"Ga mudah, ga ada yang mudah" begitu kata saya selesai baca buku 12 Menit untuk selamanya, pemberian teman.
Ngerasa jadi Lahang, anak Dayak yang satu-satunya alasan untuk pergi ke Jakarta karena pengen lihat Monas. Mimpi sama yang membuat saya sangat ingin menyentuh tanah Jakarta. Benar kata tokoh Bapaknya Lahang, bahwa impian sesungguhnya adalah impian yang kita miliki, bukan milik orangtuanya. Takdir sesungguhnya adalah takdir kita, bukan takdir Bapak atau Ibunya.
Mimpi itu masih saya genggam kuat, bukan karena saya anak siapa, keluarga siapa atau istri siapa. Saya pengen menaklukkan tugu Monas seperti Lahang, menaklukkan Jakarta yang katanya kejam, atas nama sendiri. Bahwa saya, seseorang yang membawa nama Iin tanpa embel-embel siapapun, bisa menjadi diri sendiri, menjalani kemenangan atas semua impian itu.
Ingat rasanya menjadi seseorang yang dulunya selalu dipandang sebelah mata, anak daerah yang tak dianggap. Bahkan ketika suatu hari diterima bekerja atas kemampuan sendiri, satu-satunya pertanyaan yang paling sering singgah setelah saya bekerja justru pertanyaan yang menyakitkan,atas bantuan siapa saya melamar kerja dengan tatapan mencemooh.
Emosi saya naik turun membaca 12 Menit karena itu membawa saya mengenang 17 tahun silam saat saya ingin mendaftar menjadi cadet Marching band itu, yang sayangnya tidak diizinkan karena latihan kerasnya sampai malam. Teringat ketika saya menonton dengan sedih saat melihat sahabat-sahabat saya di Perkusi dan Color Guards menyapa ramai ketika mereka selesai latihan.
Saya merasa seperti Elaine, yang diharuskan berprestasi luar biasa tapi tidak boleh melakukan kegiatan yang saya suka. Alasannya adalah fisik. Tapi itu juga salah saya, karena tak berjuang sekeras Elaine untuk meyakinkan orangtuanya. Kembali lagi, andaikan benar-benar ada Kak Rene yang seperti di novel mungkin akan banyak anak-anak yang memiliki kemampuan tinggi namun tak percaya diri, yang akan lebih terangkat baik prestasinya.
Buku ini mengangkat beberapa hal penting yang takkan diketahui orang di luar Kalimantan Timur yang tak pernah sama sekali ke Kalimantan, tapi suka seenaknya menyamaratakan bahwa hanya ada hutan dan hewan di sana. Mereka justru akan menemukan bahwa memang ada daerah-daerah pedalaman, namun di sisi lain ada kompleks-kompleks perumahan yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar yang secara fasilitas bahkan menyamai kompleks perumahan di luar negeri. Dan Bontang, mendapat gambaran lengkap tentang sebagian pemandangan itu dalam buku ini.
Tapi entah ingatan saya yang buruk atau buku ini memang dimodifikasi agar sesuai dengan zaman, setahu saya Rene adalah seorang pria dan hmm.... secara fisik, amat mudah mengenalinya dari kejauhan. Tapi entahlah...
Buku ini tentang anak-anak yang bermimpi, mimpi yang sebenarnya tak terlalu tinggi untuk ukuran anak-anak Jakarta. Tapi seperti anak daerah lainnya, saya juga memahami betapa inginnya eksistensi kami diakui oleh warga sebesar kota Jakarta. Eksistensi yang diawali dengan sebuah pengakuan berupa kemenangan di ajang nasional sebesar GPMB, yang kemudian dimenangkan oleh MB PKT selama sepuluh kali. Ada banyak hal di Jakarta yang tak ada di daerah terutama fasilitas pendukungnya dan kadang inilah mengapa anak-anak daerah merasa agak sedikit minder menyaingi anak-anak Jakarta.
But... MBPKT adalah pembuktian. Keep moving!! keep growing!! Dan kata-kata yang magis itu VINCERO! VINCERO! VINCERO!... keep it flying on the sky of Bontang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar