12 Januari 2015

Pengabdian (2 - Tamat)

 


tenmienmienphi.co


Sebelumnya


 


"Bu, seandainya Malik mengundurkan diri dan Ibu gagal berangkat haji. Bagaimana?" tanyaku setengah berbisik. Kuatir membuat Ibu terkejut. Aku benar-benar tak tahan lagi menghadapi situasi di kantor. Sudah setengah tahun berlalu, dan hatiku semakin tidak tenang meskipun pundi-pundi tabungan bertambah.


Tak tampak wajah terkejut atau panik di wajah Ibu, ia malah mengulas senyuman di wajahnya.


"Memangnya kenapa, Lik? Tempat kerjamu tidak bagus? Atau ada masalah?" tanya Ibu pelan sambil melepaskan sulamannya.


"Tempat kerja Malik bagus, Bu. Sangat bagus. Tapi, di sana susah kalau mau beribadah, Bu. Malik jarang bisa sholat tepat waktu dan kalaupun sholat seringkali dimasalahkan atasan Malik. Gak cuma itu, Bu. Banyak hal-hal yang menyulitkan buat Malik. Malik kuatir iman Malik goyah kalau lama kelamaan bekerja di sana."


"Loh, memangnya di situ lebih banyak non muslimnya?"


"Tidak, Bu. Yang sama-sama muslim banyak, tapi yang sholat hanya segelintir. Bahkan Malik saja tak melihat ada rekan wanita Malik yang berjilbab. Mereka semua sangat jauh dari Allah, Bu."


"Astaghfirullah, Lik. Tak boleh bersuudzon begitu. Mungkin mereka beribadah di tempat lain. Jangan berpikir negatif, Nak. Cobalah berpikir lagi. Ibu mengajarkanmu ilmu agama bukan hanya untuk menyelamatkanmu dari api neraka sendirian, Nak. Tapi untuk membuatmu bisa menyelamatkan saudara-saudari muslimmu juga. Kalau kamu merasa takut goyah berjalan sendiri di jalan yang benar, kenapa tak coba mengingatkan mereka sambil memperkokoh perasaanmu bahwa kamu tak sendirian? Kalau setelah kamu mencoba, dan masih saja mengalami kegundahan seperti sekarang maka Ibu malah yang memintamu untuk berhijrah pekerjaan."


Aku menatap Ibu dengan kagum. Subhanallah, sungguh bijak kata-kata Ibu. Perempuan yang mengasuhku sendirian itu, selalu memberiku kata-kata yang menguatkan. Aku mengangguk dengan penuh keyakinan. Ibu benar, aku harus mencoba sebelum menyerah.


***


"Brengsek!!" Pak Denny membanting lembaran-lembaran kertas yang dipegangnya ke atas meja.


Aku, Lita dan Rahman sama-sama menoleh pada Manager kami itu. Wajah Pak Denny nampak merah padam menahan amarah. Ia baru saja selesai meeting bersama para Direktur. Membahas masalah proyek terbaru di salah satu daerah.


"Semuanya harus ke saya! Pajak bermasalah ke saya! Karyawan bermasalah juga saya! Sekarang ke proyek lagi!"


Lita menyenggol kakiku dengan kakinya, memberi isyarat agar aku mendekati Pak Denny. Kalau beliau sudah semarah itu, biasanya hanya aku yang berani menenangkannya.


Aku berdiri, meraih gelas dan menekan tombol air panas dingin bergantian. Pelan-pelan aku mendekati Pak Denny yang berjalan bolak-balik di ruangannya.


"Minum dulu, Pak. Biar tenang." Kuletakkan gelas berisi air minum hangat itu di mejanya.


Pak Denny menoleh padaku. Napasnya masih memburu menahan emosi.


"Duduklah dulu, Pak. Minum air dan tenangkan diri Bapak dulu," bujukku perlahan.


"Bagaimana saya bisa tenang, Lik? Anak saya sakit parah dan besok dia harus dioperasi. Sekarang saya malah ditugaskan ke daerah buat eksplorasi proyek. Kamu tahu berapa lama eksplorasi itu kan? Minimal dua bulan!! Bayangkan dua bulan!"


Aku mengangguk, melemparkan senyuman pada Pak Denny. Meski masih marah, ia mengikuti kata-kataku. Duduk di kursinya dan mulai minum. Pelan-pelan dadanya yang naik turun dengan cepat makin melambat. Tak sampai beberapa detik, ia sudah terlihat tenang kembali. Sekarang hanya wajah murung yang terlihat.


"Rasanya saya kerja ini tak ada apa-apanya, Lik. Sudah lebih dari sepuluh tahun saya kerja di sini. Semuanya demi perusahaan, tapi sepertinya saya tak pernah bisa duduk dengan tenang. Selalu ada masalah, entah di rumah atau di kantor. Padahal saya selalu berusaha bekerja dengan jujur dan tidak korupsi. Tapi pekerjaan ini tak bisa membuat saya bahagia. Malah cobaan gak ada habis-habisnya," keluhnya dengan bahu lunglai.


"Yang membuat kita bahagia itu hati, Pak. Dan hanya Allah yang memahami cara kerja hati," ucapku tenang.


Pak Denny menatapku.


"Kalau mengabdi sama pekerjaan, kita mendapat penghasilan. Tapi kalau mengabdi pada Allah, kita mendapatkan segala hal yang tidak bisa kita beli dengan uang, Pak."


"Ah, kamu ini. Mentang-mentang saya tidak pernah sholat, makanya kamu ceramahi ya? Apa hubungannya sama masalah?"


"Sekarang kan Bapak sedang kalut, kenapa tidak coba sholat? Kan tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu setelah sholat, Bapak jadi lebih tenang."


"Saya perlu jalan keluar, Lik. Bukan ketenangan," sanggah Pak Denny.


"Ya siapa tahu jalan keluar itu ketemu saat Bapak sudah tenang. Daripada marah-marah seperti tadi. Mbak Lita sudah mau nangis ketakutan loh," godaku sambil keluar dari ruangannya.


"Tunggu!" Aku berhenti. Pak Denny menyusul langkahku. "Tapi kamu temani saya ya, saya malu kalau sholat sendirian."


Aku tertawa kecil dan mengangguk. "Ayo, Pak! Kebetulan saya juga mau sholat ashar. Boleh saya ajak Mas Rahman dan Mbak Lita sekalian? Sholat berjamaah saja Pak, jadi Bapak gak malu sendirian." Pak Denny mengangguk setuju.


Beberapa hari lalu, aku sudah berhasil mengajak Rahman untuk sholat bersama sehingga tak ada kesulitan berarti mengajaknya. Lita sempat mengelak dengan alasan ia tak membawa mukena. Tapi setelah kukatakan kalau ia bisa meminjamnya pada Rini, ia pun mengikuti kami bertiga.


Rasanya diriku seperti diberi durian runtuh. Senang. Haru sekaligus bersyukur rasanya melihat Pak Denny yang biasanya tampak gagah, menundukkan kepala dalam-dalam memohon pada Illahi yang selama ini mungkin tak pernah sedikitpun dipikirkannya. Di belakangnya aku melihat Rahman yang kini tampak lebih tenang menjalani sholat. Sementara Lita duduk bersama Rini di sudut ruangan, sholat bergantian. Tepukan di bahuku membuatku menoleh. Pak Denny tersenyum padaku.


"Terima kasih, Lik. Saya benar-benar merasa malu sama kamu. Anak muda sepertimu mengajari saya kalau ternyata sholat itu bisa membantu saya jadi tenang. Saya jadi berpikir dengan baik setelah sholat. Setidaknya sekarang saya dapat jalan."


"Tuh kan benar, Pak. Alhamdulillah kalau begitu."


"Alhamdulillah, walaupun jalannya itu berarti kamu yang menggantikan saya?" ucap Pak Denny dengan nada menggoda.


Aku tertawa geli. "Jadi Bapak mau saya yang ke daerah? Tidak masalah. Insya Allah saya terima. Ibu saya pun pasti tidak keberatan."


"Walaupun akhirnya itu membuatmu susah beribadah? Di sana suasananya lebih parah daripada di sini loh."


"Allah itu ada di mana-mana, Pak. Dimanapun dan apapun keadaannya tak masalah buat saya. Sebagai muslim, inilah yang diajarkan pada saya, Pak. Bekerja sebaik-baiknya tapi juga mengabdi pada Allah dengan setulus-tulusnya."


"Kamu ini... " Pak Denny tak meneruskan kata-katanya, hanya menepuk pundakku dan berdiri. Dia berhenti di dekat pintu mushola, menyapa beberapa karyawan cleaning service yang berpapasan dengannya. Entah apa yang dibicarakan, tapi aku melihat sorot penuh rasa syukur terlihat di mata karyawan cleaning service itu. Untuk pertama kali pula, aku melihat sosok Pak Denny yang ternyata cukup bersahaja.


Bu, Ibu benar. Dibandingkan melarikan diri dari situasi ini, pilihan terbaik adalah mengajak mereka kembali berjalan bersamaku.


***


Empat bulan berlalu semenjak aku bertugas. Ini hari pertama aku kembali bekerja di kantor pusat di Indonesia. Kembali ke gedung membanggakan itu, memasuki tempat parkir dengan motor tuaku yang belum tergantikan.


Selama di proyek yang sedang dieksplorasi, kesan kemewahan memang hampir tak ada. Tapi di daerah, aku tak mengalami masalah berarti dalam beribadah meskipun berada di lingkungan yang mayoritas non muslim. Pihak perusahaan juga memberikan fasilitas yang cukup untuk memberiku kenyamanan dalam menjalani tugas. Walaupun sempat mundur beberapa waktu, akhirnya aku berhasil menyelesaikan tugasku.


Setelah memarkir motor tuaku di spot yang memang khusus untukku, aku melangkah dengan ringan. Menyapa beberapa orang yang berpapasan denganku lalu menaiki tangga menuju lantai tiga, departemen tempatku bertugas.


"Waaah, selamat datang Malik! Assalamualaikum," sapa Pak Denny saat aku membuka pintu ruangan. Wajahnya penuh senyuman. Tak sekalut seperti saat aku berpamitan dulu. Wajahnya lebih ceria dan warna kulitnya tampak lebih cerah.


"Waalaikumsalam, Pak!" balasku sambil menyongsongnya.


Rahman dan Lita ikut-ikutan berdiri. Mereka juga tampak sumringah. Tapi kakiku justru terhenti saat melihat Lita. Senyumku menghilang. Sesaat bibirku terasa kelu. Terperangah melihat pemandangan tak biasa. Sementara Lita berdiri dengan senyum malu-malu, menundukkan kepalanya.


"Assalamualaikum, Mbak," ucapku pelan tanpa sadar sambil mendekat. Aku tak bisa berhenti mengagumi wajahnya yang kini tertutup sebagian dengan jilbab berwarna biru. Kini dengan wajah bersih dari anak rambut berwarna coklatnya, aku bisa melihat keanggunan yang memancar begitu kuat. Keanggunan seorang muslimah.


"Waalaikumsalam, Pak Malik," jawab Lita seraya terus menyembunyikan wajahnya.


"Wah, wah, Mas Ustad ini lupa sama kita ya. Begitu lihat cewek, malah lupa menyalami kita," ujar Pak Denny sambil merangkul bahuku


Aku tertawa lebar sambil menyalami Pak Denny. Kami sibuk saling bertukar kabar dan informasi. Aku mengedarkan ke sekeliling lantai dua. Tak lama, beberapa karyawan lain mendatangiku. Mereka sibuk memberi selamat sekaligus menggali informasi soal proyek yang baru. Aku memberitahu sebisaku, sambil sesekali memperhatikan mereka. Aku menyadari perubahan besar di antara mereka. Semua menyapaku dengan salam, bukan salam yang formal tapi assalamualaikum dengan fasih.


Ketika jam istirahat tiba, aku terkejut melihat beberapa sosok perempuan yang bekerja di kantor ini sudah mengenakan jilbab. Aku bahkan terkejut ketika melihat Rini berdiri di depanku, tak menyangka dan sempat terdiam beberapa saat sebelum mengenali suaranya. Belum hilang keterkejutanku, aku kembali terperangah melihat mushola yang baru. Tak ada lagi mushola sempit dan kusam seperti saat kutinggalkan dulu. Sekarang sebuah mushola yang cukup luas dan berpendingin ruangan berdiri kokoh di samping kafetaria menggantikan gudang. Di sana sini masih terlihat pembangunan yang belum selesai, tapi mushola itu sudah bisa digunakan para karyawan.


Yang lebih membuatku terharu, antrian orang yang berwudhu kini cukup panjang. Senang rasanya melihat rekan-rekan kerjaku kini mau sholat bersama. Anehnya, di kafetariapun tak seramai dulu lagi saat adzan berkumandang meskipun adzan tak menggunakan pengeras suara. Mereka yang sedang makan dan minum, tak lagi mengobrol dengan suara keras dan memilih duduk dengan tenang. Aku benar-benar tak menyangka bahwa perubahan itu benar-benar terjadi dengan drastis.


"Jika ada niat, apapun bisa terjadi." Aku menoleh. Pak Denny berdiri di sampingku. Di kepalanya sebuah peci berwarna putih menutupi rambutnya.


"Kamu benar, Lik. Pengabdian sama Allah banyak sekali manfaatnya. Putri saya memang masih sakit, tapi saya lebih tenang mendampinginya. Di sini, di mushola ini, tempat saya melepaskan stress. Entah mengapa tiap selesai sholat, rasanya hati ini lebih tenang. Allah itu Maha Tahu, Dia tahu kalau jam sholat itu adalah jam dimana manusia benar-benar membutuhkanNya. Saya benar-benar bersyukur kamu mengajak saya ke sini."


"Pak, saya yang bersyukur. Kalau bukan karena Bapak, mushola ini..."


"Bukan saya yang meminta mushola ini, Lik. Tapi Direktur," potong Pak Denny sembari tersenyum simpul.


"Maksud Bapak?"


"Yah, seperti kamu ngajak saya. Saya ajak Direktur bagian facility untuk sholat Dhuhur bareng."


"Lalu?"


"Lalu dia heran melihat ada mushola sejelek itu di kantor kita. Dialah yang meminta pembangunan mushola baru itu. Bukan saya." Pak Denny mengangkat bahu. Aku hanya tertawa kecil.


Ya Pak, di mana ada niat selalu ada jalan. Dimanapun kita berada, kalau niat kita adalah menjaga iman dengan sebaik-baiknya, akan selalu ada jalan terbaik yang ditunjukkan Allah SWT. Jalan itu mungkin tidak mudah untuk dilewati, tapi jika kita terus berjalan tanpa menyerah maka hasil terbaikpun akan didapatkan.


Aku berusaha berpikir positif. Mungkin dulu para karyawan tak mau sholat karena tempatnya yang kurang nyaman dan mereka lebih memilih sholat di luar kantor. Entahlah, itu tak lagi penting. Yang penting, aku tak lagi berpikir untuk resign. Inilah pekerjaan yang paling kuinginkan. Pekerjaan yang membuatku bisa mengabdi dengan tenang. Pada pekerjaanku untuk mencapai cita-citaku dan pada Allah SWT, Tuhan yang memberi kebahagiaan lahir dan batin ini padaku.


*****

Tidak ada komentar: