04 Maret 2015

Kemesraan Yang Tercabut

"Bundaaaaa, lama amat sih sholatnya!!" Teriakan manja itu menyambutku saat baru keluar dari mushola. Aku hanya tersenyum, mengambil sepatu dan mulai duduk memasang kaus kaki. "Aku yang cuma nungguin aja capeknya minta ampun. Bunda maaah... habis kuliah masih sempat-sempatnya sholat. Bentar lagi, jam praktek mulai loh Bun. Cepetan!! Nih kalo kita gak lari, gak bakal keburu deh!" gerutu si manja Lestari itu lagi. Bibirnya melengkung bagai kurva itu terus berbicara tanpa henti.


Aku mendongak. "Ya udah, kamu duluan aja. Biar saya nanti lari-lari dikit. Biar kurus."


"Aaah, Bunda gitu deh! Aku kan udah nungguin Bunda. Lagian gak enak ah kalau sendirian. Entar dikira apaan. Udah Bunda buruan deh pake sepatunya!"


Dan tepat saat itu, aku selesai memakai sepatu. "Ayo!"


"Bun, Bunda gak capek apa? Dari tempat praktek ke musholla kan lumayan jauh. Bunda kok tetaaap sholat sih. Buat apaan?" Lestari mendekatkan mulutnya ke telingaku. "Aku aja yang gak sholat, dosanya banyak. Hidup mah tenang-tenang aja. Gak ada masalah."


Mendengarnya, aku menoleh dan menatap Lestari sedikit lebih lama. Lalu hanya bisa tersenyum getir mendengar kejujurannya.Tari menggamit lenganku, kami berjalan bersisian. Dengan serius, ia berkata, "Aku tuh udah nanya sama banyak orang nih, Bun. Tapi mereka selalu gak bisa jawab. Buat apa bersusah-susah sholat, ngebuang waktu dan bahkan seringkali tenaga, hanya untuk melakukan sesuatu yang hanya dinilai dengan pahala."


Aku hanya diam, masih tersenyum-senyum. Anak ini kalau bicara memang susah berhenti, jadi supaya ia puas mencurahkan kekesalannya karena menemaniku ke Musholla tadi, aku pun membiarkannya.


"Apalagi puasa, apalagi sholat tengah malam. Kan gak ada yang mudah itu. Okelah, puasa katanya bagus buat kesehatan. Tapi kan lapaaaarnya gak nahan. Kalo mau sehat, yah tinggal makan makanan yang sehat aja lebih mudah dan lebih enak dijalani. Belum lagi sholat tengah malam. Ampun deh Bun.... kita lagi sibuk-sibuknya gini terus disuruh bangun tengah malam, apa ndak nyuruh kita tidur pas jam praktek siangnya? Aku lihat Bunda juga sering kelihatan ngantuk," lanjutnya.


Kakiku berhenti melangkah. "Kalau itu bukan karena sholat malam, Tar. Itu karena saya masih harus mengerjakan pekerjaan lain sebelum tidur jadi kadang-kadang waktu tidur saya sedikit kurang. Ah itu gak ada hubungannya," bantahku pelan.


"Ya, ya aku tahu. Tapi bukannya ngaruhin Bunda nih. Aku hanya ingin minta dijawab. Apa untungnya sih berlapar-lapar puasa, berlelah-lelah sholat, dan berngantuk-ngantuk sholat malam? dan apa kerugian orang yang gak melakukannya kayak aku? Karena buktinya aku juga tetap dapat banyak rezeki, tetap dapat banyak berkah walaupun gak sholat, gak puasa apalagi sholat tengah malam. Awas kalo jawab kayak yang di lagu anak-anak itu ya... awass!"


Sambil terus berjalan, aku melirik Lestari sekilas. Tersenyum melihat ekspresi wajahnya yang lucu. Si Chubby yang suka tertawa itu memang benar-benar terlihat begitu bulat pagi ini. Aku baru tahu kalau orang kesal bisa membuat wajahnya jadi tampak seperti apel masak begitu.


"Tari mau tahu untungnya?" tanyaku sambil menepuk tangannya yang melingkar di lengan kananku.


Lestari mengangguk, "Benar sekali!!!"


Aku berhenti lagi, memandanginya sambil tersenyum penuh kasih sayang. "Untung ruginya ya itu tadi.... yang kamu bilang sendiri. Lapar, lelah dan ngantuk."


"Hah?" Mata Lestari seperti melompat ke luar. Aku jadi geli melihat ekspresi. "Kok ya itunya malah dibilang untung? Bunda freak ah freak!!"


"Ya sudah kalau kau tak percaya. Dijawab benar-benar malah gak percaya." Kali ini kami sudah berada tepat di depan pintu rumah sakit. Aku menyapa Satpam yang berdiri mengangguk pada kami berdua. Setelah menulis namaku di dalam buku tamu, aku berjalan masuk melewati hall. Di belakangnya, suara riuh dan langkah kaki tergesa-gesa terdengar.


"Bundaaaaa, tungguin!!!" teriak Lestari yang terengah-engah menyusulku.Melihat beberapa kepala memutar ke arahku dan menatap dengan tajam, aku langsung berhenti melangkah. Menunggu Lestari mendekat.


"Iiiih, ini rumah sakit. Kenapa pakai teriak-teriak segala sih? Tuh diliatin orang!"Bibir Lestari maju beberapa senti. "Biarin! Bunda sih, tadi aku tungguin eh malah sekarang aku ditinggal."


"Look to your watch!! Ini udah lewat dua menit. Tahu kan Professor gimana? Bisa dapat tugas tambahan kita kalau telat." Aku bergegas kembali berjalan, kali ini lebih cepat. Lestari juga ikut menyusul.


"Our conversation is not finish yet, ya Bun!" bisiknya saat kami memasuki ruang dimana Professor sudah menunggu. Aku tersenyum simpul.Setelah tiga jam berkutat dengan salah satu mata kuliah paling menantang itu, aku dan Lestari pun keluar.


"Uwaaaah.... udah siang ya! Benar-benar nih waktu berlalu sampai gak sadar."


Lestari melirik aku yang sedang memasukkan beberapa diktat ke dalam tas. "Bunda, pasti mau sholat lagi kan?" tebaknya dengan ekspresi aneh.Aku tertawa melihat wajahnya yang berkerut-kerut aneh itu. Anak ini... benar-benar tahu cara menghibur otak yang sedang penat.


Aku mengangguk."Tuuh kan!!! Benar kan!! Ayo dah, aku temeni! Habis itu.... "Ia menatapku penuh arti. "Ingat tadi pertanyaanku belum dijawab sampai selesai loh."


Aku mengangguk. "Iya, anak manis. Saya sholat dulu, habis itu kita makan di kantin ya. Nanti saya jelasin deh. Biar kamu gak mati penasaran."


"Bundaaaaa, aah...."Selesai sholat ashar, kami benar-benar bisa duduk dengan nyaman di dalam restoran. Alih-alih makan di cafe, Lestari menarikku masuk ke sebuah restoran berpendingin ruang. Katanya, biar gak panas hatiku kalau nanti dengar jawaban Bunda.


"Ayo dong, Bun! Kenapa? Kok jawabannya untung ruginya ya itu Lelah, lapar dan ngantuk?"


"Kamu merasa lelah saat sholat wajib, lapar saat puasa dan ngantuk saat sholat tengah malam?" Lestari buru-buru mengangguk.


"Bagaimana kalau pas bahas kasus disorder yang tadi kita lakukan sama Profesor? Bosan gak? Cape atau lelah?"


Lestari tertawa lebar. "Iih apa hubungannya Bunda? Kalau bahas kasus ya enggalah, kan itu emang yang paling aku suka malah. Bahas kasus kejiwaan, sampai pagi lagi pun aku sanggup!""Itu jawabannya, sayang. Itu yang hilang darimu, Itulah kerugianmu."


Senyum Lestari langsung lenyap. Aku terus berkata, "ketika seseorang kehilangan cinta dan kasih sayang pada sesuatu, maka kemesraannya pun akan tercabut. Apapun yang dilakukannya untuk sesuatu itu tak akan ada enak atau asyiknya lagi. Malahan yang ada hanya rasa lelah, ngantuk, capek, bosan, males dan sebagainya. Coba kalau kau tak mencintai pacarmu, maukah kau menikah dengannya? Menikah itu susah loh, dari bangun tidur sampai tidur lagi, kita harus mengurus keperluannya. Tapi kalau nggak salah, kata Agus, malah kamunya yang pengen-pengen cepet nikah sama dia. Naaaah, gak takut capek, lelah, ngantuk, bosan dan males ngurus rumah tangga nanti?"


Karena Lestari tetap diam, aku menyeruput tehku. Menarik napas dalam-dalam.


"Kalau kita sayang dan cinta sama Allah, gak ada perasaan lelah, lapar apalagi ngantuk, Tar. Malahan rasanya berdosaaaa banget kalau ninggalin kewajiban cinta itu, sama seperti kalau Agus tak menjawab bbm darimu atau menelponmu. Atau saat kita ketinggalan diskusi kasus yang sedang kita tunggu. Itu cinta, Tar. Bukan sekedar kewajiban semata. Cinta yang membuat kita tak merasa lelah, lapar atau ngantuk saat harus menjalaninya. Cinta juga perlu dirawat, Tar. Dan menjalani kewajiban itu adalah cara terbaik untuk merawat cinta abadi itu. Pahala hanyalah nilai abstrak yang tak pernah kita tahu dibayarnya kapan. Tapi menumbuhkan cinta pada Allah itu, jelas-jelas mengisi ruang paling dalam di hati kita dan hanya bisa dipahami oleh mereka yang benar-benar menjaga dengan baik cinta itu."


Lestari menundukkan kepalanya. "Aaah... Bunda, you always know how to touch my heart."


"I didn't touch your heart, Tari. I just answer your question, "jawabku ringan. Gadis itu terdiam selama kami makan bersama. Aku memilih untuk membiarkannya menyerap sendiri maksud penjelasanku. Toh, cinta tak bisa dipaksakan, biarkan ia membangunnya sendiri.


************

Tidak ada komentar: