Baru melewatkan semester satu di Universitas Terbuka, yang ternyata meski jatuh bangun, sibuk meraba-raba seperti apa metode yang tepat, bisa dilewati dan akhirnya kerja keras itu berbuah manis. Perjuangan memahami berbagai fitur dengan cara belajar online, ternyata tak sia-sia.
Alhamdulillah, Indeks Prestasi di atas 3,5. Terharu banget pas lihat nilai saya setelah sekian lama tak pernah belajar secara formal. Bahkan kebahagiaan itu dirasakan sampai ke anak-anak, suami bahkan teman-teman. Tapi yang membuat saya bangga, saya berhasil membuktikan pada kakak, putri tertua saya, kalau saya menasehatinya juga disertai dengan contoh.
Kakak pernah bilang, saya terlalu 'doyan' belajar. Kalau ingat saat-saat UAS, saya bawa buku ke mana-mana, ya ke dapur, ya pas lagi nungguin Ade di sekolah, pas nunggu Abang ngaji sampai tengah malam ketika semua anggota keluarga tidur, saya masih otak-atik internet mempelajari latihan-latihan grammar bahasa Inggris. Mungkin benar. Tapi itu semua karena saya tak mau menyia-nyiakan kepercayaan suami, yang selama masa-masa tuton harus rela dinomorduakan dan berbagi tanggung jawab yang seharusnya menjadi milik saya. Saya juga tak mau menyia-nyiakan waktu kencan bersama anak-anak yang terpaksa saya ganti dengan jadwal belajar.
Tapi, saya memang kangen, Di...
Saya kangen belajar, saya kangen stress mikirin pelajaran, saya kangen saat-saat di mana saya berjuang keras.
Memang ada satu penyesalan yang saya ukir. Saat SMP, saya tak belajar dengan maksimal. Kecintaan saya pada dunia tulis menulis dan buku, membuat saya lupa belajar. Peluang itu diambil alih oleh nafsu hanya karena saat itu, saya remaja termuda yang mengisi kolom di sebuah koran di bumi Borneo.
Sekarang, saya ingin benar-benar memberikan yang terbaik. Untuk anak-anak, untuk suami tercinta, untuk diri sendiri. Agar mereka tahu, belajar itu tak mengenal usia, tak mengenal kata berhenti sampai kapanpun.
Saya senang, sekali-sekali teman-teman kuliah menjadikan saya cermin mereka. Menabik salut karena di usia yang tak lagi muda, saya masih nekad kuliah. Bukan untuk bekerja.... Tapi karena saya ingin menyelesaikan mimpi masa muda yang tertunda.
Saya juga tahu banyak yang skeptis, bahkan suami pun bilang kalau ia sempat mengira saya hanya sekedar mencari sesuatu untuk mengisi waktu luang di saat mulai bosen berkutat dengan dunia maya dan tulisan. Dia baru buka rahasia kemarin, Di. Tapi saya tahu sebelum itu.
Dan senangnya... ia begitu bangga memamerkan nilai-nilai saya pada teman-temannya. Senang rasanya membuatnya bangga pada saya, Mengingatkan perasaan saya ketika dulu Papa tersenyum bangga, memamerkan prestasi saya di sekolah pada rekan-rekan kerjanya. Jujur, euforia bangga pada diri sendiri itu tak ada apa-apanya dibandingkan mendapatkan penghargaan di mata orang-orang terkasih. Buat saya itulah pemacu semangat dan vitamin tubuh paling ampuh agar saya berjuang lebih baik lagi.
Kata kakak, rasanya beda banget melihat mama sekarang.
Saya gak memahami maksud kata-katanya itu. Tapi kalau saya pikir, mungkin itu karena selama ini saya suka mengingatkan dia untuk rajin belajar, dan dia mengira itu hanyalah sekedar kata-kata 'kewajiban' seorang ibu semata. Mungkin dalam hatinya, kakak berpikir andaikan saya berada di posisinya, mungkin tak bisa seperti dia.
Saya ingin sekali bilang sama kakak. Justru setelah melewatkan ujian kemarin, saya sudah berjanji takkan memaksanya untuk belajar lagi. Saya paham rasa tak nyaman menghadapi ujian. Saya kegerahan di ruang ujian, tak bisa konsentrasi karena mahasiswi lain sibuk mengobrol di luar dan terakhir diperlakukan pengawas seakan-akan saya memiliki setumpuk contekan di bawah meja.
Di... ini bukan kesenangan. Tapi ini pemicu semangat. Saya harus berjuang lebih keras supaya nilai sempurna bisa diperoleh.
Tak ada yang mudah, tapi tak ada yang tak bisa dicapai.
No effort, no result.