Wajah Pak Rahmat tampak gelap, bibirnya terlipat dan matanya sendu. Bahunya merosot lemas dengan langkah kaki yang berat. Sudah bisa kuduga apa yang terjadi di dalam sana hanya dengan melihat keadaan Pak Rahmat itu."Gak boleh ya, Pak?" tanyaku penasaran, walaupun hatiku sudah tahu jawabannya.Pak Rahmat mengangguk kecil. Ia menghela napas berat. "Padahal, saya lagi gak punya uang buat nyewa, Mbak. Duh, kenapa sih boss kita itu jadi pelit begitu? Dulu waktu masih jadi staf biasa, beliau kan baik sekali," keluhnya.Aku terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Bukan hanya Pak Rahmat yang pernah mengalami penolakan itu. Meskipun aku lebih tahu, atasanku yang tadi menolak permintaan Pak Rahmat bukanlah orang yang pelit. Ia hanya terlalu taat pada peraturan perusahaan."Memangnya kapan mobilnya pengen dipake, Pak?" tanyaku memastikan. Paling tidak, aku berharap bisa mencarikan jalan keluar yang lain."Besok pagi, Mbak. Anak saya nikahan jam 10 pagi," jawabnya dengan nada datar.Mulutku terkatup rapat. Waktunya terlalu mepet. Bahkan jika aku ingin meminjamkan uang pun, saat ini aku sendiri tak punya. Aku bisa memahami perasaan Pak Rahmat saat ini. Dia ingin membuat acara anaknya berjalan lancar, dan meminjam mobil kantor adalah solusi terbaik. Gratis dan tidak ribet dengan urusan surat menyurat. Biaya pernikahan sangatlah besar, jika bisa menghemat beberapa ratus ribu pasti akan sangat membantu. Hanya saja, permohonan pinjam pakai kendaraan kantor sudah ditolak, dan Pak Rahmat pasti tengah membayangkan kerepotannya esok pagi.
***
"Lus, ke sini sebentar!" suara Pak Toriq memanggilku melalui telepon. Dengan langkah cepat aku menuju ruangannya.Pak Toriq mengangkat wajah melihat kehadiranku. Ia menandatangani lembar terakhir sebelum menyodorkannya padaku. Sepintas aku melirik meja kerjanya yang biasanya selalu bersih itu. Ada amplop panjang tergeletak di atas meja."Ini sudah saya tandatangani semua." Aku mengambil map yang berisi dokumen yang baru selesai ditandatangani Pak Toriq, lalu ia mengambil amplop putih panjang yang kulihat tadi. "Dan ini, tolong kamu kasih sama Pak Rahmat. Bilang saja itu dari kamu atau siapalah. Untuk bantu-bantu biaya pernikahan putrinya.""Ah, Bapak. Selalu begitu sih. Saya bilang aja dari Bapak ya. Kan saya ga enak. Saya yang dapat nama baik, padahal Bapak yang berbuat baik," ucapku berusaha meyakinkan.Pak Toriq tersenyum kebapakan. "Biar saja. Saya kan gak butuh nama baik. Berbuat kebaikan itu kewajiban. Saya gak enak tadi sudah bikin dia bingung. Sudah sana. Katakan saja dari kamu.""Mendingan Bapak minjemin mobil aja deh. Kan lebih murah dan memang itu yang lagi dibutuhkan Pak Rahmat. Kenapa harus memberikan dia uang? Toh mobilnya juga bukan punya Bapak.""Lusita, kamu ingat alasan saya tidak mengizinkan pemakaian mobil kantor untuk keperluan pribadi kan? Masih ingat?" tanya Pak Toriq. Alisnya terangkat. Serius sekali.Aku mengangguk. "Ya iyalah, Pak. Hanya saja gak logis buat saya. Kata Bapak buat melindungi karyawan. Melindungi dari apa? Bukannya perusahaan yang justru merasa asetnya dilindungi dengan aturan itu?""Try to think out of box, Lusi. Gunakan itu untuk memahami maksud saya.""Tapi, Pak. Lusi gak tahan tiap kali lihat Bapak dianggap boss pelit. Bapak bilang lebih baik dibilang pelit daripada harus melanggar aturan. Masalahnya, kalau sering-sering dianggap seperti itu, nantinya malah Bapak yang kena getahnya kan? Seandainya nanti anak buah Bapak jadi gak nurut gara-gara kemauannya sering ditolak, gimana?""Itu gunanya belajar berkomunikasi dan memimpin, Lus. Insya Allah mereka bisa diajak berdiskusi. Mereka juga pasti paham alasan saya. Mereka kan bukan anak kecil," jawab Pak Toriq dengan tenang."Ada yang saya tahu setelah kerja di sini, Pak.""Apa itu? Apa tentang saya?" Mata Pak Toriq berpendar seakan sedang menahan tawa."Bukan! Bukan cuma itu. Tapi karyawan itu adalah anaknya Boss. Dan mereka akan jadi anak kecil jika kemauannya selalu tak dituruti. Mereka akan ngambek, marah dan bersikap kekanak-kanakan."Tawa Pak Toriq membahana. "Hahaha... ada-ada aja kamu, Lus. Saya gak tahu kalau karyawan lain seperti itu atau tidak. Tapi memang kalau kamu sih, hal itu berlaku. Sangat berlaku. Hahaha... "Mau tak mau aku ikut tertawa mendengar kalimat Pak Toriq yang menyindirku. Dia benar. Aku memang sering sekali bertingkah kekanak-kanakkan. Untunglah Pak Toriq punya sejuta kesabaran menghadapi sekretarisnya yang manja ini."Sudahlah, jangan kebanyakan ngobrol. Saya ada meeting nih.""Bapaaak..."Tangan Pak Toriq mengibas mengusirku, dan ia mengeluarkan smartphone-nya, menunduk menatap layar ponselnya. Itu tanda bagiku untuk berhenti bicara dan segera bekerja. Meski masih merasa tak enak, tapi aku tahu tak ada gunanya tetap membujuknya.Lembaran amplop di tanganku terasa padat. Isinya pasti lumayan. Aku menghela napas. Tersenyum kecil dan menggelengkan kepalaku. Begitulah Pak Boss, julukanku untuknya. Dia punya kepribadian yang amat berbeda dari atasan-atasanku sebelumnya. Kepribadian pemimpin sejati.
***
"Pak! Dia kan jelas-jelas nyindir Bapak. Kok Bapak diam saja? Marahi kek, Pak! Atau gak kasih SP aja!" gerutuku kesal begitu kami sampai di kantor.Pak Toriq hanya tersenyum. Just like usual. Ah, senyum yang kadang-kadang bikin gregetan. Entah berapa banyak sabar yang ada di hatinya. Selalu diam dan tersenyum saja."Kamu tahu kenapa saya selalu melangkah dengan ringan, Lus?" tanya Pak Toriq, tak menanggapi gerutuanku."Lah apa hubungannya dengan langkah ringan sih, Pak?""Itu karena saya jarang mikirin kata orang. Otak saya jadi ringan memberi perintah pada kaki untuk bergerak. Otak saya rileks karena bebannya ringan. Coba kalau saya sibuk mikirin kata orang. Wong gak terasa sakit kok kalo hanya disindir. Anggap aja itu kritikan. Kritikan yang berarti saya ini diperhatiin orang. Perhatian artinya saya ini penting untuk mereka. Waaah, jadi orang penting itu susah loh, Lus.""Aaah, Bapak gitu deh. Selalu pinter ngejawabnya." Aku menghela napas."Hahaha... bukan pinter tapi cerdas, Lus. Cerdas menanggapi sesuatu, cerdas menghadapi sesuatu. Kamu juga. Mbokya apa-apa itu jangan pake emosi dulu. Kamu itu cerdas, juga pintar dan cantik. Coba kalau emosinya dikurangi dikiiit aja. Pasti banyak deh cowok ngantri jadi pacarmu.""Iiiih, Bapak mulai ya!! Jangan ngebahas jodoh kalau sama Lusi ya! Kalah deh, kalah aja daripada ngebahas soal jodoh."Suara tawa atasanku yang sudah seperti Ayahku itu terdengar menyapu punggungku yang melangkah keluar dari kantornya. Tak ada gunanya meneruskan perdebatan. Ujung-ujungnya ia akan membahas soal jodoh, topik paling tak kusukai di dunia.
***
Pernikahan putri Pak Rahmat berjalan lancar. Amplop yang kusampaikan pada Pak Rahmat pun benar-benar digunakannya untuk menyewa mobil pengantin putrinya. Selain memberikan amplop itu, aku tak mengatakan apapun sesuai keinginan Pak Toriq.Tapi aku juga tak mengatakan amplop itu dariku."Seseorang mendengar kesulitan Bapak. Tapi ia tak mau namanya disebutkan. Kalau disebutkan nanti kuatir disangka uang suap, Pak. Kita ini bagian Finance, kalau nanti Bapak tahu bisa berbahaya untuk orang yang memberi dan Bapak juga. Anggap aja itu hadiah." Itu yang kukatakan saat itu. Entah karena terdesak atau apa, Pak Rahmat langsung mengangguk setuju dan memintaku menyampaikannya pada si pemberi uang.Pak Toriq melihat semua itu dari balik jendela kaca ruang kerjanya. Kami berpandangan, saling tersenyum penuh arti dan Pak Toriq mengangguk padaku. Satu masalah terselesaikan dengan baik dan sekali lagi Pak Toriq berhasil menjaga anak buah dari pelanggaran aturan.
***
Aku heran melihat Warsito duduk di sofa lobby kantor. Ini masih sangat pagi. Lampu lobby saja masih mati dan Front Officer belum ada yang datang. Ruang kerja department-ku pun belum dibuka. Kebetulan saja hari ini aku pergi kerja kepagian. Tadi pagi keponakanku menumpang ikut. Karena dia masuk pagi, secara otomatis pun aku terpaksa pergi lebih pagi. Hanya saja, aku tak bisa menyembunyikan keherananku saat Satpam bilang ada Warsito sedang menungguku.Warsito adalah salah satu kepala teknisi lapangan. Ruang kerjanya bukan di gedung ini, tapi di gedung sebelah tempat workshop berada. Itupun aku jarang bertemu dengannya. Dia termasuk teknisi paling bermasalah sekaligus paling sibuk di perusahaan. Karena itu, dia jarang singgah ke gedung ini kecuali ada urusan. Urusan yang kebanyakan hanya untuk menyelesaikan masalahnya.Bukan sekali dua kali aku melihatnya mendebat Pak Toriq. Walaupun usianya jauh lebih muda, Warsito memang cukup ahli di bidangnya dan menjadi salah satu teknisi handal di kantor. Mungkin karena itu dia berani menentang atasan dan melanggar aturan. Jangankan Pak Toriq yang sabar, aku saja seringkali bertengkar dengannya."Ada apa, War?" tanyaku to the point. Aku tak suka membahas masalah pagi-pagi. Tapi aku tahu pasti ada masalah kalau Warsito datang sepagi ini. Semakin cepat diselesaikan, semakin baik. Aku kuatir nanti kami bertengkar lagi seperti saat terakhir kami bertemu."Mmm... anu Mbak.. Saya ke sini mau buat laporan berita acara."Keningku berkerut. "Maksudmu? Laporan apa?"Warsito tampak gugup. Tangannya saling berkait. Aku merasakan atmosfer ketegangan terpancar dari tubuhnya. Ia mandi keringat."Aa... anu Mbak. Mo.. mobil yang sabtu kemarin saya bawa sekarang hilang."Kudukku berdiri. "Apa maksudmu hilang? Hilang apa? Mobil itu kan ada di parkiran," tanyaku cepat."Itu... mmm.. hari sabtu kemarin... mobilnya tidak saya kembaliin, Mbak. Saya pinjam buat keperluan acara keluarga. Semalam saya parkir di depan rumah saya. Tapi tadi pagi... mobilnya.. mobilnya tidak ada.""Apaaa??!!?" Aku berlari menuju meja Front Officer, menelepon dan memanggil Satpam kantor. Tak kupedulikan Warsito yang berdiri di belakangku.Dua orang satpam datang tergopoh-gopoh berlari mendatangiku. Aku menatap mereka dengan tajam."Semalam mobil putih tidak kembali ke kantor! Siapa yang bertanggung jawab? Bukankah saya bilang harus lapor ke saya?"Mereka berpandangan. "Kami sudah ngasih tahu Pak Warsito, Bu. Tapi kata Pak Warsito kalau kami memberitahu Ibu atau Pak Toriq, dia akan memecat kami."Kulemparkan tatapan marah pada Warsito yang langsung menunduk. Lalu kembali menatap tajam pada dua Satpam di hadapanku."Mobil itu hilang sekarang. Bagaimana pertanggungjawaban kalian?" tanyaku dengan sorot mata menusuk. Mereka tampak kaget. Yang satu bahkan terlihat panik.Aku diam, memandangi ketiga orang yang sekarang kebingungan menjawab pertanyaan singkat dariku. Akan ada yang membayar sangat mahal untuk kejadian ini. Dan untuk pertama kalinya kini, aku menyadari maksud perkataan Pak Toriq.Ia benar. Aturan itu untuk melindungi karyawan, bukan semata untuk kepentingan perusahaan.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar