06 Maret 2014

Jari Yang Terluka

Setengah jam lebih, kami berbicara sambil menghabiskan daging yang dimasak cukup matang dan disajikan bersama saus barbekyu dan kentang goreng. Untung ada teman makan siang, kalau tidak mungkin aku akan melewatkannya seperti biasa.

Aku suka mengajak Lika makan bersama. Tiap kali melihatnya makan, aku jadi ingin makan juga. Dia menikmati makanannya seperti makan untuk yang terakhir kalinya. Pelan menikmati setiap suapan dengan baik.

"Enak?" tanyaku penasaran, ketika ia mengunyah kentangnya pelan-pelan.

Lika mengangguk. "Iya, makanlah. Steakmu udah dingin!"

Aku menghembuskan nafas. Ah, meski tadi ingin sekali makan tapi ada sesuatu dalam hatiku yang sedang berkecamuk tak berhenti sejak kemarin dan inilah penyebab utama mengapa aku mengajak Lika.

"Aku dapat masalah. Lik. Tiga customer utamaku memutuskan kontrak. Bulan ini aku harus mulai mengurangi karyawanku," keluhku lirih sambil memainkan sendok dan garpu di atas steak.

Tangan Lika berhenti bergerak. Ia ternganga kaget. "Hah? Yang benar, Ji? Apa yang terjadi?"

"Aku yang salah. Kemarin, ada bahan baku yang sulit didapat. Karena waktunya sempit, aku putuskan memakai bahan yang lebih rendah kualitasnya. Customerku marah dan... " Suaraku menghilang. Terbayang wajah-wajah para karyawan yang bergantung padaku. Mereka pasti akan kebingungan sekali apalagi tak sampai tiga bulan, hari raya akan tiba.

Lika menatapku. Tatapan hangatnya membelai diriku yang dipenuhi rasa kalut. Mendadak sebagian rasa yang mengganjal di hatiku mulai terasa berkurang.

"Udah, Lik. Makan saja dulu. Nanti saja deh ceritanya," kataku akhirnya melihat Lika berhenti makan. Pura-pura aku sibuk memotong daging dan menyuapkan potongan daging yang kecil ke mulutku sendiri. Berhenti bicara dan mengeluh, Puji! Biarkan sahabatmu menyantap makanannya, ujarku dalam hati.

Lagi-lagi Lika hanya tersenyum dan kembali menunduk menatap piringnya yang masih setengah penuh. Kami bercerita tentang hal-hal ringan dan menyenangkan. Seperti biasa Lika membagi cerita yang lucu-lucu membuat aku tergelak dan berkali-kali hampir menyemprotkan makanan yang sedang memenuhi mulutku.

Tangan Lika bergerak mengambil gelas. Saat itulah mataku melihat salah satu jarinya terbungkus plester berwarna putih bercorak kartun.

"Jarimu kenapa, Lik?" tanyaku dengan kening berkerut.

"Ah, ini?" Ia menunjukkan jari telunjuknya yang terbungkus plester. Aku mengangguk.

"Kemarin. Pas masak jariku terpotong sedikit. Lukanya sih sudah mulai kering dan tidak sakit lagi. Hanya saja, aku ngeri melihatnya. Sebagian kukuku ikut terpotong, jadi... "

"Iiiih, Lika! Kok bisa sih? Makanya hati-hati! Kamu pake pisau daging untuk memotong bawang ya? Kebiasaan aneh tuh," potongku cepat.

Lika tertawa-tawa. "Yaah, kamu tahu aku kan kidal, agak susah motong pake pisau biasa. Tapi... kemarin memang aku kurang hati-hati. Sudah tahu sedang terburu-buru, tapi masih sengaja menyempatkan masak. Akhirnya jadi begini deh."

Piring Lika mulai kosong. Sementara piringku masih penuh. Ah, jangan sampai aku tak menghabiskannya lagi. Bisa-bisa Lika mengomeliku saat pulang nanti.

"Tapi, aku senang jariku terluka begini loh, Ji."

"What?" Aku menatap Lika tak percaya.

"Anak-anak membantuku kemarin. Mereka membantuku menyelesaikan pekerjaan rumah, anakku yang paling kecil bahkan menunjukkan perhatiannya dengan membelikanku plester lucu-lucu dan membungkus jariku ini. Suamiku juga ikut repot karena dia tak mau lukaku kena air atau dipakai kerja, jadi ia membantuku juga. Benar-benar menyenangkan. Di balik musibah, aku merasa bahagia. Ah, gak papa deh kena pisau sekali-sekali, sesekali ngerasain dimanjain itu kaya apa. Lagian kalau gak luka begini, mana mungkin aku belajar untuk tidak ceroboh lagi kan?"

Aku tersenyum. Menggeleng-geleng tak percaya. Lika memang aneh. Dia selalu tersenyum pada hal-hal yang menurutku seharusnya menjadi tangisan. Ibu satu ini seringkali membuatku terperangah karena caranya menilai sesuatu selalu di luar dugaan.

Tapi perutku benar-benar mendadak terasa kenyang. Akhirnya aku menyerah ketika piringku tersisa seperempat lagi.

"Sudah?" tanya Lika heran. "Habiskan cepat. Kita harus segera pulang. Aku dan kamu sama-sama sibuk hari ini."

Aku mengangguk. "Aku gak selera, Lik. Otakku rasanya penuh mikirin perusahaan. Aku harus gimana nih, Lik?"

Lika tersenyum simpul. "Loh, bukankah aku sudah jawab tadi?" Ia mengambil tasnya dan berdiri. "Kalau sudah kenyang, ya sudah jangan dipaksakan. Kita pulang saja yuk, Ji. Kamu pasti sibuk hari ini. Aku juga. Kemarin aku menunda pekerjaan karena jariku yang sakit, jadi hari ini pekerjaanku numpuk. Aku tak bisa pergi lama-lama. Lukaku mungkin belum sembuh benar, tapi life must go on dan aku gak boleh menangisi luka kecil begini. Aku gak mau anak-anak juga suamiku jadi ikutan repot lalu mengorbankan pekerjaan mereka. Luka kecil begini, kalau ditangisi lama-lama entar malah jadi lumpuh semuanya lagi, udah ah," ujarnya dengan senyum masih mengembang sambil berlalu dari hadapanku.

Sesaat aku terperangah lagi, menatap Lika yang berjalan menuju kasir dan membayar tagihan. Saat itulah, percakapan kami sedari tadi terngiang kembali. Mataku mengerjap, mulai memahami maksud di balik kata-kata Lika. Ia memang sedang menasehatiku, tapi aku terlalu lambat mencernanya. Aku tertawa kecil, menertawakan kebodohanku sambil berdiri menyusul Lika.

*****

Tidak ada komentar: