Saya pernah berpikir polos tentang dunia yang ada di sekitar saya. Bahwa dekadensi moral yang terjadi ketika saya membaca atau menonton berita di televisi, atau yang sedang terjadi di kalangan orang-orang terkenal seperti pejabat dan selebritis, atau ketika saya sedang melirik sejenak sinetron televisi Indonesia yang payah, itu hanya terjadi sebatas lingkaran orang-orang yang mengalaminya saja. Tidak pada saya, pada dunia kecil milik saya yang berusaha keras saya lindungi bersama suami.
Memilih lingkungan teraman, itulah yang selalu jadi prioritas kami berdua. Lingkungan sekolah anak-anak, lingkungan pergaulan bahkan rumah, selalu diusahakan yang terbaik agar mendapatkan hasil yang terbaik pula.
Sekilas memang, inilah dunia kecil harapan saya sejak dulu. Setiap hari, kami berusaha keras memelihara nilai-nilai dasar keagamaan seperti menjalankan sholat, mengaji dan berdoa sebelum memulai aktivitas. Setiap hari pula kami berusaha secara disiplin menjalankan kehidupan rutin yang sehat dan baik secara norma. Di malam hari, kami juga membatasi waktu agar cukup istirahat dan esoknya bisa kembali beraktivitas. Tak lupa saya dan suami sepakat membatasi penggunaan internet dan televisi agar anak-anak kami terlindungi dari kontaminasi produk-produk konsumtif dan acara televisi yang memiliki andil menurunkan nilai-nilai budi pekerti atau norma sosial.
Di luar, anak-anak pun bergaul dengan orang-orang yang memang kami kenal dengan baik. Ade dengan teman-teman TK dan sekolah mengajinya, Abang dengan teman-teman di SD, tempat les dan tempat mengaji, sementara kakak yang lebih banyak memiliki kegiatan juga kami arahkan untuk memilih teman-teman yang kurang lebih sama seperti dirinya, atau setidaknya memiliki orangtua yang satu visi dan misi dengan saya.
Mungkin dunia musik band seringkali diidentikkan dengan sesuatu yang negatif, tapi berkali-kali saya mengecek secara random, dunia band yang dijalani putri saya berbeda dengan cerita orang-orang. Waktu latihan, ia selalu pulang pergi tepat waktu dengan pelatih khusus yang bertanggung jawab sepenuhnya sampai anak kami dijemput. Sesekali saat ada show time atau audisi, sayalah yang menjadi second manager untuk klubnya.
Dan saya, tentu saja pergaulan saya tak jauh berbeda dengan anak-anak. Karena ruang lingkup saya ibu rumah tangga sekaligus mahasiswi, maka dunia saya pun tak lepas dari pergaulan ibu-ibu di sekolah atau tempat ekskul putra-putri saya, dan juga teman-teman kuliah saya yang hanya bertemu dua kali seminggu. Kalaupun ada tambahan lebih luas, paling-paling hanya sekedarnya lewat saja.
Saya berpikir... inilah dunia teraman milik saya. Sepintas lalu, saya bisa melihat diri saya terlindung di antara pergaulan wanita-wanita berjilbab, berpendidikan dan berpandangan luas, serta anak-anak yang dilindungi oleh keluarga dengan martabat dan harga diri terjaga dengan baik.
Tapi itu dulu...
Sampai suatu ketika saya melihat sesuatu yang membuat saya terusik begitu dalam. Saya melihat teman-teman saya yang berprofesi utama sebagai seorang ibu, ternyata tak mampu menyaring derasnya dampak negatif televisi dan budaya luar yang berefek racun.
Mereka, yang suka makan-makan dan berkumpul itu tidak mampu memilih restoran mana yang menyajikan sesuatu yang halal atau mana yang haram. Tanpa peduli informasi yang diterima, mereka tetap saja memilih restoran itu selagi makanannya enak. Tanpa mempedulikan jilbab yang mereka pakai, apalagi agama yang mereka pilih.
Itu belum termasuk dengan tingkah polah mereka sehari-hari yang makin menunjukkan betapa jauhnya efek yang ditimbulkan para selebritis dan pejabat tinggi yang menularkan pola hidup konsumtif dan daya pikir yang memandang materi sebagai segalanya.
Lalu, suatu saat yang lain, saya mendengar dari lingkungan teman-teman kuliah dan adik-adik saya betapa menurunnya moral remaja sekarang dengan mudahnya mereka menemukan teman-teman yang menyukai sesama jenis bahkan berprofesi penjaja seks terselubung. Semua dijalani karena kebutuhan, katanya. Apapun kebutuhan itu, mereka menjadikannya sebagai alasan yang bagus meskipun menurut saya justru seperti membenarkan kemaksiatan.
Dan beberapa hari yang lalu, saya melihat lagi bukti penurunan moral itu ketika mengantar teman-teman ke Gym. Awalnya karena hasil blood test saya menunjukkan kalau gula darah saya naik drastis, saya berniat untuk menjalani sebuah program olahraga rutin secara profesional. Berdasarkan rekomendasi teman, maka saya pun mendatangi sebuah pusat olahraga di dekat tempat tinggal saya.
Di sini saya benar-benar terkejut. Sungguh tidak saya duga, teman-teman yang ikut cukup banyak dalam gym itu, mereka mengenakan jilbab saat pergi tapi membukanya saat berolahraga dan mengenakan pakaian olahraga ketat terbuka. Ya Allah... seperti tak cukup, mereka berolahraga dengan posisi ruangan terbuka yang bersebelahan dengan kaum lelaki yang juga berpakaian minim, yang sedang berolahraga memakai peralatan olahraga canggih. Semua seperti terbiasa, seperti tak ada rasa malu sama sekali. Saya yang merasa jengah meski mengenakan pakaian yang sama saat masuk pun tidak berani bergerak mengikuti instruksi dan memilih pulang, membatalkan niat saya.
Sungguh saya sangat tidak menyangka, di balik dunia ideal yang saya pikirkan ternyata banyak selubung hitam yang menutupi kehidupan di balik jilbab atau perkataan yang dipoles dengan pendidikan luas itu. Selubung hitam yang cukup membuat saya memahami bahwa dunia ideal itu ternyata tak pernah benar-benar ada.
Seperti biasa, fenomena seperti ini akan menjadi bahan utama perbincangan saya dengan suami dan anak-anak. Yang membuat saya terkesima ketika Abang dengan polosnya berkata kalau mengaji tiap malam itu mungkin cuma ada di rumah kami, karena semua teman-temannya mengaji hanya kalau di tempat mengaji atau di sekolah. Sedangkan kakak menyahut kalau ia sering menangkap basah teman-temannya pacaran di lingkungan sekolah sejak masih SD, bahkan beberapa di antaranya sudah terbiasa mengkonsumsi video porno. Sementara si kecil yang polos berkata kalau di TK ada teman-temannya yang baru putus cinta terus menggambar tanda hati retak dan ia menirukannya dengan menggambarnya pada papan tulis yang kami letakkan di ruang keluarga.
Innalillahi wa inna illaihi rojiun....
Sekarang, saya benar-benar hanya bisa mengurut dada. Bagaimana lagi caranya saya memberikan pendidikan moral kalau lingkungan kami saja sudah begitu terkontaminasi? Selain menanamkan secara terus menerus pada anak-anak, adik-adik dan diri sendiri, rasanya tak ada yang bisa saya lakukan lagi. Sesekali saya juga suka menegur orang-orang yang suka nongkrong dan bergosip ria di depan rumah kami yang strategis, sebagai wujud kepedulian pada lingkungan. Tapi akankah itu berefek baik secara terus menerus?
Mungkin sudah saatnya anda, yang seperti saya... yang sempat tertidur karena fatamorgana dunia ideal untuk segera bangun dan melek sosial. Kita harus sama-sama menyingsingkan lengan untuk melihat dunia lebih teliti dan lebih dalam. Mari sama-sama menjaga putra-putri kita agar kontaminasi racun itu agar tak sampai mereka dapatkan. Tak ada yang bisa tahu apa yang terjadi nanti. Tapi usaha harus tetap dijalankan. Setidaknya kita harus membangun dasar-dasar serta membangun fondasi yang kokoh dalam bentuk pengetahuan agama dan kesadaran nilai-nilai moral serta budi pekerti, sebagai penangkal bagi mereka nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar