Suatu sore ketika Emak tengah duduk-duduk sambil membaca majalah wanita terbaru, tiba-tiba Ade yang baru saja membongkar kotak mainannya mendekat.
“Mak, ini apa?” tanya Ade sambil mengacungkan sebuah mainan.
Emak menoleh. “Ooh, itu piano mainan bekas Kakak dulu. Sudah rusak, Neng. Sudah tidak bisa bunyi lagi,” jawab Emak.
Piano itu terdiri dari beberapa tuts nada dasar di bagian bawah, sementara di atasnya ada beberapa tuts berbentuk hewan seperti bebek, ayam, burung, kucing, anjing dan bahkan katak. Dulu ketika masih bisa berbunyi, tuts-tuts berbentuk hewan itu berbunyi seperti suara hewan. Jadi jika menekan kucing maka yang terdengar ‘meong’ dan begitu pula yang lainnya.
Ade diam saja, tapi rasa penasarannya belum hilang dan ia tetap menekan-nekan tuts-tuts itu berulang kali.
“Nanti beliin batele, ya Mak. Beli segini,” Ade mengacungkan kelima jarinya sambil menunjuk-nunjuk bagian belakang piano, tempat baterai ditempelkan.
Emak tersenyum, kasihan pada Ade. Tapi Emak tak kehilangan akal.
“Ade mau tahu bunyinya seperti apa ya kalau lagi nyala?” Ade mengangguk.
Emak mengambil piano kecil itu, lalu Emak memangku Ade. “Nah sekarang Ade mau tekan yang mana? Yang ini ya… ini suaranya gukguk. Ayo coba tekan sekali lagi!”
Ade menekan tuts berbentuk anjing sementara Emak menirukan suara anjing. Anak kecil berambut lurus itu langsung tertawa. Tangan Ade berpindah-pindah dari satu tuts ke tuts lain, Emak dengan sabar terus menirukan suara-suara hewan sesuai yang ditekan Ade. Ade senang sekali dan tertawa-tawa. Tawanya mengundang Kakak dan Abangnya mendekat. Mereka memperhatikan dan bahkan ikut bersuara seperti Emak. Ade makin senang dan semakin bersemangat menekan tuts berbentuk hewannya.
Suara lagu Celine Dion berkumandang dari handphone Emak.
“Sebentar ya, ada telepon!” Emak menurunkan Ade dari pangkuannya dan menyambar telepon. Telepon dari salah satu sahabat Emak yang menanyakan sesuatu. Emak pun asyik mengobrol tanpa mengetahui apa yang terjadi dengan ketiga buah hatinya.
“Emaaaaak!” suara jeritan Ade menyadarkan Emak.
“Eh, mbak. Sudah dulu ya. Anak saya nangis, besok lagi kita ngobrol,” ujar Emak terburu-buru, lalu sambil menutup telepon Emak mendekati Ade yang sudah menangis dan melempar piano rusaknya tepat ketika Emak mendekat. Kedua kakaknya melihat Emak dengan tatapan kuatir.
“Loh ada apa? Baru juga ditinggal sebentar. Ada apa sih Kak? Berantem?” tanya Emak. Ia menoleh pada Kakak dan menatap putri sulungnya itu dengan kening berkerut.
“Ade maunya kayak Emak tadi. Jadi kalau dia menekan tutsnya, harus sama suaranya.”
“Ya sudah, lakukan saja dulu. Emak kan lagi telepon. Gitu saja kok repot.”
Abang dan Kakak berpandangan. “Tapi kita tahunya cuma suara anjing dan kucing, Mak. Mana kita tahu suaranya kodok, burung, bebek, sapi, kambing. Suaranya ayamnya Kakak sama Abang juga beda, Ade jadi makin marah sama kita. Waktu kita niru sapi dan kambing, juga beda jadi Ade mengamuk deh.”
“Hah? Kalian tidak tahu suara kodok, sapi, kambing, burung dan bebek? Memangnya tidak pernah melihat apa?”
Keduanya menggeleng. “Kita memang pernah melihat, Mak. Tapi kan jarang banget. Tahu namanya juga hanya lewat buku. Di rumah kita kan tidak ada kodok, burung juga jarang apalagi bebek. Sedangkan kambing dan sapi, yaah itu kan hanya lihat saat hari raya doang, Mak,” ucap Kakak.
“Iya Mak, yang ada juga kucing di pasar sama anjingnya Mama Chin Hwa di ujung kompleks. Itu saja yang tiap hari kami lihat,” timpal Abang.
Emak terdiam, tangannya masih sambil menepuk-nepuk punggung Ade yang sesegukan di pelukannya. Ia baru terpikir, betapa pentingnya mengenalkan hewan-hewan pada anak melalui dunia nyata setiap hari. Padahal pelajaran IPA mereka juga cukup bagus nilainya, sayangnya hal sederhana seperti mendengar suara kodok saja mereka tak tahu cara menirukannya. Mungkin seperti Emak, guru mereka di sekolah juga tak berpikir kalau suatu hari menirukan suara hewan itu juga penting untuk menambah pengetahuan anak-anak.
Selama ini, mereka sekeluarga memang hampir tak pernah ke kebun binatang. Emak tak tega melihat binatang-binatang yang dikurung, dan ketiga anak mereka juga sama. Sedangkan Ayah tak suka karena baunya yang tidak sedap. Pernah satu kali sekolah Abang mengadakan perjalanan ke Taman Safari, itulah satu-satunya perjalanan mereka sekeluarga melihat binatang. Itupun hanya binatang yang memang dilindungi dan bukan hewan piaraan yang biasa.
“Ya sudah, Emak minta maaf, nanti Emak cerita sama Ayah supaya kalian bisa belajar suara-suara hewan. Bagaimana?” Kedua kepala itu mengangguk, Emak pun menoleh pada Ade. “Nanti tak usah beli piano, kita lihat binatang aslinya saja ya Neng.” Ade pun mengangguk dengan senyum lebar.
***
Ketika malam tiba, keluarga berkumpul di ruang keluarga. Tiba-tiba Ade bergelayut pada Ayah.
“Ayah, minta kodok!” rayu Ade manja.
“Hah?” Ayah bengong, Emak melongok.
Kakak dan Abang juga mendekat. “Iya Yah, sama beli sapi, beli kambing, apalagi tadi Bang?”
“Mmm…burung, bebek sama ayam,” sambung Abang dengan nada mantap.
Ayah ternganga mendengar permintaan ketiga buah hatinya itu. Tatapan penuh tanda tanya dilemparkan Ayah pada Emak, yang sekarang baru ingat penyebabnya. Emak terbahak-bahak sendiri.
“Ada apa sih? Kok mendadak minta beliin binatang? Memangnya rumah kita mau dijadiin kebun binatang?”
Setelah tawa Emak mereda. Emakpun menceritakan kejadian tadi siang tentang piano yang rusak, tentang suara-suara hewan yang tak bisa ditirukan oleh Abang dan Kakak. Setelah selesai, Ayah juga ikut tertawa meskipun lebih kedengaran miris daripada senang.
“Ooh kalian ini salah paham. Untuk belajar, tidak perlu harus beli. Contohnya waktu Abang belajar suara pesawat, apa Ayah perlu beli pesawat? Kan tidak. Nanti kita lihat saja dari jauh. Sabar ya, tunggu liburan. Ayah tahu tempat yang tepat untuk kalian melihat hewan-hewan itu. Ok, Kids!” dan ketiganya pun mengangguk setuju. Mereka bertiga menepuk tangan Ayah bergantian. Puas dengan penyelesaian ala Ayah.
Emak hanya tersenyum pahit. Hari ini Emak sekali lagi belajar bahwa ada hal-hal yang dulu ia miliki ketika masih kecil, ternyata tak bisa didapatkan ketiga buah hatinya. Dulu betapa mudahnya Emak kecil menemukan binatang-binatang itu berkeliaran di sekitar rumahnya. Malah dulu Emak tak bisa lupa saat dikejar-kejar oleh angsa lapar peliharaan tetangganya.
Ketika mengobrol berdua bersama Ayah setelah anak-anak tidur. Perasaan Ayah juga sama sedihnya. Ayah yang terlahir di kampung kecil, sangat akrab dengan semua hewan yang tidak diketahui oleh anak-anaknya. Ayah bahkan menceritakan tentang ayam peliharaannya yang termakan karet dan mati sia-sia. Belum lagi ikan yang masuk ke celana Ayah ketika ia berenang di dam dekat rumah dan kambing-kambing yang diangon Kakek Ayah yang saat itu jumlahnya mencapai ratusan ekor. Cerita nyata yang mungkin hanya dibaca anak-anak melalui buku atau didengar dari cerita Ayah.
Mungkin inilah mengapa pentingnya mengajak anak-anak pulang ke kampung halaman sesekali. Bukan untuk menghabiskan liburan ke tempat-tempat liburan umum yang biasa, tapi untuk mengenal lingkungan kampung yang asing bagi mereka. Mereka memang rutin pulang ke kampung, tapi setiap kali pulang selalu sibuk mencari tempat berlibur lain seperti kolam pemandian air panas, danau buatan, berburu kuliner hingga hampir tak pernah mengenalkan kampung halaman Ayah dan Emak sendiri.
Tahun ini Emak mencoret agenda liburan mereka di buku hariannya. Liburan menginap di sebuah hotel bintang lima di tepi pantai Anyer. Dan Emak menuliskan besar-besar di buku hariannya. “LIBURAN DI RUMAH NENEK DAN KAKEK”
Bersama Ayah, Emak ingin mengajarkan anak-anak keindahan suasana pedesaan juga mengenali berbagai hewan yang tak mereka kenal. Tak hanya mengenal suaranya, tapi juga bermain bersama hewan-hewan kecil itu. Agar mereka tahu, betapa menyenangkan memiliki kenangan tentang hal-hal sederhana seperti itu, bagi mereka yang terlahir dan hidup di kota besar dengan lingkungan terbatas.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar