05 Agustus 2015

Kalau Anak Memaki

Hampir setiap hari bertemu teman-teman sesama Ibu. Entah itu di sosmed atau bahkan dalam hidup sehari-hari. Sebagian dari mereka yang mengenal Emak dengan baik akan langsung bertanya tentang banyak hal terutama yang ada hubungannya dengan anak-anak.


Pertanyaan kali ini datang dari salah satu ibu teman sekolah Ade, yang resah karena pergaulan putra-putrinya. Pertanyaannya saya kutip seperti ini : Mak, gimana gak resah? Si N itu tergolong anak yang cerdas, apapun yang diajari padanya akan langsung diserap seperti spons. Masalahnya lingkungan kami tidak mendukung, yah... kayak Mak Iin gak tahu aja lingkungan kita ini seperti apa. Nah, pas libur kemarin, ada anak-anak yang akhirnya saya izinkan main ke rumah, tapi ternyata mereka ngajarin N yang gak benar. Masak anak saya memaki Mbaknya dengan sebutan yang benar-benar bikin saya marah. Langsung deh saya larang tuh si N main sama anak itu lagi. Masalahnya, anak itu masih datang terus ke rumah dan bahkan sekarang malah N jadi mengamuk kalau dilarang main dengan temannya itu. Gimana dong Mak? Kira-kira ada solusinya gak?


Dan jawaban saya ternyata membuat teman itu bengong. Karena saya memintanya membiarkan putrinya tetap bermain dengan temannya itu. Ia sempat tidak menerima jawaban itu, bahkan membantahnya dengan sedikit keras. Tapi kemudian saya menjelaskan alasannya. Baru setelah memahaminya, ia bilang “Bagilah resepmu ini pada pembaca di blogmu, Mak. Banyak orangtua pasti punya konsep yang sama dengan saya. Dan jawaban Mbak memang benar-benar jawaban yang bagus.”


Sepertinya bukan sekali dua kali saya memberikan solusi pengasuhan di blog, mungkin salah satunya adalah solusi yang sama dengan yang satu ini. Tapi karena terlalu banyak artikelnya, biarlah sekali lagi saya mengulangnya.


Yah... biarkan anak tetap bergaul dengan teman-temannya. Bersosialisasi adalah salah satu metode seseorang bertahan hidup nantinya. Anak-anak harus bisa mempelajarinya sejak kecil. Tapi pertanyaannya apakah benar bila kita memilih-milih teman untuk anak. Bukankah seseorang dilihat dari bagaimana teman di sekitarnya? Tentu saja benar, sifat dan karakter seseorang atau bagaimana dia hidup bisa terlihat dari teman-teman di sekitarnya. Tapi itu tidak sekarang. Tidak di masa anak-anak sedang belajar mengenal macam-macam karakter teman-temannya.


Kalau kita memaksa anak untuk memilih teman tertentu, kita akan membuat anak tumbuh menjadi pribadi dewasa yang tak kuat menangkal gempuran efek negatif di sekitar. Kalau nanti mereka bertetangga dengan orang yang bersifat jelek misalnya, apakah mereka harus pindah rumah dari lingkungan itu? Susah loh mencari tetangga yang baik dan sempurna, dan apakah itu artinya mereka harus terus pindah rumah sampai menemukan tetangga yang baik dan sempurna itu?


Ibarat sebuah perang, mana yang akan dipilih seseorang? Apakah lari menghindari musuh dan membiarkan wilayahnya terjajah atau memasang tameng dan membentengi wilayahnya agar tidak dijajah?


Sebenarnya jawaban di atas pasti sudah bisa menjawab alasan mengapa saya meminta agar anak tetap dibiarkan bergaul dengan bebas. Tapi apa yang harus dilakukan kalau kita sudah membiarkannya tetap bergaul? Tentu saja mengawasi dan memberinya petunjuk untuk mengetahui aturan bersosialisasi.


Pelan-pelan selipkan nasihat dalam cerita dongeng, atau saat berkomunikasi dengannya. Katakan mana yang baik dan mana yang benar, informasikan sejelas dan sesingkat mungkin bahwa ada kata-kata yang tergolong buruk untuk diucapkan. Beri contoh apa yang terjadi seandainya dia mengucapkan kata-kata makian itu sembarangan seperti Mama akan sedih, Mbak pasti marah dan nanti tidak mau main lagi dengannya atau dalam skala lebih besar, ia mungkin dijauhi teman-teman yang lain karena ringan makian. Tanya padanya bagaimana perasaannya kalau dijauhi teman-teman atau seandainya melihat Mbaknya marah atau kalau Mama sedih. Kalau ia tak suka dengan keadaan itu dan tak ingin mengalaminya, maka mintalah ia untuk tidak mengulangi lagi. Mudah kan?


Setelah itu pastikan kalau anak sudah mencernanya dengan baik, dengan bertanya apa yang akan ia lakukan kalau mendengar temannya mengucapkan makian. Kalau ia bisa menjelaskan dengan baik kata-kata yang diajarkan maka pesan tersebut sudah berhasil masuk dalam ingatannya. Tinggal bagaimana nanti kita terus berusaha mengingatkan hal itu padanya di masa-masa mendatang. Hasilnya baik jika anak tak hanya mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk, tapi juga sanggup mengajak teman-teman yang bertingkah laku negatif untuk berhenti melakukannya. Jadi pesan bersikap positif disampaikan anak kepada teman-temannya. Bukankah itu yang menjadi keinginan setiap orangtua, agar putra-putri mereka memberikan pengaruh positif untuk lingkungannya?


Konsistensi kita mengajarkan anak untuk belajar menangkal efek negatif dari lingkungan pergaulannya akan membawa anak-anak memfilter sendiri semua hal negatif ketika ia dewasa. Inilah poin penting dari pola asuh di atas. Salah satu dari life-skill yang wajib kita ajarkan pada mereka, sehingga nantinya anak-anak tumbuh menjadi pribadi dewasa yang mandiri namun memiliki benteng iman dan perlindungan diri yang baik.


“Tameng terbaik untuk sikap negatif adalah mendidik anak dengan cara positif, tanpa kekerasan dan tanpa paksaan”

Tidak ada komentar: