulu ga jelas. Tomat melimpah pun mereka jadikan festival tomat. Lah kita??”
Ayah tersenyum mengangguk-angguk.
“Kan jadi mubazir, Mak!”
“Loh mubaziran yang mana? Yang buang ke jalan raya atau yang menggunakannya mandi tomat untuk menarik wisatawan?”
“Indonesia dan Korea itu sama-sama 70 tahun loh Yah. Kalo kaya-kayaan tentu masih jauh kaya objek wisata, kaya hasil bumi bahkan kaya sumber daya manusia di Indonesia. Tapi segalanya masih kalah dengan Korea. Karena apa? Ya karena kita ga mau belajar, belajar dan studi banding melalui tayangan. Yang kita mau hanya ngedepankan ego saja. Seperti Ayah, pengen nonton langsung maen pindah aja. Dengerin dong keinginan orang rumah. Meski anak-anak, mereka juga punya pandangan kan? Yah… Ayah sama saja dengan para pejabat,  ga ada bedanya. Cuma maunya nurutin ego, bukannya rakyat. Huh!”
Ceramah Emak selesai. Bukannya marah, Ayah malah tepuk tangan sambil tertawa-tawa.
“Wuaaah istriku pintar banget! Bener-bener dah… ngaku deh Ayah kalah telak.”
Dan remote berpindah tangan kembali, anak-anak kembali menonton tayangan pilihan mereka sementara Ayah jadi ikut nonton.
“Iya ya, kita punya banyak lumpur lapindo. Kenapa gak dipake buat festival lumpur lapindo aja?”
Ayah… Ayah… Mungkin menunggu para pejabat studi banding dulu ke Korea. Membawa seluruh keluarganya baru tahu apa itu festival lumpur!