Untung kesekian kalinya Emak menghapus keringat di keningnya. Tenang saja. Sebentar lagi ia tiba. Sebentar lagi kakinya yang mulai terasa senut-senut akan bebas. Desakan yang terus menekan tubuhnya ke depan akan segera berakhir.
Dari kejauhan, gedung kantor berlantai empat yang baru beberapa bulan lalu baru selesai direnovasi telah terlihat. Emak menghela nafas panjang. Mengumpulkan kekuatan baru untuk bersiap-siap turun dari bis kecil berwarna orange yang padat itu.
Tadi Ayah sudah bersiap untuk mengantar Emak ke aula kantor. Hanya saja rengekan Ade langsung menghentikannya. Biasanya Ade ikut kalau Emak arisan. Tapi hari ini badannya sedikit demam dan salah satu dari Ayah atau Emak harus tinggal untuk menghadapi rengekannya.
“Tugas! Tugas!” terdengar teriakan kernet Metro mini yang seirama dengan suara uang logam yang diketuk ke dinding bis. Emak langsung bergerak mendekati pintu Metro mini yang tak benar-benar berhenti.
Sambil berpegangan erat, Emak melompat turun. Sepatu kets milik Kakak yang dipinjam Emak benar-benar sangat membantu agar keseimbangan tubuh Emak yang tidak proporsional tetap terjaga. Lagi-lagi Ayah benar. Jangan pernah memakai sepatu tinggi kalau lagi naik bis. Kalau perlu pakai sandal jepit.
Kalau ingin cepat, Emak harus menyambung dengan ojek lagi. Tapi Emak tak tahan dengan bau jaket para tukang ojek yang akan menguar saat ia berada di boncengan mereka. Apalagi sampai harus memakai helm yang entah telah dipakai berapa ratus kepala. Lebih baik Emak berjalan kaki. Toh kantor Ayah tak lagi terlalu jauh. Bertahun-tahun selama Ayah bekerja di kantor itu, Emak sudah hafal jalur pintas yang lebih cepat.
Setengah jam kemudian, Emak sudah sampai tepat di depan aula. Emak mempercepat langkahnya.
Seseorang menyongsong Emak. Menyambut dengan meriah.
“Laah, istri kepala bagian kok naik metro mini toh, Bu?”
Emak tersenyum kalem, sambil melicinkan jilbabnya yang bergulung. “Biasanya malah diantar ojek.”
“Ojek? Naik ojek motor?”
“Iya ojeknya suami saya pakai motor tuanya.”
Nyonya muda yang datang ke arisan para istri dengan memakai sedan mewah itu memandang Emak dengan alis mata naik sebelah. Nyonya berhak sepatu setinggi 12 cm itu adalah istri dari salah satu staf finance yang dipimpin Ayah. Wajahnya memang secantik yang diceritakan Ayah. Hanya saja Ayah mungkin lupa mengatakan kalau wanita itu mengadili segalanya dengan penampilan.
“Kenapa Bu?” tanya Emak, berpura-pura tak mengerti
“Bapak kan di bagian finance, Bu. Pasti para supplier pun pasti mempercayai integritas Bapak sebagai pimpinan. Kenapa tidak punya mobil sendiri? Malu kan,Bu. Kemana-mana harus naik angkutan umum atau motor?”
Emak tersenyum kalem, ”Justru karena itu, Bu. Masak integritas suami saya hanya dihargai dengan sebuah mobil? Mahal loh Bu nilai integritas itu. Tidak ternilai. Apa jawaban saya atau suami kalau nanti keluarga terutama putra-putri kami bertanya mengapa integritas Ayah yang mereka banggakan hanya seharga mobil? Saya saja malu, apalagi mereka.”
Kaki Emak melenggang pergi. Rasa bangga membuat kepalanya sedikit terangkat lebih tinggi dari biasa. Ia memandangi sekeliling aula yang mulai dipenuhi istri-istri karyawan lain, mencari sosok yang dikenalnya. Lebih baik menghabiskan waktu bersama orang yang sepikiran dengannya, daripada menghadapi wanita yang menilainya berdasarkan apa yang dimilikinya.
Toh buat apa Emak merasa malu. Suaminya yang tercinta bukanlah koruptor. Dan dia tak perlu merasa malu karena memang ia hanya memakai dan menggunakan apa yang memang jadi miliknya, tidak mencuri dari siapapun.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar